Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Telemedicine 085-77777-2765. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan.www.klinikdrwidodo.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mengompol Pada Anak dan Gangguan Alergi Tersembunyi

13 April 2025   06:03 Diperbarui: 13 April 2025   06:44 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi editing pribadi

Mengompol atau enuresis pada anak sering kali dianggap sebagai bagian dari proses tumbuh kembang yang normal atau akibat masalah perilaku semata, namun sejumlah penelitian ilmiah terbaru menunjukkan bahwa gangguan alergi yang tersembunyi, terutama alergi makanan, dapat menjadi penyebab yang mendasari. Aktivasi sistem imun akibat paparan alergen dapat memicu peradangan sistemik yang memengaruhi fungsi saraf otonom, termasuk saraf yang mengatur kontrol kandung kemih. Kondisi ini kerap tidak dikenali karena gejala alergi tidak selalu muncul dalam bentuk ruam atau sesak napas, melainkan bisa berupa gangguan tidur, batuk malam, sembelit, atau masalah pencernaan. Oleh karena itu, dalam kasus enuresis yang menetap dan sulit diatasi, penting untuk mengevaluasi kemungkinan keterlibatan alergi sebagai faktor yang selama ini tersembunyi.

Mengompol atau enuresis nokturnal pada anak adalah kondisi yang cukup sering dijumpai dalam praktik sehari-hari. Walaupun sering dianggap bagian dari perkembangan normal, banyak orang tua menjadi cemas apabila kebiasaan ini berlangsung melewati usia yang semestinya, atau muncul kembali setelah sebelumnya berhenti. Penyebabnya sangat beragam, mulai dari keterlambatan maturasi sistem saraf yang mengendalikan kandung kemih, gangguan infeksi saluran kemih, kelainan endokrin seperti diabetes, hingga faktor alergi makanan yang kerap tidak disadari. Pemeriksaan menyeluruh menjadi krusial untuk memastikan tidak adanya gangguan metabolik atau neuroimunologis yang mendasari. Dalam konteks tertentu, terutama pada anak dengan gejala alergi yang menyertai, uji tantangan makanan (oral food challenge) dapat memberikan petunjuk diagnostik yang penting. Artikel ini mengupas secara komprehensif berbagai faktor penyebab, proses evaluasi klinis, serta strategi penanganan terkini dalam kasus enuresis nokturnal.

Pada dasarnya, ketidakmampuan menahan buang air kecil saat malam masih dianggap wajar hingga usia sekitar 5 tahun. Namun, bila kondisi ini berlangsung setelah usia tersebut atau kambuh kembali setelah sempat berhenti selama beberapa bulan, maka perlu dipertimbangkan adanya faktor medis atau psikologis yang lebih serius. Dalam dunia medis, kondisi ini disebut enuresis nokturnal, yang mengindikasikan adanya gangguan fungsi kontrol kandung kemih saat tidur. Pada kasus fisiologis bukan gangguan organ yang berkaitan dengan alergi biasanya keluhan tersebut akan membaik setelah usia 12 tahun, sehingga pada orang dewsa lebih jarang terjadi. 

Enuresis terbagi menjadi dua tipe utama, yakni enuresis primer dan enuresis sekunder. Enuresis primer merujuk pada kondisi di mana anak sejak kecil belum pernah sepenuhnya mampu mengontrol buang air kecil saat tidur malam. Sebaliknya, enuresis sekunder adalah kondisi ketika anak yang sebelumnya sudah bisa menahan kencing malam setidaknya selama enam bulan, kemudian kembali mengompol. Perbedaan ini penting karena menunjukkan latar belakang penyebab dan pendekatan diagnosis yang berbeda. Enuresis sekunder sering kali berhubungan dengan faktor emosional, perubahan lingkungan, atau gangguan medis yang mendadak. 

Faktor-Faktor Penyebab Enuresis

Ada berbagai penyebab yang dapat memicu enuresis, mulai dari gangguan fisik hingga faktor lingkungan dan genetik. Infeksi saluran kemih (ISK) sering menjadi penyebab karena menimbulkan iritasi kandung kemih dan meningkatkan urgensi berkemih, bahkan saat tidur. Gangguan endokrin seperti diabetes mellitus dan diabetes insipidus juga bisa menyebabkan enuresis akibat produksi urin yang berlebihan. Salah satu aspek yang kerap diabaikan adalah alergi makanan. Reaksi alergi dapat menimbulkan inflamasi kronis yang berdampak pada sistem saraf otonom, termasuk yang mengatur fungsi kandung kemih. Hormon vasopresin (ADH), yang bertugas mengurangi produksi urin saat malam, juga bisa tidak bekerja optimal pada sebagian anak, menyebabkan produksi urin berlebihan saat tidur.

Selain faktor fisik, aspek psikologis memiliki pengaruh dalam kasus enuresis, terutama pada tipe sekunder. Biasanya faktor psikologis bukan penyebab utama tetapi memperberat faktor kondisi fisik yang sudah ada. Ganguan fisik kandung kemih diperberat saat anak yang mengalami stres, misalnya karena pindah rumah, masalah di sekolah, atau kehadiran adik baru, bisa mengalami regresi dalam pengendalian kandung kemih. Tekanan emosional ini sering kali tidak disadari oleh orang tua, namun sangat berdampak pada perilaku anak. Di sisi lain, faktor genetik juga memainkan peran penting. Anak yang memiliki salah satu atau kedua orang tua dengan riwayat enuresis berisiko lebih tinggi mengalami kondisi serupa. Gen yang memengaruhi maturasi sistem saraf pusat dan pola tidur diduga menjadi penyebab utamanya. Pendekatan holistik, yang mencakup evaluasi fisik, emosional, dan riwayat keluarga, sangat penting dalam penanganan kasus enuresis.

Peran Alergi Makanan dalam Kasus Enuresis

Penelitian oleh Mungan dan kolega yang dipublikasikan dalam Scandinavian Journal of Urology and Nephrology (2005) menyelidiki hubungan antara enuresis nokturnal dan alergi. Dalam studi ini, sebanyak 37 anak dengan enuresis dibandingkan dengan 18 anak sehat sebagai kontrol. Pemeriksaan meliputi kadar total IgE, IgE spesifik terhadap alergen makanan dan inhalan, serta ECP (eosinophilic cationic protein). Hasilnya menunjukkan adanya peningkatan signifikan IgE spesifik terhadap kedelai dan hazelnut pada kelompok enuretik, serta peningkatan kadar ECP. Meskipun kadar total IgE tidak berbeda secara signifikan, hasil ini menunjukkan kemungkinan adanya hubungan imunologis yang spesifik terhadap alergen tertentu yang dapat memicu gejala enuresis.

Penelitian lain yang memperkuat keterkaitan alergi dengan enuresis dilakukan oleh Pei-Hsuan Lai et al. (2018) dan diterbitkan di International Forum of Allergy & Rhinology. Studi ini melibatkan lebih dari 655.000 anak di Taiwan, yang dibandingkan berdasarkan status rinitis alergi (AR). Ditemukan bahwa anak dengan AR memiliki risiko 1,7 kali lebih tinggi mengalami enuresis dibanding anak tanpa AR. Risiko tersebut meningkat pada anak laki-laki, usia di bawah 6 tahun, dan anak dengan komorbid asma, dermatitis atopik, serta ADHD. Penelitian ini menekankan bahwa gangguan tidur akibat AR---seperti sleep-disordered breathing---berpotensi mengganggu refleks berkemih saat tidur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun