Rio 3 tahun, seorang anak laki-laki, sejak usia dini menunjukkan emosi yang meledak-ledak: mudah marah, suka mencakar, mencubit, melempar barang, membanting mainan, Â memukul, berteriak keras, dan bersikap sangat keras kepala. Selama ini, sebagian dokter menyatakan perilakunya masih dalam batas normal dan bagian dari fase perkembangan, sementara dokter yang lain menuding pola asuh yang terlalu memanjakan sebagai penyebab atau psikolog menganggap gangguan mekanisme pembelaan diri karena masalah kedua orangtuanya. Namun, setelah orang tuanya mencari second opinion ke dokter lain yang lebih mendalami hubungan antara gangguan emosi dan alergi, ditemukan bahwa Rio memiliki alergi makanan dan gangguan pada saluran cerna yang berkaitan erat dengan perilaku emosionalnya. Setelah menjalani eliminasi makanan tertentu, perilaku emosionalnya menunjukkan perbaikan signifikan. Kasus Rio menjadi ilustrasi nyata pentingnya mempertimbangkan evaluasi alergi makanan dan saluran cerna sebagai bagian dari pendekatan klinis terhadap gangguan emosi pada anak.
Gangguan emosi pada anak sering kali dianggap sebagai bagian dari perkembangan normal atau hasil pola asuh yang kurang tepat. Namun, kasus Rio menunjukkan bahwa alergi makanan dan gangguan saluran cerna dapat berperan signifikan dalam manifestasi perilaku seperti agresivitas, tantrum, dan impulsivitas. Setelah dilakukan eliminasi makanan tertentu, gejala emosional Rio membaik secara signifikan, menyoroti pentingnya evaluasi alergi makanan dalam penanganan gangguan emosi pada anak.
Perilaku agresif dan emosional pada anak sering kali dianggap sebagai fase perkembangan atau akibat pola asuh yang kurang tepat. Namun, pendekatan ini dapat mengabaikan faktor medis yang mendasarinya, seperti alergi makanan dan gangguan saluran cerna. Kasus Rio, seorang anak laki-laki dengan perilaku agresif dan emosional yang signifikan, menunjukkan bahwa eliminasi makanan tertentu dapat memperbaiki gejala tersebut.
Penelitian menunjukkan bahwa gangguan pada saluran cerna dapat mempengaruhi fungsi otak melalui sumbu usus-otak (gut-brain axis), yang dapat memengaruhi perilaku dan emosi anak. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan evaluasi medis, termasuk alergi makanan, dalam penanganan gangguan emosi pada anak.
Tanda dan Gejala Gangguan Emosi pada Anak
- Anak dengan gangguan emosi sering menunjukkan gejala yang nyata dalam bentuk anak mudah marah, mudah menangis, mudah berteriak, emosi yang meledak-ledak dan sulit dikendalikan. Gejala ini meliputi mudah marah, sering mencakar, mencubit, melempar barang, memukul, berteriak keras, serta menunjukkan sikap keras kepala dan sulit diarahkan. Mereka juga cenderung membantah orang tua atau guru, mengalami gangguan mood yang fluktuatif, serta menunjukkan tanda-tanda kecemasan yang tidak wajar. Tidak jarang, anak-anak ini menolak untuk bersekolah, bahkan harus berpindah sekolah berkali-kali karena kesulitan adaptasi atau konflik sosial yang berulang.
- Keras Kepala dengan tampilan anak suka membantah, susah memberitahu, orangtua katakan A anak katakan B, tidak mau disalahkan dan dikoreksi, sering membantah, ingin menang maunya sendiri, suka memotong pembicaraan orang lain, tidak mau mendengar,Â
- Dalam banyak kasus, gangguan emosi juga berdampak pada perilaku sosial dan kemandirian anak. Mereka bisa mengalami tantrum hebat, menunjukkan agresivitas pada teman sebaya maupun orang dewasa, serta bertindak impulsif tanpa mempertimbangkan risiko atau akibatnya. Gangguan dalam mengatur emosi ini menghambat perkembangan hubungan sosial dan dapat menyebabkan kesulitan belajar karena anak sulit untuk fokus atau terlibat dalam kegiatan kelas dengan baik. Gangguan ini bisa berlanjut jika tidak dikenali dan ditangani sejak dini, terutama ketika diabaikan sebagai "fase normal" perkembangan anak.
- Pada beberapa kasus anak dengan gangguan emosi dan gangguan mood pada usia 4-6 tahun saat terganggu sering mogok sekolah. Hal ini sering dianggap masalah di sekolah. Ternyata hanyalah masalah gangguan mood dan gangguan emosi saat pagi hari terganggu saat memulai sekolah seperti kegiatan mandi, bangun tidur, mandi dan makan, Tapi setelah sampai di sekolah anak baik baik saja kata gurunya. Bahkan ada beberapa anak sempat pindah sekolah sampai 3 kali tetap saja mogok sekolah tidak mau sekolah.Â
- Tak jarang, gangguan emosi juga disertai dengan berbagai kondisi penyerta yang memperparah keadaan anak. Beberapa di antaranya adalah anak yang sangat aktif dan tidak bisa diam, mengalami gangguan tidur (seperti sulit tidur atau sering terbangun di malam hari), serta gangguan konsentrasi yang membuatnya tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas sederhana. Anak-anak ini juga dapat mengalami gangguan motorik halus dan kasar, termasuk dalam koordinasi gerakan, serta gangguan oral motor seperti kesulitan makan atau bicara. Beberapa juga menunjukkan gangguan sensoris, seperti sangat sensitif terhadap suara, cahaya, atau sentuhan tertentu, yang semuanya dapat memperburuk ketidakstabilan emosi mereka.
Tanda dan Gejala Alergi Makanan pada Anak
- Gejala alergi makanan pada anak bisa muncul dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah gangguan pada sistem pencernaan. Anak yang mengalami alergi makanan sering menunjukkan keluhan seperti perut kembung, mual , muntah, GERD, nyeri perut, mudah diare, sembelit kronis, kolik. Beberapa anak juga mengalami kesulitan makan, tampak menolak makanan tertentu, atau berat badan yang sulit naik meskipun asupan nutrisi sudah cukup. Gangguan pencernaan ini sering kali disalahartikan sebagai masalah pencernaan biasa, padahal bisa jadi merupakan manifestasi alergi makanan yang perlu ditangani secara spesifik.
- Selain gangguan cerna, alergi makanan juga bisa menimbulkan gejala pada saluran pernapasan atas dan bawah, termasuk saluran THT. Anak bisa mengalami pilek berkepanjangan, hidung tersumbat, bersin terus-menerus, dan infeksi telinga berulang. Pada kasus yang lebih berat, alergi dapat menyebabkan batuk kronis, mengi, dan asma yang sulit dikontrol dengan pengobatan standar. Gangguan napas ini sering kali memburuk di malam atau dini hari, serta saat anak terpapar makanan tertentu tanpa disadari. Alergi juga dapat memicu pembesaran bronkitis, brokopnemonia, amandel membesar, adenoid atau tonsil yang membuat anak tampak terus-menerus sesak atau sulit bernapas saat tidur.
- Gejala lain yang juga umum terjadi akibat alergi makanan adalah kelainan pada kulit. Anak bisa mengalami eksim atopik, berupa ruam kemerahan, kulit kering, bersisik, dan sangat gatal, terutama di bagian lipatan seperti siku, belakang lutut, dan leher. Kadang ruam ini memburuk setelah mengonsumsi makanan pemicu tertentu. Selain eksim, beberapa anak juga menunjukkan gejala seperti biduran (urtikaria), pembengkakan pada wajah atau bibir (angioedema), dan kulit yang sangat sensitif terhadap perubahan cuaca atau bahan tertentu. Semua manifestasi ini sering muncul bersamaan dan menjadi petunjuk penting untuk mengevaluasi kemungkinan adanya alergi makanan yang mendasarinya.
Hubungan Alergi Makanan, Alergi Saluran Cerna, Gut-Brain Axis, dan Gangguan Emosi pada Anak
Alergi makanan, terutama yang berhubungan dengan gangguan saluran cerna seperti intoleransi protein susu sapi atau gluten, dapat mempengaruhi kesehatan mental anak melalui hubungan kompleks antara sistem pencernaan dan sistem saraf pusat yang dikenal sebagai gut-brain axis. Ketidakseimbangan mikrobiota usus (dysbiosis), yang sering terjadi pada anak-anak dengan alergi makanan, dapat memicu peradangan sistemik dan gangguan pada fungsi neurotransmitter seperti serotonin, yang sebagian besar diproduksi di usus. Perubahan ini dapat mengganggu regulasi emosi, berkontribusi pada gangguan kecemasan, depresi, dan perilaku agresif. Penelitian juga menunjukkan bahwa gangguan gastrointestinal yang terkait dengan alergi makanan pada anak-anak dapat memperburuk gejala gangguan spektrum autisme (ASD), dengan perbaikan gejala pencernaan melalui penghindaran makanan tertentu mengarah pada peningkatan fungsi sosial dan penurunan perilaku negatif. Oleh karena itu, penting bagi tenaga medis untuk mempertimbangkan hubungan antara gangguan pencernaan dan emosi pada anak dalam penanganan alergi makanan dan gangguan terkait.
Dalam penelitian yang dimuat di Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition (2020), ditemukan bahwa anak-anak dengan alergi makanan, terutama yang berkaitan dengan intoleransi protein susu sapi atau gluten, menunjukkan prevalensi gangguan mood dan perilaku yang lebih tinggi dibandingkan anak sehat. Studi ini memperkuat hipotesis bahwa respons imun terhadap makanan tertentu dapat menyebabkan inflamasi kronis di saluran cerna yang berdampak pada keseimbangan neurokimia di otak, terutama melalui pelepasan sitokin proinflamasi. Penelitian lain dari Nutrients (2022) mengamati hubungan antara gangguan spektrum autisme (ASD), gejala gastrointestinal, dan alergi makanan. Anak dengan ASD cenderung mengalami lebih banyak keluhan pencernaan dan sensitivitas makanan. Studi ini menemukan bahwa perbaikan gejala gastrointestinal melalui eliminasi makanan tertentu berkorelasi dengan peningkatan fungsi sosial dan penurunan perilaku agresif. Ini menyoroti pentingnya intervensi berbasis diet pada anak dengan gangguan emosi dan spektrum autisme.
Jurnal dari Frontiers in Psychiatry (2021) juga menyoroti bahwa gut-brain axis dipengaruhi oleh mikrobiota usus yang rentan terganggu pada anak dengan alergi makanan. Dysbiosis ini mengubah metabolisme asam lemak rantai pendek (SCFA) dan memperlemah fungsi sawar usus serta sawar darah-otak. Akibatnya, zat-zat proinflamasi lebih mudah masuk ke sistem saraf pusat, memicu respons neuroinflamasi yang memengaruhi regulasi emosi dan perilaku. Penelitian yang diterbitkan dalam Children (2023) oleh Badowska-Kozakiewicz et al. menyatakan bahwa gut-brain axis memainkan peran penting dalam regulasi emosi dan perilaku pada anak. Gut-brain axis adalah jalur komunikasi dua arah antara sistem saraf pusat dan sistem gastrointestinal yang melibatkan sistem saraf enterik, mikrobiota usus, dan sistem imun. Ketidakseimbangan mikrobiota usus (dysbiosis) akibat alergi makanan dapat memicu peradangan sistemik dan mengganggu fungsi neurotransmitter seperti serotonin, yang sebagian besar diproduksi di usus. Gangguan ini berpotensi menyebabkan kecemasan, agresivitas, bahkan gangguan perilaku lain pada anak.