Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Telemedicine 085-77777-2765. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan.www.klinikdrwidodo.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Perseteruan Masalah KKI dan Diabaikannya Para Ahli

2 Mei 2025   17:05 Diperbarui: 3 Mei 2025   05:37 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Posisi Kolegium Kedokteran Menurut Dunia Kedokteran

Independensi kolegium atau dewan medis merupakan prinsip yang dijunjung tinggi di banyak negara karena dinilai penting dalam menjaga objektivitas penetapan standar pendidikan dan kompetensi tenaga kesehatan, khususnya dokter. Kolegium yang independen memastikan bahwa keputusan yang diambil berbasis ilmiah dan profesional, bukan semata-mata karena tekanan politik atau kepentingan birokratis. Dalam konteks ini, organisasi profesi memainkan peran strategis dalam membentuk dan menopang kolegium sebagai entitas keilmuan dan etika profesi yang tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh birokrat pemerintah. Kekuatan moral dan profesionalisme organisasi profesi justru menjadi landasan kepercayaan publik terhadap mutu layanan kesehatan.

Idealnya, sistem pengelolaan profesi kesehatan bersifat kolaboratif antara pemerintah dan kolegium. Negara memegang peran sebagai fasilitator dan regulator umum, namun tidak secara total mengendalikan arah dan isi pendidikan maupun pengaturan profesi. Contoh yang banyak dirujuk adalah Inggris dan Australia. Di Inggris, General Medical Council (GMC) menjadi lembaga independen yang menetapkan standar profesi kedokteran, sedangkan di Australia peran ini dimainkan oleh Medical Board of Australia bekerja sama dengan Australian Health Practitioner Regulation Agency (AHPRA), keduanya berjalan secara otonom dari intervensi pemerintah.

Pengalaman negara-negara tersebut menunjukkan bahwa terlalu dominannya kontrol pemerintah justru berisiko menciptakan stagnasi dalam kualitas pelayanan medis. Hal ini terjadi karena keputusan strategis lebih ditentukan secara administratif ketimbang berdasarkan ilmu dan dinamika kebutuhan layanan kesehatan. Oleh karena itu, keberadaan akademisi dan praktisi klinis sebagai pengambil keputusan utama dalam dewan medis menjadi penting. Mereka memiliki pemahaman kontekstual dan teknis yang tidak dimiliki oleh birokrat. Dalam banyak sistem, akuntabilitas kolegium terhadap publik dijaga melalui mekanisme pelaporan terbuka dan akreditasi, bukan dengan cara menempatkannya di bawah subordinasi kementerian.

Negara-negara seperti Kanada dan Jerman menerapkan sistem campuran yang seimbang, di mana pengawasan regulatif dilakukan oleh pemerintah, sementara keputusan teknis dan ilmiah tetap menjadi ranah asosiasi profesi yang diakui kredibilitasnya. Model ini terbukti menjaga profesionalisme tanpa melemahkan peran negara. Jika kolegium kehilangan otonomi, maka kurikulum dan pengembangan kompetensi tenaga kesehatan akan berisiko tidak responsif terhadap perubahan dan tuntutan klinis yang sangat dinamis. Hal ini akan berdampak pada menurunnya kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan secara keseluruhan.

Bahkan lembaga global seperti WHO telah merekomendasikan agar negara-negara menjaga keseimbangan antara kontrol negara dan otonomi profesi dalam tata kelola sektor kesehatan. Keseimbangan inilah yang menjadi kunci keberhasilan sistem kesehatan modern yang adaptif, profesional, dan berorientasi pada mutu serta keselamatan pasien.

Penolakan Organisasi Profesi

Sebelumnya, tenaga medis dan tenaga kesehatan dari berbagai profesi sempat turun ke jalan melakukan aksi penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Aksi ini merupakan respons keras terhadap rencana pemerintah yang akan memindahkan wewenang penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) ke Kementerian Kesehatan. Bagi para profesional kesehatan, langkah tersebut dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap prinsip independensi dan otonomi organisasi profesi yang selama ini menjadi pilar dalam menjaga mutu, etika, dan kompetensi layanan kesehatan. Aksi demonstrasi tersebut menjadi simbol keresahan kolektif para tenaga kesehatan atas campur tangan politik dan birokrasi dalam dunia profesi yang bersifat ilmiah dan etis.

Beberapa organisasi profesi kesehatan besar di Indonesia, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Beberapa kali sebelumnya beramai ramai turun ke jalan melakukan aksi secara tegas menyatakan penolakan terhadap RUU tersebut. Mereka memandang bahwa pengalihan wewenang STR ke Kementerian Kesehatan akan mendegradasi posisi profesi kesehatan yang sebelumnya bersifat otonom dan mandiri. Organisasi-organisasi ini khawatir bahwa profesi kesehatan akan kehilangan kontrol atas standar kompetensi dan izin praktik, yang seharusnya dikawal oleh badan profesional, bukan sepenuhnya oleh pemerintah. Keprihatinan ini mencerminkan betapa pentingnya menjaga independensi kelembagaan dalam pengawasan profesi kesehatan.

Kekhawatiran utama para tenaga kesehatan adalah kemungkinan melemahnya peran KKI sebagai lembaga independen dalam mengatur dan mengawasi profesi kesehatan. Bila kewenangan STR berpindah tangan ke Kementerian Kesehatan, proses registrasi dan izin praktik dikhawatirkan menjadi rentan terhadap intervensi politik dan birokrasi, bukan semata-mata berdasarkan penilaian objektif terhadap kualitas dan kompetensi. Hal ini tentu berpotensi menurunkan standar mutu layanan medis di Indonesia. Oleh sebab itu, penolakan ini bukan semata bersifat politis, tetapi berakar dari upaya menjaga standar etika dan keilmuan dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Sebagai alternatif, organisasi profesi tersebut mengusulkan agar kewenangan penerbitan STR tetap berada di bawah KKI, dengan tetap mempertahankan prinsip independensi dan akuntabilitas. Mereka menekankan bahwa KKI perlu diperkuat secara kelembagaan, bukan dilemahkan, agar dapat terus menjadi pengawal mutu profesi kesehatan secara profesional. Kolaborasi dengan pemerintah tetap dibuka dalam koridor regulasi dan fasilitasi, namun penetapan standar keilmuan dan kompetensi sebaiknya tetap menjadi ranah organisasi profesi. Dengan demikian, sistem kesehatan nasional akan lebih kokoh karena berdiri di atas dasar profesionalisme, etika, dan kepakaran yang bebas dari tarik-menarik kepentingan birokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun