Mohon tunggu...
Sang Nanang
Sang Nanang Mohon Tunggu... -

Manungso tan keno kiniro!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Setelah Hari Kartini, Sosok Kartono yang Terlupakan

22 April 2015   08:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:48 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah dua puluh sembilan tahun melanglang buana di dunia Barat, Kartono memutuskan untuk pulang ke tanah airnya, Hindia Belanda. Sekembalinya di Jawa, Kartono tidak kembali ke Jepara melainkan bergabung dengan Taman Siswa Bandung. Ia memang bertekad meneruskan cita-cita Kartini untuk memajukan pendidikan kaum pribumi. Atas jasa baik RM Soeryodipoetro, adik Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan kita, Kartono diminta menjadi pimpinan Nationale Middlebare School(Sekolah Menengah Nasional) milik Taman Siswa. Selain itu ia juga diminta menempati sebuah gedung di jalan Pungkur Nomor 7 Bandung.

Jalan Pungkur Nomor 7 kemudian berkembang pula menjadi sebuah perpustakaan atas jasa baik beberapa kolega dan teman-temannya yang memberikan sumbangan koleksi buku. Rumah panggung dari kayu dengan dinding anyaman bambu tersebut diberi nama Pondok Darussalam yang berarti rumah kedamian.

Pondok Darussalam kemudian berkembang menjadi tempat berkumpulnya para tokoh pergerakan nasional. Tak kalah tokoh seperti Bung Karno memerlukan datang untuk sekedar belajar bahasa dan bertukar pikiran dengan Kartono. Bahkan kemudian pondok tersebut menjadi pusat kegiatan Partai Nasional Indonesia dan Indonesisch Nationale Padvinders Organisastie pimpinan Abdoel Rachim, mertua Bung Hatta.

Demi menyaksikan penderitaan rakyat di sekitarnya yang didera kemelaratan dan berbagai macam penyakit, Kartono kemudian banyak melakukan tirakat dan laku prihatin. Ia seringkali melakukan cegah dahar lan guling, melakukan puasa dan mengurangi waktu tidur. Seringkali ia hanya minum air kelapa muda. Berkat karomah yang dianugerahkan Tuhan, ia berhasil menyembuhkan masyarakat yang datang berobat kepadanya. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh spiritual hingga dipanggil dengan sebutan Eyang Sosro.

Eyang Sosro dalam melakukan penyembuhan terbilang memakai metode yang unik. Cerita air putih, huruf alif dan wejangan kebijakan filsafat Jawa adalah media penyembuhan yang melegenda. Bahkan dengan air putihnya, ia pernah diminta oleh Sultan Deli untuk memberantas wabah penyakit yang menyerang warganya.

Eyang Sosro meninggal pada tahun 1952 setelah mengalami kelumpuhan selama sepuluh tahun. Tokoh yang tidak pernah berumah tangga ini dimakamkan di Sedo Mukti desa Kalipitu, Kabupaten Kudus Jawa Tengah.

Diantara nasehat bijaknya yang terkenal adalah ungkapan sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, dan menang tanpa ngasorake(kaya tanpa harta, sakti tanpa jimat, menyerang tanpa prajurit, dan menang tanpa merendahkan). Bahkan di batu nisannya tertulis trimah mawi pasrah, suwung pamrih tebih ajrih, langgeng tan ana susah tan ana bungah, anteng manteng sugeng jeneng(rela terhadap takdir yang terjadi, tidak ambisius tiada ketakutan, tetap tenang dalam keadaan suka dan duka, diam sungguh-sungguh, maka akan selamat sentosa).[]

Foto dari sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun