Menuai Permasalahan
Kecanggungan juga mulai terlihat dalam pelaksanaan di lapangan. Beberapa daerah mengaku belum siap dengan mekanisme distribusi makanan. Laporan awal menunjukkan adanya makanan tidak layak konsumsi, ketidakteraturan pasokan, dan bahkan kebingungan antara dinas pendidikan dan dinas kesehatan soal siapa yang bertanggung jawab.
Prabowo menekankan bahwa program ini adalah "investasi jangka panjang bagi generasi muda." Namun, publik menuntut lebih dari sekadar narasi. Mereka ingin transparansi dalam perencanaan, target, indikator keberhasilan, dan jaminan bahwa program ini tidak mengorbankan sektor strategis lainnya.
Pembangunan bangsa tidak cukup hanya dengan menjawab masalah perut. Ia memerlukan arah moral, struktur ekonomi yang sehat, budaya kerja keras, serta investasi pada ilmu pengetahuan dan integritas generasi muda.
Jika program ini ingin tetap dilanjutkan, maka pendekatan berbasis data dan kebutuhan harus diutamakan. Subsidi harus diarahkan ke keluarga yang benar-benar membutuhkan, bukan kepada seluruh populasi tanpa pertimbangan ekonomi dan sosial yang matang.
Presiden Prabowo kini berada di titik krusial dalam masa awal pemerintahannya. Momen ini adalah ujian, apakah ia bisa mendengarkan suara rakyat dengan rendah hati, melakukan penyesuaian kebijakan, dan menunjukkan bahwa kepemimpinannya bukan sekadar memenuhi janji politik, tetapi juga merumuskan masa depan bangsa secara berani dan cerdas.
Harus Melibatkan Ahli Bukan Hasrat Pribadi
Program makan bergizi gratis yang dirancang sebagai salah satu prioritas nasional seyogianya tidak semata-mata digagas dan dijalankan atas dasar visi politik seorang presiden, namun harus melibatkan pakar-pakar profesional di bidang ekonomi, kesehatan masyarakat, kedokteran anak, gizi klinis, dan kebijakan publik. Hal ini penting mengingat kompleksitas masalah gizi di Indonesia yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan distribusi makanan tanpa memahami kondisi biologis, sosial, dan ekonomi tiap daerah. Intervensi gizi yang tidak berbasis data dan ilmu dapat berujung pada salah sasaran dan bahkan membahayakan anak-anak jika mutu dan kandungan gizinya tidak sesuai standar ilmiah. Apalagi sekarang jumlah yang diaokasikan hanya sekitar 10 Ribu rupiah per porsi anak.
Ratusan triliun rupiah yang dialokasikan dari APBN untuk program ini adalah uang rakyat yang seharusnya digunakan secara efisien, akuntabel, dan berkeadilan. Karena itu, setiap tahapan---mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi dampak---perlu diawasi dan dikawal oleh para ahli independen yang kompeten di bidangnya. Mereka dapat memastikan bahwa makanan yang diberikan benar-benar menunjang tumbuh kembang anak, sesuai dengan kebutuhan masing-masing kelompok umur dan tidak menimbulkan efek samping seperti alergi makanan, obesitas, atau kekurangan zat gizi penting lainnya.
Tanpa melibatkan kalangan profesional, program ini berisiko menjadi proyek populis yang mahal namun tidak efektif, bahkan bisa menimbulkan masalah baru dalam jangka panjang. Dalam sistem demokrasi yang sehat, keputusan besar menyangkut kesehatan masyarakat harus didasarkan pada konsensus ilmiah, bukan hanya pada intuisi politik. Oleh karena itu, pemerintah wajib membuka ruang dialog dan kolaborasi lintas sektor agar program makan bergizi gratis benar-benar menjadi solusi yang berdampak nyata bagi masa depan generasi bangsa.
Makan bergizi gratis bisa menjadi kebijakan baik, jika dilaksanakan dengan akal sehat, bukan sekadar menjadi alat pencitraan. Di tangan pemimpin yang berani melakukan evaluasi dan koreksi, setiap kebijakan punya potensi menjadi warisan berharga. Namun jika tidak, sejarah hanya akan mencatatnya sebagai satu lagi proyek raksasa yang gagal menyentuh inti persoalan.