Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Telemedicine 085-77777-2765. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan.www.klinikdrwidodo.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mengompol Pada Anak dan Gangguan Alergi Tersembunyi

13 April 2025   06:03 Diperbarui: 13 April 2025   06:44 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi editing pribadi

Sebuah studi oleh Patricia Dahan dkk. yang diterbitkan dalam International Brazilian Journal of Urology (2023) meneliti hubungan antara pengobatan asma dan perbaikan enuresis (ngompol) pada anak. Studi ini melibatkan 20 pasien anak usia 5–12 tahun dengan enuresis dan asma yang tidak terkontrol. Seluruh peserta hanya menerima terapi asma tanpa intervensi khusus terhadap enuresis. Hasilnya menunjukkan bahwa 55% anak mengalami perbaikan setidaknya sebagian terhadap gejala enuresis, dengan peningkatan signifikan dalam jumlah malam tanpa ngompol sebesar 64,4% pada akhir studi. Selain itu, keberadaan alergi lain dan obstruksi saluran napas atas yang terdeteksi melalui endoskopi hidung berhubungan dengan perbaikan gejala buang air kecil. Penemuan ini memperluas pemahaman bahwa tidak hanya obstruksi saluran napas atas (seperti adenoid hipertrofi) yang terkait dengan perbaikan enuresis, tetapi juga kontrol terhadap kondisi alergi lain, termasuk asma, dapat memberikan dampak positif pada gejala enuresis. Ini menguatkan hipotesis bahwa peradangan kronis akibat alergi dapat memengaruhi fungsi kandung kemih melalui mekanisme sistemik atau gangguan kualitas tidur. Studi ini menyoroti pentingnya pendekatan multidisiplin dalam mengevaluasi dan menangani anak dengan enuresis, terutama bila terdapat komorbid alergi atau gangguan saluran napas seperti asma dan rinitis alergi. Pendekatan terapi alergi yang tepat tidak hanya memperbaiki kondisi pernapasan, tetapi juga berpotensi memperbaiki gejala buang air kecil yang sebelumnya tidak terkendali.

Sebuah studi klinis yang diterbitkan dalam Turkish Journal of Pediatrics tahun 2018 meneliti hubungan antara enuresis monosimptomatik (MSE) dan penyakit alergi pada anak-anak. Penelitian ini melibatkan 50 anak berusia ≥7 tahun yang mengalami MSE dan membandingkannya dengan 50 anak sehat dari kelompok kontrol dengan usia yang sebanding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 34% anak dengan MSE memiliki penyakit alergi seperti asma, rinitis alergi, eksim, dan alergi makanan, sementara hanya 12% dari kelompok kontrol yang memiliki kondisi serupa, dengan perbedaan yang bermakna secara statistik. Selain itu, riwayat keluarga terhadap enuresis dan atopi juga lebih tinggi pada kelompok MSE dibandingkan kelompok kontrol. Temuan ini mengindikasikan adanya keterkaitan yang signifikan antara MSE dan berbagai manifestasi penyakit alergi, termasuk alergi makanan. Hal ini memperkuat hipotesis bahwa enuresis pada anak, khususnya yang tidak disertai gejala saluran kemih lainnya (monosimptomatik), bisa menjadi salah satu manifestasi sistemik dari gangguan alergi yang mendasarinya. Oleh karena itu, pada anak-anak yang mengalami mengompol kronis tanpa kelainan urologis yang jelas, evaluasi terhadap kemungkinan alergi—baik pernapasan, kulit, maupun pencernaan—perlu dipertimbangkan dalam diagnosis dan penanganan klinis.

Jika seorang anak sering mengompol dan juga menunjukkan riwayat tanda-tanda gangguan alergi makanan sebelumnya, khususnya yang berkaitan dengan sistem pencernaan, maka penting untuk mempertimbangkan kemungkinan bahwa makanan tertentu menjadi pemicu kondisi tersebut. Alergi makanan tidak hanya memengaruhi kulit atau saluran pernapasan, tetapi juga dapat menimbulkan gangguan pada sistem saraf otonom dan saluran kemih, yang secara tidak langsung bisa menyebabkan anak mengompol, terutama pada malam hari. Oleh karena itu, identifikasi riwayat konsumsi makanan dan pola munculnya gejala sangat penting untuk menentukan hubungan antara makanan tertentu dengan kebiasaan mengompol.

Gejala alergi yang sering menyertai meliputi gangguan kulit seperti eksim atau ruam, gangguan hidung seperti pilek alergi, dan gejala saluran napas seperti mudah batuk, batuk lama, batuk berulang, asma. Selain itu, gangguan pencernaan yang umum terjadi antara lain mual, muntah, sembelit, nyeri perut, dan refluks gastroesofageal (GERD). Kombinasi dari gejala-gejala tersebut, ditambah dengan kebiasaan mengompol yang tidak sesuai dengan usia perkembangan anak, seharusnya menjadi sinyal bagi orang tua dan tenaga medis untuk menelusuri lebih dalam kemungkinan keterlibatan alergi makanan. Pemeriksaan lanjutan, termasuk eliminasi makanan dan uji tantang makanan (oral food challenge), dapat membantu menegakkan diagnosis dan menentukan penanganan yang tepat.

Diagnosis dan Pendekatan Klinis

Evaluasi menyeluruh sangat penting untuk menegakkan diagnosis dan merancang pendekatan terapi yang tepat pada anak dengan enuresis atau gangguan buang air kecil. Proses ini mencakup anamnesis rinci yang menelusuri riwayat alergi makanan, gejala gastrointestinal, serta kebiasaan minum dan buang air kecil. Pemeriksaan laboratorium seperti urinalisis dan darah rutin dilakukan untuk menyingkirkan infeksi saluran kemih dan gangguan metabolik lainnya. Evaluasi hormonal juga perlu dipertimbangkan, terutama bila terdapat kecurigaan defisiensi antidiuretik hormon (ADH) atau kondisi seperti diabetes insipidus. Selain itu, uji IgE total dan spesifik terhadap alergen makanan tertentu dapat memberikan gambaran imunologis awal. Namun, diagnosis alergi makanan tidak cukup hanya berdasarkan tes IgE, karena tidak semua hasil positif menunjukkan reaktivitas klinis.

Untuk konfirmasi diagnosis alergi makanan yang diduga sebagai penyebab gangguan kencing atau enuresis, oral food challenge (uji tantangan makanan) menjadi standar emas. Tes ini dilakukan dengan mengeliminasi makanan yang dicurigai sebagai alergen dari pola makan anak selama beberapa minggu, kemudian secara bertahap diberikan kembali di bawah pengawasan medis. Pendekatan ini jauh lebih akurat dibandingkan hanya mengandalkan hasil tes alergi darah atau kulit. Jika gejala membaik selama fase eliminasi dan muncul kembali saat reintroduksi makanan, maka alergi makanan dapat dipastikan sebagai salah satu kontributor gejala. Dengan pendekatan diagnostik yang menyeluruh dan berbasis bukti ini, penanganan anak dapat diarahkan secara lebih tepat dan individual.

Enuresis nokturnal pada anak bukanlah sekadar masalah psikis, kebiasaan atau perilaku, namun dapat menjadi cerminan dari gangguan sistemik, termasuk peran alergi makanan yang sering kali luput dari perhatian masyarakat. Pendekatan diagnosis harus bersifat menyeluruh, dengan mempertimbangkan faktor genetik, hormonal, infeksi, stres, dan alergi. Studi terbaru menunjukkan adanya hubungan nyata antara alergi---terutama makanan dan rinitis alergi---dengan kejadian enuresis. Oleh karena itu, penting bagi klinisi untuk mengintegrasikan pendekatan alergi dalam evaluasi dan manajemen anak dengan enuresis yang tidak membaik dengan terapi konvensional. Diperlukan penelitian lanjutan dengan desain lebih kuat untuk memahami mekanisme imunologis yang terlibat dan menentukan strategi terapi yang lebih efektif dan personal.

Daftar Pustaka

  • Mungan NA, Seckiner I, Yesilli C, Akduman B, Tekin IO. Nocturnal enuresis and allergy. Scand J Urol Nephrol. 2005;39(3):237-41. doi: 10.1080/00365590510007739. PMID: 16118098.
  • Lai PH, Yang PS, Lai WY, Lin CL, Hsu CY, Wei CC. Allergic rhinitis and the associated risk of nocturnal enuresis in children: a population-based cohort study. Int Forum Allergy Rhinol. 2018 Nov;8(11):1260-1266. doi: 10.1002/alr.22219. Epub 2018 Oct 3. PMID: 30281945.
  • Gordon I. Allergy, Enuresis, and Stammering. Br Med J. 1942 Mar 14;1(4236):357-8. doi: 10.1136/bmj.1.4236.357. PMID: 20784141; PMCID: PMC2160271.
  • Dahan P, de Oliveira PMN, Brum AR, Ribeiro ACP, Figueiredo AA, de Bessa J Jr, Bastos JM Netto. Treating asthma in patients with enuresis: repercussions on urinary symptoms. Int Braz J Urol. 2023 Sep-Oct;49(5):590-598. doi: 10.1590/S1677-5538.IBJU.2023.0101. PMID: 37450772; PMCID: PMC10482458.
  • Yılmaz-DurmuÅŸ S, Alaygut D, Soylu A, Alparslan C, Köse SÅž, Anal Ö. The association between monosymptomatic enuresis and allergic diseases in children. Turk J Pediatr. 2018;60(4):415-420. doi: 10.24953/turkjped.2018.04.009. PMID: 30859766.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun