Mohon tunggu...
Sandi Taruni
Sandi Taruni Mohon Tunggu... Outdoor Educator and Entrepeneur

Saya memulai perjalanan di dunia Outdoor Education dan Experiential Learning sejak tahun 2009, bermula sebagai Asisten Pertolongan Pertama dalam program-program petualangan alam. Kecintaan saya pada kegiatan luar ruang, budaya lokal, dan isu-isu keberlanjutan membawa saya menekuni bidang ini secara lebih serius—hingga akhirnya mendirikan Jelajah Outdoor, provider Experiential Education berbasis alam terbuka. Selain sebagai praktisi dan fasilitator pembelajaran, saya juga aktif dalam pengembangan pariwisata berbasis komunitas. Saya percaya bahwa edukasi, konservasi, dan kolaborasi adalah tiga pilar penting dalam menciptakan dampak jangka panjang, baik bagi peserta didik maupun masyarakat lokal. Sebagai seorang traveler dan fly angler yang antusias, saya kerap memanfaatkan setiap perjalanan sebagai medium untuk menyebarkan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan dan membangun keberlanjutan. Semua pengalaman dan passion ini saya tuangkan dalam pengembangan fondasi dan budaya Jelajah Outdoor, dengan harapan dapat menjadi salah satu tolok ukur bagi program pendidikan luar ruang di Indonesia yang aman, bermakna, dan berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Aplikasi Experiential Education Kedalam Study Tour Sekolah

15 Agustus 2025   10:29 Diperbarui: 15 Agustus 2025   10:29 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan Berkemah di Alam untuk Pengembangan Diri Sswa (Sumber: Jelajah Oudtoor)

Agar implementasi efektif, Study Tour 2.0 sebaiknya dirancang melalui empat fase jelas: persiapan, pelaksanaan, refleksi bermakna, dan tindak lanjut. Setiap fase saling berkaitan; jika salah satu lemah, hasil keseluruhan akan terpengaruh.

  1. Persiapan --- sebelum berangkat, guru menetapkan tujuan pembelajaran lintas-mata-pelajaran. Misalnya, kompetensi observasi (IPA), keterampilan wawancara (Bahasa), analisis ekonomi lokal (IPS), dan kepemimpinan kelompok (PKN). Selain itu, kelompok dibuat heterogen untuk mendorong kolaborasi, dan rubrik penilaian disiapkan agar proses dapat dinilai objektif.

  2. Pelaksanaan (misi lapangan) --- di lokasi, setiap kelompok menjalankan misi nyata: inventarisasi, survei, wawancara, atau pengamatan sistem. Guru berperan sebagai fasilitator---memancing pertanyaan kritis, memastikan keamanan, dan membantu teknik pengumpulan data. Dengan demikian, siswa aktif terlibat dalam proses ilmiah sederhana.

  3. Refleksi bermakna --- ini adalah jantung experiential education. Setelah kegiatan lapangan, siswa tidak boleh langsung pulang; mereka perlu diarahkan melakukan refleksi terstruktur: journaling, diskusi kelompok, dan presentasi. Refleksi membantu siswa mengaitkan pengalaman dengan konsep teoretis, serta menumbuhkan kesadaran diri dan empati.

  4. Tindak lanjut (aksi nyata) --- hasil kunjungan harus diintegrasikan ke sekolah atau komunitas. Contohnya: kampanye kebersihan berdasarkan hasil survei pantai, pameran poster hasil inventaris biota, atau kolaborasi dengan UMKM lokal berdasarkan wawancara. Tindakan ini memperkuat transfer pengetahuan menjadi perubahan nyata.

Membuat jurnal sebagai media refleksi (Sumber: Jelajah Outdoor)
Membuat jurnal sebagai media refleksi (Sumber: Jelajah Outdoor)

Refleksi bermakna: teknik dan contoh panduan

Refleksi bukan sekadar menulis perasaan; refleksi bermakna menuntun siswa menganalisis proses berpikir, mengambil pelajaran, dan merencanakan perubahan perilaku. Untuk itu, guru dapat menggunakan beberapa teknik sederhana:

  • Jurnal reflektif terstruktur --- sediakan pertanyaan pemandu seperti: Apa yang saya lihat hari ini yang mengejutkan? Mengapa hal itu penting? Apa hipotesis saya dan apakah data mendukungnya? Apa satu tindakan kecil yang bisa saya lakukan besok?
  • Debrief kelompok (plus-minus-delta) --- setiap kelompok menyebutkan hal yang berhasil (plus), yang kurang (minus), dan yang akan diperbaiki (delta). Dengan demikian, diskusi cepat namun terarah.
  • Konferensi mini dengan pihak lokal --- siswa mempresentasikan temuan dan mendengarkan masukan dari pemandu atau pelaku lokal; ini menguatkan rasa tanggung jawab.
  • Portofolio pembelajaran --- kumpulkan foto, data lapangan, hasil analisis, dan refleksi dalam bentuk digital atau fisik. Portofolio menjadi bukti autentik proses belajar.

Sebagai hasilnya, refleksi membuat pengalaman bukan hanya kenangan, tetapi juga sumber pengetahuan yang dapat diterapkan.

Contoh praktik: study tour dua hari yang aplikatif

Untuk memberi gambaran nyata, berikut kerangka singkat study tour dua hari yang bisa diadaptasi:

  • Hari 1 (Observasi & Koleksi Data): Briefing tujuan, pembagian kelompok, pelatihan singkat teknik observasi dan wawancara, pengumpulan data lapangan (flora/fauna, wawancara UMKM, survei kebersihan).
  • Hari 2 (Analisis & Rekomendasi): Analisis data secara cepat, diskusi dengan pemangku kepentingan lokal, penyusunan rekomendasi, presentasi kelompok, dan refleksi akhir (jurnal + debrief).

Dengan demikian, siswa tidak sekadar melihat; mereka bertanggung jawab menghasilkan produk yang bisa dinilai dan diikuti.

Manfaat riil bagi siswa, guru, dan komunitas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun