Mohon tunggu...
Syamsidar Masse
Syamsidar Masse Mohon Tunggu... Guru - SanGuru siap Belajar

Guru SMK berkarya dalam tulisan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Pahlawan di Hatiku

14 Agustus 2019   22:14 Diperbarui: 14 Agustus 2019   22:17 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tak pernah terpikirkan menjalani profesiku saat ini. Tak pernah terlintas dalam pikiran apalagi menjadi cita -  cita dalam tulisan tugas mengarangku baik di tingkat Sekolah Dasar sampai sekolah Menengah, bahkan saat menempuh pendidikan di perguruan tinggi. 

Perjalananku sampai saat ini, flat saja. Semua berjalan apa adanya dan tak pernah muluk muluk menginginkan ini dan itu. Ya, Bukan tak mau membuat mimpi, tapi tak berani tuk menghayalkannya. 

Bagaimana tidak, untuk bertahan hidup dan mengharap besok bisa makan saja sudah cukup. Ya, kehidupan kami bukanlah mudah dengan pekerjaan bapak sebagai buruh tani yang harus memberi makan 10 orang setiap pagi, siang dan malam. Belum lagi hasil dari buruh tani hanya bisa menghasilkan 2 kali dalam setahun. Itupun kalau cuaca lagi mendukung. 

Apa iya? Tapi koq bisa sekolah sampai perguruan tinggi? Koq bisa menjadi Guru seperti saat ini? Koq bisa berada ditempat ini? Kan, lahirnya di salah satu kampung di daerah Sulawesi Selatan? Apa ikut program transmigrasi? 

Sepanjang ingatan tentang orangtuaku, tak pernah sekalipun mereka terdengar mengeluh, tak pernah sekalipun mereka mengatakan "tidak ada" ketika kami sudah berontak minta makan. Alhamdulillah, ada saja makanan yang tersaji, walaupun tanpa lauk seperti keluarga lainnya yang ada dikampung kami. 

Nasi putih dengan lauk garam pun sudah biasa bagi kami, menu spesialnya ketika musim paceklik, nasi beras dicampur jagung adalah favorit bagi keluarga. Nikmatnya ketika menu favorit ini menjadi rebutan kami untuk mengambil bagian yang paling banyak, dan makan besar pun bisa berlangsung cepat. 

Setali dengan urusan makanan yang alhamdulilah senantiasa tersaji, kami pun dapat menikmati hari-hari sebagai pelajar di sekolah Inpres dekat rumah. Dengan biaya murah dan terjangkau untuk keluarga kami. Untuk SPP belum ada saat itu. Syarat utama bisa diterima adalah cukup umur dan bersedia belajar dengan baik. 

Ketika kakak tertuaku sudah memasuki jenjang SMA, pada saat itu beliau memilih bersekolah Di STM di kota sebelah, tepatnya kota Pare-pare sekarang dijuluki kota Ainun-Habibie. Kami secara berurutan menempati kelas 6, 5, 4, 3, 2 dan 1. Sementara adik-adikku belum memenuhi syarat umur. 

Bagaimana bisa? Bagaimana seragam sekolahku? Bagaimana perlengkapan menulis kami? 

Seragam kakakku yang masih kebesaran buatku, bisa kugunakan sementara kakakku mendapat sedekah dari tetanggaku yang sudah melanjutkan sekolah di tingkat SMP. Begitulah kami saling mewariskan seragam, sampai orangtuaku mampu membelikan kami setelah gabah atau anak sapinya terjual. 

Setelah kakak sulungku menyelesaikan pendidikan STMnya beliau merasa sudah mampu menerapkan ilmunya di masyarakat dengan mencoba peruntungannya di ibukota, Jakarta. Dengan bekal doa restu ibuku yang rela menjual anak sapinya dengan menyisakan induknya saja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun