Pernah nggak kamu beli baju baru dengan harga super murah, lalu merasa puas karena bisa tampil gaya tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam? Di balik label diskon dan tren kekinian itu, ada realitas yang sering luput dari perhatian: ribuan buruh di negara berkembang bekerja dalam kondisi berat dengan upah rendah agar kita bisa mendapatkan pakaian baru dengan cepat dan murah. Inilah wajah lain dari kapitalisme modern—cepat, efisien, menguntungkan, tapi sering kali tidak adil.
Kapitalisme dan Logika Produksi Massal
Kapitalisme sebagai sistem ekonomi berlandaskan pada kepemilikan pribadi, dorongan mencari keuntungan, serta kebebasan pasar untuk menentukan nilai suatu barang. Dalam sistem ini, perusahaan dianggap rasional ketika mereka mampu memaksimalkan keuntungan dan menekan biaya produksi. Konsep ini terlihat sangat jelas dalam industri fast fashion.
Perusahaan seperti Zara, H&M, dan Shein memproduksi pakaian dalam jumlah besar dengan desain yang terus berubah mengikuti tren. Produksi dilakukan secepat mungkin, lalu dijual murah agar konsumen tertarik membeli secara impulsif. Di permukaan, semua pihak tampak diuntungkan: konsumen puas, perusahaan untung. Tapi kalau dilihat lebih dalam, ada ketimpangan yang cukup mengkhawatirkan.
Dalam teori kapitalisme klasik ala Adam Smith, semua pihak dianggap akan diuntungkan jika bertindak sesuai kepentingan pribadinya. Tapi ketika keuntungan menjadi satu-satunya tujuan, ada banyak hal yang dikorbankan—termasuk keadilan bagi para pekerja. Sistem ini berjalan seolah-olah netral, padahal pada praktiknya ia menciptakan peta kekuasaan dan pengaruh yang sangat timpang.
Buruh sebagai Korban dari Sistem yang “Efisien”
Untuk menjaga harga jual tetap rendah, perusahaan fast fashion biasanya mengalihdayakan produksi ke negara-negara berkembang seperti Bangladesh, India, Kamboja, Vietnam, dan Indonesia. Di sinilah cerita buruh mulai masuk. Banyak dari mereka bekerja lebih dari delapan jam sehari, dalam kondisi pabrik yang panas, sempit, dan jauh dari standar keselamatan. Upah yang diterima sering kali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, apalagi menabung atau mengakses layanan kesehatan dan pendidikan.
Kasus Rana Plaza di Bangladesh adalah salah satu contoh tragis dari ketimpangan ini. Pada 24 April 2013, bangunan pabrik garment Rana Plaza runtuh, menewaskan lebih dari 1.100 pekerja dan melukai ribuan lainnya. Kebanyakan dari mereka adalah buruh perempuan yang bekerja untuk merek-merek internasional besar seperti Primark, Walmart, dan Benetton. Tragedi ini memicu kecaman internasional terhadap kondisi kerja di industri garment global dan mendorong gerakan untuk meningkatkan keselamatan kerja serta keadilan sosial dalam industri tersebut. Kasus ini menunjukkan betapa rapuhnya sistem yang mengutamakan efisiensi tanpa memperhitungkan keselamatan pekerja.
Pekerja perempuan mendominasi industri ini, dan mereka sering menjadi kelompok paling rentan. Banyak laporan menunjukkan adanya diskriminasi, pelecehan, bahkan kekerasan verbal dan fisik yang mereka alami di tempat kerja. Namun karena kebutuhan ekonomi, mereka tidak punya banyak pilihan selain bertahan.
Bagi perusahaan, ini adalah bagian dari strategi bisnis yang “rasional”. Namun bagi para buruh, ini adalah bentuk eksploitasi yang terstruktur. Sistem kapitalisme menempatkan tenaga kerja sebagai komponen produksi yang harus ditekan biayanya, bukan sebagai manusia yang memiliki hak dan martabat.
Ketimpangan yang Terorganisir dan Didiamkan