Mohon tunggu...
Hidayat Doe
Hidayat Doe Mohon Tunggu...

Lahir di Kamaru, Buton. Alumnus Ilmu Hubungan Internasional Unhas....

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konservatif, Revolusioner, dan Reformatif

22 September 2011   09:10 Diperbarui: 4 April 2017   18:03 26776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketiga kata sifat di atas tampaknya menarik sekaligus relevan dibahas dalam konteks kebangsaan. Sebab, pertama, istilah tersebut menggambarkan sifat dan karakter sebuah perubahan yang sedang dijalankan oleh sebuah negara seperti Indonesia. Kedua, ketiga kata itu menjadi model gerakan perubahan yang diusung oleh masing-masing kekuatan dan kelompok sosial politik yang ada di sebuah bangsa seperti pula di Indonesia.

Konservatif merupakan sikap dan perilaku politik yang tidak menginginkan adanya perubahan berarti (mendasar) dalam sebuah sistem. Sikap ini biasanya dianut oleh mereka yang tengah menikmati posisi istimewa atau kekuasaan dalam sebuah struktur atau paling tidak merasa sangat diuntungkan oleh system yang ada. Mereka umumnya adalah kaum pemodal, penguasa, penjilat, dan kaki tangannya sebuah rezim.

Kaum konservatif jumlahnya tak seberapa namun mereka adalah kekuatan dominan dalam sebuah system sosial politik negara. Merekalah yang kemudian mengendalikan dan menjalankan system kekuasaan negarauntuk meraup untung dan menikmati kekuasaan.

Agar kekuasaan mereka bertahan lama, kaum konservatif lebih cenderung mempertahankan dan melestarikan system yang sudah ada. Kalau pun mereka melakukan perubahan karena desakan dan dorongan luar oleh kelompok oposan, mereka hanya ingin perubahan itu tidak sama sekali menggeser atau menghilangkan posisi mereka dalam kekuasaan. Itupun, perubahan itu hanya mungkin terjadi bila situasisudah sangat krisis dan mendesak yang memaksa mereka harus turun dari posisi kekuasaan.

Hal itu bisa saja terjadi bila gerakan perlawanan demikian kuat, massif, dan terorganisir dalam sebuah bangsa. Perubahan seperti ini yang pernah terjadi di negara ini ketika rezim orde baru ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa yang didukung oleh kaum cendikia dan massa rakyat.

Akan tetapi, perubahan itu hingga kini tidak membawa perubahan yang berarti bagi kehidupan masyakarat dan kemajuan bangsa. Sebab kaum konservatif kembali berkuasa dan bercokol dalam system kenegaraan kita.

Berbeda dengan istilah konservatif, revolusioner adalah situasi terjadinya perubahan besar-besaran dan mendasar dalam sebuah system ketatanegaraan. Sehingga kaum revolusioner sangat bersebrangan dengan mereka yang konservatif. Kaum revolusioner umumnya adalah mereka yang merasa ditindas, dieksploitasi dan dikhianati oleh para penguasa yang berposisi sebagai kaum konservatif.

Kaum revolusioner tidak saja berasal dari kaum buruh, tani, dan nelayan yang tertindas, tetapi juga golongan intelektual, cendikia, maupun kelas menengah yang punya kesadaran ideologis untuk melakukan perubahan secara fundamental pada sebuah system. Malah, mereka yang intelek, cendikia dan kelas menengah ini memiliki peran strategis untuk memelopori, mengorganisir, mengagitasi, dan mendorong massa dalam melakukan perlawanan.

Hanya saja, sosok intelektual, cendikia dan kaum menengah demikian amat jarang ada dalam konteks sosial politik bangsa kita hari ini. Kaum intelektual, cendikia dan menengah Indonesia saat ini umumnya menjadi konservatif, yang hanya bekerja sebagai tukang, pendukung dan bahkan penjilat rezim.

Sosok intelektual, cendikia dan kaum menengah revolusioner hanya ada dalam sejarah kemerdekaan kita pada beberapa dekade lalu. Nama-nama seperti Soekarno, Syahrir, Tan Malaka, Cokroaminoto, Agus Salim dan lain-lain adalah tokoh-tokoh revolusioner yang berasal dari kaum intelektual, cendikia dan menengah yang mau melakukan perlawanan terhadap kompeni belanda untuk memerdekakan bangsa ini dari proses penindasan dan kolonialisme.

Sosok-sosok revolusioner demikian yang sudah hilang dalam kehidupan bangsa kita. Yang tersisa hanya mereka-mereka yang pragmatis, oportunis dan konservatif. Generasi pejuang seperti dulu seakan terputus ditelan arus dan perubahan zaman.

Bangsa pun akhirnya kembali dijajah. Para penjajah bukan saja orang asing seperti kompeni dulu, tetapi anak Indonesia sendiri yang berkuasa di pemerintahan tetapi hanya bekerja untukkepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya.

Sungguh, betapa bejat moralitas para penguasa hari ini. Negara yang semula dibentuk dengan pengorbanan darah dan nyawa, mereka malah asyik menghisap dan mengkorupsi kekayaan negara. Betul-betul hina dantidak tahu diri.

Lantas bagaimana dengan gerakan reformasi yang pernah dipelopori oleh mahasiswa yang juga didukung oleh kaun cendikia dan menengah? Bukankah itu tanda munculnya sosok-sosok revolusioner bangsa?

Secara objektif, gerakan reformasi yang meledak pada tahun 1998 lalu hanyalah perubahan pergantian simbol kekusaan dan perangkat-perangkatnya tetapi system dan struktur social ekonomi bangsa masih tetap sama. Sosok revolusioner nyatanya tidak tampil juga untuk mengambil alih estafet kekuasaan demi perubahaan fundamental. Yang terjadi hanyalah praktik transaksional dan sirkulasi kekuasaan diantara elite politik, intelektual dan cendikia yang pragmatis, oportunis serta konservatif.

Karena itu istilah reformatif yang penulis sedang ulas, sebagai model perubahan bertahap atau gradual tidak bermakna apa-apa bagi kehidupan riil rakyat dan bangsa ini. Seandainya proses reformatif itu bergulir sebagaimana mestinya, rezim transisi yang telah berjalan 13 tahun ini barangkali bisa memberikan sedikit harapan dan kemajuan bagi rakyat dan Negara. Tetapi kenyataannya lain, gerakan reformasi hanyalah upaya kompromi dan pergantian kekuasaan melulu di level elite. System dan kebijakan negara tidak pernah disasar sebagai satu perubahan reformatif yang mengarah pada kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Kalau sudah demikian, lantas bagaimana resolusinya?

Butuh Pemimpin Revolusioner

Debat antara istilah reformasi atau revolusi barangkali sedikit klasik dan kusir. Namun inilah model perubahan yang seringkali dibahas serta ditempuh oleh bangsa-bangsa di dunia. Meski sebenarnya ada istilah transformasi, restorasi dan lain-lain yang sering didengungkan oleh kelompok tertentu. Tetapi menurut penulis, istilah lain itu hanyalah turunan dari pendekatan revolusioner dan evolusi (reformatif).

Karena itu, kalau pilihannya adalah revolusi atau reformasi, penulis lebih sepakat dengan jalur revolusi. Gerakan revolusioner tidak mesti harus berdarah atau memakan korban. Asal ada pemimpin revolusioner dan berkarakter yang mau melakukan perubahan mendasar dan fundamental pada system dan tata kelola kenegaraan kita, Indonesia bisa melakukan sebuah revolusi.

Gerakan revolusi juga bisa dilakukan dalam ranah kebudayaan, yang tidak mesti ada pertumpahan darah sebagaimana asumsi sejumlah orang. Revolusi kebudayaan adalah sebuah gerakan kebudayaan yang mencoba menghidupkan kembali nilai-nilai budaya unggul dan moralitas di berbagai sektor kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Sehingga budaya anti-korupsi yang menjadi penopang kemajuan bangsa bisa hidup dan berkembang dalam birokrasi pemerintahan.

Di Rumah Kecil PK Identitas......

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun