Mohon tunggu...
Oksand
Oksand Mohon Tunggu... Insinyur - Penulis Storytelling dan Editor

Penulis Storytelling - Fiksi - Nonfiksi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Fenomena Bahasa "Djadoel" Hingga "Zaman Now"

12 November 2017   18:56 Diperbarui: 12 November 2017   19:00 3050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 70an, ada kata yang dibolak balik susunannya. Seperti "Juung" dari kata ujung. "Roang" dari kata orang. "Lajan" dari kata jalan.

Era 80an, beken dengan bahasa "prokem". Prokem, dari kata preman, dua huruf terakhir (an) dihilangkan. Lalu ditambahkan "ok" setelah suku kata pertama. Preman --> Prokem.

Contoh lain, "Bokap". Dari kata Bapak, dua huruf terakhir dihilangkan. Ditambahkan "ok" setelah huruf pertama, jadilah Bapak --> Bokap.

Jaman 90an, lebih banyak lagi bahasa kekiniannya, pada masa itu.

"Agakugu magaugu igitugu" ^_^

"Aku mau itu", hanya ditambahkan "gu" setelah suku kata pertama.

Ada lagi yang kayak gini.

"Inakinu minainu initinu"

"Aku mau itu", hanya saja ditambahkan "in" di depan dan di tiap suku kata.

90an akhir, lahirlah bahasa alay masa itu yang lebih banyak dipakai banser. Kayak "lekong", "mawar", "begindang", dan sebagainya.

Bahasa alay 90an itu masih dipakai sampai sekarang, oleh kalangan tertentu saja ^,^

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun