Mohon tunggu...
Muhammad Yunus
Muhammad Yunus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kemandirian Pilar Dalam Kebersamaan Saling Berpadu

Penggiat Ekonomi Syariah terapan, dan Pertanian Organik Terpadu berbasis Bioteknologi. Sehat Manusia, Sehat Pangan, Sehat Binatang, Sehat Tanah, Air dan Udara.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bangsa Sebagai Ibu, Bapak Mengelola Negara

22 Desember 2018   23:45 Diperbarui: 22 Desember 2018   23:51 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proklamasi Kemerdekaan sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dok. Pribadi

Bila membentang penglihatan dari mata, hamparan khatulistiwa indah rupawan. Bebagai potensi berkelola menjadi pariwisata. Hijau rona pemandangan berada menuju puncak gunung bersemburkan hawa panas. Bentangan biru, berkarang kuat membentuk lamun surgawi bawah air.

Tidakpun diaduk aduk dengan kebijakan bernafsu keserakahan, bentangan pantai berpasir putih, cukup menjadi nikmat. Beragam alasan ekploitasi dan cadangan energi terbarukan, sebenarnya cukup menopang kehidupan anak-anak bangsa. 

Ibu yang mengandung, melahirkan, merawat dan menumbuhkan. Selalu dekat, akrab dan menerima berbagai perlakuan. Banyak sudah hutan beralih menjadi gurun dan menghancurkan. Lewat kasih sayang hujan yang mengalir pelan, tetap menumbuhkan. Perawatannya panjang dengan kesabaran. Siraman cahaya matahari memasak keperluan ekosistem tetap tumbuh. Berjemur dalam terik, tampa perlu hangus dan dehidrasi. Malam datang menyelimuti untuk rehat tanpa menumpuk beban. 

Semua yang ada boleh dibawa pergi dan dinikmati dari bangsa untuk negara. Namun, tetap mesti ada tertinggal yang membuat penghuni rumah tidak kelaparan. Sebab, menunggu bantuan dari ibu bangsa tetangga, membutuhkan negosiasi panjang yang kadang mesti menggadaikan parang untuk berladang.

Sedangkan tanah dan air telah berlumpur bercampur sampah. Mengendapkan butuh waktu lama. Biar tanah mengendap dan air memisah. Memilah sampah pun teramat susah. Salah pilah, tanah dan air kembali menjadi lumpur. Sebab tangan demi tangan anak hasil perkawinan ibu dan ayah lebih enak berada dari kotak kecil yang tersambung dengan penghuni planet yang tidak dikenal. 

Tertawa, bersedih, mengumbar caci maki, saling tantrum. Bersembunyi digelap tak mengunci diri dalam bilik. Sebab, pekerjaan Bapak yang berkeringat, menguras energi berfikir, menata ego dalam negosiasi biar cadangan emas yang tersisa. Bisa menjadi mahar anak lelaki yang ingin memiliki banyak lembaran bertuliskan angka-angka untuk berbagai transaksi.


Namun, soal untuk berkeringat, berjibaku, dan sabar menanti proses. Terkadang tidak masanya. Sebab nafsu makan berasal dari imajinasi gambar dan cerita dari berbagai tawaran tetangga dalam kampung global. Mengumbar air liur selera. Cukup tekan tombol dan bayar pakai catatan saja. Maka padi yang seharusnya dipanen diupahkan kepada petani berjiwa bisnis. Mengincar tanah yang menumbuhkan.

Di dalam tanah, terkandung banyak mineral. Dengan pandangan ilmu terapan dan kebijakan berpihak kesejahteraan untuk sesama anak bangsa, mencukupi kebutuhan generasi bin generasi binti generasi. Sebelum dunia usai dihancurkan semesta raya.

Dalam cerita berbasis kata, gambar potret sudut buta. Maka menjadi perjanjian untuk dapat uang tanpa keringat. Dibayar dimuka, untuk berfoya-foya untuk mendapatkan kursi kuasa tidak lama. Masanya sekarang ada pesta pora. Ditabahkan nama demokrasi secara bersama. Kesepakatan yang diwakilkan kepada anak bangsa, membantu Bapak mengelola negara.

Soal pesta, semua mesti bergembira. Apa yang ada mesti dibawa dan disumbangkan untuk sesama. Persoalan melampaui kebutuhan, keinginan menjadi hakim penentu. 

Dalam pesta, ada sikut tak segaja. Pamer baju punya. Gelar berderet dan tampang berkaya. Bila tidak, maka dangau tepi hutan tempat meratap tidak ikut pesta. Berjaga, jangan sampai 'gerombolan tikus' maling lumbung negara. Sebab isi tidak tinggal seberapa. Panen ladang dan sawah, hanya dapat 10% sebagai pajak tanda masih berpunya. Daulat namanya.

Orang seberang datang ikut memeriahkan pesta. Bawa banyak rupa parang, tampang, benih dan sedikit lembar bernama dan ceritanya sangat berharga. Bisa membeli kesejahteraan penghuni desa yang sedang dan akan berpesta. Negosiasi demi negosiasi berjalan alot dalam mabuk kuasa. Dukung mendukung berpola. Tua muda berbeda pilihan. Kecil besar bersitegang. Dan banyak yang mojok memadu cumbu dengan pembawa parang.

Tampang gagah dan cantik hipnotis birahi. Sebab cinta anak beda lorong ditolok mentah. Bapak tidak restu, sebab ia berbaju lusuh karena termakan usia. Cukup kasih tambalan paksa dengan merobek hati. Pakaian lusuh tidak sepantasnya ikut pesta pora.

Ibu menanti sabar kapan anak tidak pulang larut. Membawa keletihan, luka, kecewa. Sebab Bapak lelah sesumbar adu pantun tak berisi. Sorak sorai tetap membahana. Pesta mesti panjang. Bergagah-gagah untuk dinyatakan menang atas pemilihan semua berKTP. Sebab bila kalah. Maka berbagai sampah berlumpur akan disandang. 

Berfoto, dan menjadi cerita mulut ke mulut dengan gambar blur. Akan menjadi oleh-oleh para tetangga beda negara dan bangsa.

Sebelum, panas nafsu kuasa menjadi kelahi fisik. Terbelah dengan dendam membara. Bulian catatan berturut kata. Masih ada jeda angin dingin dari rintihan do'a. Lembut dibawa angin memasuki relung telinga bersumbat.

Masih ada jalan damai, cara beradab, dan aturan yang tersimpan sebagai pusaka. Jarang dibuka, didedah sebagai pengingat bahwa bangsa sebagai Ibu dulunya gadis cantik rupawan 'diperkosa' penjajahan. Bapak negara hadir menyelamatkan untuk bisa menjadi satu keluarga. Setara dan sebangun sesama negara dan gadis bangsa yang juga telah bersunting.

Sebab pergaulan dalam reunian dengan banyak tema. Tidak elok, terlihat bahwa Bapak Negara babak belur menundukkan muka. Sebab terlena minuman dan makanan kemodrenan, tanpa mesti susah payah membentuk sendiri. Cukup dengan tanda tangan. Bangsa sebagai ibu bisa dinikmati bersama oleh kerakusan secara bergilir atau bersama-sama.

Bapak pengelola Negara, Ibu perawat bangsa. Panggillah anak-anak duduk bersila. Menyelesaikan perkara demi perkara, tentang tanah, air, emas dan laut, air dan bentangan alam untuk dikelola berdasarkan kearifan dan kebijaksanaan kakek-kakek pejuang yang telah berkalang tanah. 

Membuka pusaka, memakai baju kehormatan yang tumbuh dalam diri pewaris kepahlawanan. Dan mengembalikan secepat mungkin, perkakas yang tidak dimegerti oleh anak-anak bangsa yang belum dilahirkan. Sebab pemuda dan pemudi siap kawin kapan saja, tidak lagi mau terikat dan mengikat dalam pernikahan.

Sebab apa yang dibawa pemuda tampan dan pemudi bidadari dari tanah seberang, lebih dipandang dan gaul. Walau hanya penikmat dibalik layar kecil sudah sampai kemana-mana.

Setelah pesta demokrasi, tetap meninggalkan kelelahan jiwa. Luka berjalin dendam. Kepercayaan yang matang dipaksa. Membusuk di dalam menjalar dalam pikiran. 

Semoga hanya 'lamunan lintasan'.

Sebab ibu sebagai bangsa, bapak mengelola negara, masih berjiwa arif dan bijaksana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun