Dalam sebuah wawancara khusus bersama para pemimpin media nasional, Presiden Prabowo menjawab berbagai pertanyaan yang selama ini menggantung di benak publik: mengapa program makan bergizi gratis menjadi prioritas nasional yang begitu besar? Mengapa hingga ratusan triliun rupiah dialokasikan untuk kebijakan yang tampaknya hanya menyentuh sebagian kecil dari inti persoalan bangsa? Â Program makan bergizi gratis yang digagas dengan anggaran ratusan triliun rupiah dari uang rakyat tidak seharusnya dijalankan semata karena hasrat politik presiden, tanpa landasan ilmiah dan strategi berbasis kebutuhan nyata. Tanpa keterlibatan ahli gizi, dokter anak, dan pakar kesehatan masyarakat, program ini berisiko besar salah sasaran---baik dari segi distribusi, kualitas gizi, maupun efektivitas jangka panjang---yang justru dapat menjadi pemborosan masif dan mencederai tujuan utama meningkatkan gizi anak bangsa.
Presiden Prabowo menjawab dengan menyatakan bahwa "makanan adalah hak dasar setiap anak bangsa." Ia menegaskan bahwa bangsa yang kuat tidak bisa dibangun di atas perut kosong. Namun, pernyataan ini justru memantik diskusi lebih dalam---apakah benar makan bergizi gratis untuk semua anak adalah prioritas yang paling mendesak di tengah kompleksitas persoalan nasional?
Masalah stunting memang penting, tetapi data menunjukkan bahwa hanya sekitar 10% dari 84 juta anak-anak di Indonesia yang benar-benar berada dalam kelompok miskin dan kekurangan gizi akut. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2024, persentase penduduk miskin di Indonesia adalah 8,57%, dengan jumlah total 24,06 juta orang. Â Namun, data spesifik mengenai persentase anak-anak yang termasuk dalam kategori miskin tidak tersedia dalam laporan tersebut. Sementara itu, prevalensi stunting pada balita di Indonesia menunjukkan penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, prevalensi stunting 21,6% pada 2022. Lalu, mengapa seluruh populasi anak-anak menjadi sasaran dari kebijakan ini, tanpa seleksi berbasis kebutuhan?
Salah Prioritas Akibat janji Politik
Efisiensi anggaran yang disebut-sebut mencapai Rp 750 triliun justru menimbulkan pertanyaan besar. Apakah itu berarti anggaran sektor lain harus dikorbankan? Sektor pendidikan tinggi, kesehatan mental, inovasi teknologi, hingga pembangunan daerah tertinggal bisa terdampak karena pemusatan dana ke satu program populis.
Dalam pengalaman pemerintahan sebelumnya, kita telah melihat bagaimana Presiden Jokowi kerap merespons semua tantangan bangsa hanya dengan pendekatan pembangunan infrastruktur. Jalan tol, bendungan, dan bandara menjadi ikon, sementara sektor esensial lain seperti reformasi birokrasi dan pendidikan karakter tertinggal.
Kini, dengan arah baru yang ditekankan oleh Prabowo, sejarah seolah berulang. Sebuah kebijakan besar dikawal dengan semangat politis, tapi minim ketelitian teknokratis. Makan bergizi gratis menjadi slogan politik yang menyita energi, waktu, dan anggaran negara---tanpa diskusi publik yang matang mengenai efektivitasnya.
Pertanyaan publik terus mengemuka: adakah data impact yang jelas bahwa pemberian makanan gratis universal akan menurunkan stunting secara signifikan? Apakah sudah dipikirkan bagaimana sistem logistik, distribusi, pengawasan mutu, dan keberlanjutan program ini akan berjalan?
Kekhawatiran juga mencuat dari kalangan ekonomi dan kebijakan. Mereka menyoroti adanya potensi inefisiensi besar. Ketika anak-anak dari keluarga mapan juga mendapatkan makanan gratis, kebijakan ini tampak mengaburkan batas antara keadilan sosial dan pemborosan fiskal.
Lebih jauh lagi, pendekatan yang tidak selektif ini dapat menumbuhkan mentalitas ketergantungan baru. Dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin terjadi pelemahan inisiatif keluarga dan masyarakat dalam menjaga gizi anak secara mandiri.