Mohon tunggu...
Macghael Prastio
Macghael Prastio Mohon Tunggu... Buruh - Blogger

Hanya tulisan orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Jika Friederich Nietzsche Merasakan Cuaca Panas di Indonesia

24 Oktober 2023   12:54 Diperbarui: 24 Oktober 2023   13:01 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber. Commentary Magazine

Cuaca panas yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia akhir-akhir ini. Membuat beberapa warga  tidak nyaman melakukan aktivitas, terutama disiang hari. Ini terjadi selama periode bulan September sampai dengan bulan Oktober, menurut BMKG. Informasi yang saya dapatkan dari BMKG bahwa, terjadinya dinamika di atmosfer. Salah satunya adalah sebagian wilayah di Indonesia dari pulau Jawa sampai NTT didominasi oleh kondisi cuaca yang cerah. Sangat minim terjadinya pertumbuhan awan, sehingga sinar matahari tidak mengalami hambatan.

Di suatu siang yang cerah, sang filsuf Friederich Nietzsche Berjalan-jalan di salah satu taman di Jakarta. Ia datang ingin berlibur dan ingin mencari udara hangat negara tropis. Kemudian Ia duduk di sebuah bangku taman, dan sesekali menyeka keringatnya. Ia merasakan perbedaan, ketika melihat data yang Ia lihat di ponselnya. Ia tidak sengaja membaca sebuah berita, yang kebetulan lewat di beranda ponselnya. Bahwa, cuaca panas di Indonesia, mengalami kenaikan secara signifikan daripada tahun kemarin.

Kemudian Friederich Nietzsche mulai merenungi filsafatnya terhadap perubahan alam. Untuk melepaskan rasa dahaganya, Ia lalu memesan sebuah es jeruk yang dibungkus plastik. Dari seorang pedagang asongan, yang membuat Nietzsche merasa iba, terhadap tindakan sia-sianya. Bukan secara praktis, bahwa si pedagang memenuhi kebutuhan hidup. Namun pada dunia itu sendiri adalah sebuah horizon kesia-siaan tanpa ujung.

Dalam bukunya Gaya Filsafat Nietzsche, karya Setyo Wibowo. Mengatakan bahwa, "pengalaman akan kedalaman itulah yang secara paradoksal membuat si soliter sangat skeptis terhadap klaim penemuan kedalaman akhir atau dasar. Yang disebut dasar akhir pemikiran jangan-jangan masih menyembunyikan dasar lainya lagi."

Dari sinilah kita umat manusia, suka memastikan segala sesuatu secara utuh. Terutama pada masyarakat yang selalu percaya bahwa, musim panas atau musim hujan bisa ditentukan, karena sudah mendapatkan pelajaran itu di bangku sekolah. Atau masyarakat mulai membuat ritual adat atau ritual tertentu untuk memanggil hujan. Tinggal menjalaninya saja seperti sebuah sistem. Tidak mengherankan, jika para petani mengalami kerugian, baik kekeringan atau gagal panen.

Dunia selalu bergerak tak tentu arah dan bersifat kaotis. Itulah yang dikatakan oleh seorang Nietzsche. Meskipun manusia dapat mereduksi cuaca di Indonesia, menjadi musim kemarau dan musim hujan. Namun manusia tidak bisa menentukan, kapan akan turun hujan, meskipun telah memasuki musim hujan. Hanya inilah jawaban, mengapa manusia dalam suatu waktu mempertanyakan tentang cuaca panas yang mereka alami. "Dulu, cuaca kita tidak seperti ini, selalu pasti musim yang berganti," ucap seorang petani, yang bingung menentukan kapan Ia hendak menanam.

Dengan cuaca yang berubah-ubah sangat sulit untuk kita memberikan jawaban. Apakah, karena murni perubahan iklim, atau tindakan manusia yang begitu rakus merusak alam. Para saintis, mungkin mengklaim bahwa, ini terjadi karena perusakan alam secara terus menerus. Namun, perusakan yang dilakukan oleh kaum kapitalis, adalah bagian dari sifat kaotis dunia yang bergerak tanpa arah. Jika bukan bagian dari dunia yang kaotis, mengapa umat manusia tidak bisa menghentikannya, padahal umat manusia sudah mengetahui dampak kerusakannya.

Dampak-dampak itu kemudian mengguncang cara berpikir manusia. Termasuk Nietzsche yang termenung di sebuah bangku taman, cuaca panas adalah suatu ketidakteraturan dunia, sulit diprediksi atau dikonsepkan untuk dijadikan sebuah pegangan. Kita manusia tidak perlu mengikuti Nietzsche secara radikal. Namun cukup untuk mengaktifkan kesadarannya sepanjang waktu. Lalu memahami dunia bahwa, tidak ada yang utuh secara keseluruhan. Itu dapat menjadikan salah satu senjata berpikir kita umat manusia. Agar kita tidak menjadi sasaran dunia yang kaotis, menyerang setiap konsep-konsep yang kita miliki atau kita percayai. Yang pada akhirnya kita gagal menjadi manusia Ubermensch yang Nietzsche impikan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun