Samuel ValentinoÂ
Program Studi Teknik Geofisika
Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan
Institut Teknologi Bandung
Ketika kita mendengar kata gempa bumi, kebanyakan dari kita langsung memikirkan guncangan dahsyat, bangunan roboh, jalanan retak, tsunami, longsor, likuefaksi, dan lain sebagainya. Namun, ada hal krusial penyebab kejadian tersebut yang terjadi di bawah permukaan, bahkan dapat terlihat secara visual dengan kasatmata. Fenomena ini disebut dengan koseismik Apa itu koseismik dan bagaimana pengaruhnya terhadap struktur Bumi saat gempa? Mari kita bahas dalam bahasa yang sederhana.
Definisi KoseismikÂ
Ketika gempa tektonik terjadi, sesar bergerak secara tiba-tiba dan melepaskan energi yang sangat besar. Energi ini menyebar dalam bentuk gelombang seismik yang kita rasakan sebagai getaran di permukaan. Namun, selain getaran tersebut, ada juga perubahan nyata yang terjadi pada struktur fisik Bumi pada bidang sesar tersebut. Hal inilah yang disebut koseismik (dalam bahasa Inggris disebut dengan coseismic).
Secara singkat, koseismik adalah istilah yang merujuk pada pergeseran bidang tanah saat terjadi gempa terjadi. Pada beberapa kejadian gempa, terlihat pergeseran di permukaan bumi, yang dapat mengubah kondisi muka tanah, baik secara vertikal maupun horizontal. Pergeseran tanah di permukaan inilah lokasi dari sesar penyebab gempa. Ketika tanah bergeser beberapa meter dalam hitungan detik, hal ini akan mengakibatkan jalanan rusak, bangunan roboh bahkan kejadian tsunami apabila lokasi gempa di laut.
Koseismik dan Pembaruan Informasi Lokasi Sesar
Sebagai contoh adalah gempa Palu Donggala tahun 2018, dimana berdasarkan laporan Pusat Studi Gempa Nasional di buku tahun 2019, kejadian gempa tersebut mengakibatkan pergeseran tanah di permukaan hingga mencapai 5.8 m. Suatu infrastruktur apapun, ketika mengalami pergeseran sebesar itu, maka tentu tidak akan dapat bertahan.
Pada lokasi tempat pergeseran tanah saat gempa Palu Donggala terjadi, di jalur itulah tempat sesar berada. Secara visual, kita bisa melihat lokasi sesarnya. Sebelum gempa terjadi, kita tidak akan melihat lokasi sesar, kecuali melakukan analisis terhadap data geofisika maupun data geologi. Kejadian gempa Palu Donggala tersebut menunjukkan kesalahan interpretasi lokasi sesar yang dilakukan oleh penelitian-penelitian terdahulu. Pada penelitian sebelumnya, sesar Palu-Koro penyebab gempa tahun 2018 tersebut tidak melewati jalan Diponegoro di kota Palu. Ternyata, saat gempa terjadi, pergeseran tanah di permukaan terlihat di jalan tersebut bahkan mencapai 3.5 m. Dari informasi ini, terlihat jelas bahwa peristiwa koseismik memberikan pengetahuan baru terkait dengan lokasi sesar penyebab gempa.
Koseismik dan Infrastruktur
Jika pada saat koseismik teridentifikasi jalur sesar tepat di suatu bangunan, maka bangunan yang rusak haruslah direhabilitasi atau dibangun kembali di tempat lain untuk menghindari risiko kolaps progresif dan memprioritaskan keamanan publik, seperti yang dicontohkan oleh peneliti BRIN yang menyarankan untuk menghindari pembangunan infrastruktur di jalur sesar aktif dan membangun zona sempadan sesar untuk meminimalisir dampak gempa bumi. Contohnya, setelah gempa Palu 2018, pemerintah mengeluarkan Peta Zona Rawan Bencana yang mengkategori daerah-daerah rawan bencana, sehingga perencanaan rehabilitasi dan pengembangan infrastruktur harus dipertimbangkan dengan hati-hati untuk menghindari lokasi-lokasi yang rawan gempa
Pada paper "Kajian Struktur Geologi Patahan Palu--Koro" oleh Sumarlin memberikan analisis detail tentang zona-zona sesar di Palu--Koro dan implikasinya bagi perencanaan tata ruang berbasis bencana. Paper ini secara spesifik membahas tentang zona inti, zona pengaruh, dan zona luar dari patahan, serta bagaimana kondisi ini mempengaruhi keseluruhan infrastruktur di Daerah Kabupaten Donggala. Implikasi dari studi ini dalam perancangan tata ruang wilayah yang aman dari risiko bencana, termasuk strategi pembangunan ulang bangunan di dekat zona sesar aktif setelah identifikasi koseismic, meskipun tidak spesifik disebutkan dalam judul.
Indonesia menggunakan Standar Nasional Indonesia (SNI) 1726:2019 untuk perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non-gedung. Ini merupakan standar nasional yang dirilis oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan mulai berlaku efektif pada Februari 2022. Dokumentasi SNI 1726:2019 ini bertujuan untuk meningkatkan ketahanan struktur bangunan terhadap gempa bumi dengan memberikan pedoman teknis untuk perencanaan dan desain struktur bangunan yang dapat menahan beban gempa. Dokumen ini mencakup metode perhitungan, klasifikasi situs, dan evaluasi kegempaan untuk menjamin kinerja struktur bangunan selama gempa. Retrofit untuk bangunan yang sudah berdiri
Koseismik dan Dampaknya terhadap Lingkungan
Selain dampak terhadap infrastruktur, peristiwa koseismik juga bisa memengaruhi lingkungan secara drastis. Salah satu contoh[2] nya adalah perubahan pada sungai dan aliran air saat terjadi gempa. Gilberto Binda dkk pada publikasinya berjudul "Testing the waters in Italy: Identifying co-seismic groundwater changes" membahas perubahan yang terjadi pada air tanah akibat peristiwa gempa, khususnya di wilayah Apennine, Italia. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa perubahan dalam kimia air, suhu, dan laju aliran dapat terjadi setelah gempa, dan sebagian besar perubahan ini bersifat sementara. Ketika terjadi gempa, variasi mendalam dalam tingkat air dan komposisi kimia dapat menyebabkan perubahan dalam aliran sungai yang terhubung dengan akuifer tersebut. Peningkatan aliran dari mata air karst atau variasi dalam kualitas air sungai dapat terjadi sebagai respons terhadap perubahan tekanan dan pergerakan tanah. Hal tersebut menunjukkan kompleksitas interaksi antara aktivitas gempa dan sistem hidrologi. Dengan demikian, pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana gempa memengaruhi aliran air dapat membantu dalam pengelolaan sumber daya air dan mitigasi risiko bencana di masa depan.
Gilberto Binda pada tulisannya yang berjudul "The Role of Earthquakes in River Diversion and Formation of Natural Dams", menyatakan bahwa gempa besar dapat menyebabkan tanah di sekitar sungai bergeser atau terangkat, sehingga aliran sungai bisa berubah. Dalam beberapa kasus, gempa bahkan bisa menyebabkan bendungan alami terbentuk ketika tanah bergeser dan membendung aliran air, yang kemudian bisa menimbulkan risiko banjir.
Gempa juga dapat mengakibatkan longsor di daerah pegunungan, terutama jika tanah di lereng bukit melemah akibat pergeseran koseismik. Longsor ini tidak hanya bisa merusak lingkungan sekitar, tetapi juga berpotensi menghancurkan desa-desa dan kota-kota yang berada di bawahnya. Contoh nyata dari longsor yang dipicu oleh gempa di Indonesia adalah kejadian gempa Cianjur tahun 2022. Pusat Studi Gempa Nasional pada bukunya yang berjudul "Kajian Gempa Cianjur, Jawa Barat 21 November 2022 (M5,6)", Menggarisbawahi bahwa longsoran yang dikontrol oleh kondisi alami, yakni morfologi, litologi penyusun lereng, adanya struktur geologi, kondisi hidrologi geologi, dan penggunaan lahan pada lereng tersebut. Lereng juga rentan terhadap longsor karena proses deforestasi, pelapukan massif batuan, erosif, dan pengikisan pada kaki lereng. Selain itu, aktivitas manusia seperti pemotongan tanpa penahan lereng, bebanan lereng oleh timbunan material, dan aliran air tak terkendali pun dapat menyebabkan terjadinya longsor. Sementara itu, faktor-faktor pemicu merupakan elemen yang mempengaruhi stabilitas lereng dari kondisi stabil menuju labil. Ketika proses pemicu terjadi pada suatu lereng, maka stabilitas lereng akan terganggu dan akhirnya longsoran terjadi. Faktor-faktor pemicu longsor antara lain gempa, curah hujan ekstrem, letusan gunung api, aktivitas geoterma, proses pengikisan, dan erosi.
Di sisi lain, gempa besar juga bisa menciptakan peluang bagi lingkungan untuk berubah. Misalnya, gempa bisa menciptakan danau-danau baru ketika tanah tertekan dan cekungan terbentuk di daerah datar. Ini menunjukkan betapa dinamisnya Bumi kita, di mana gempa bumi dan peristiwa koseismik dapat membentuk ulang lanskap dalam hitungan detik. Xuanmei Fan pada tulisannya berjudul "Characteristics and Classification of Landslide Dams Associated with the 2008 Wenchuan Earthquake" membahas tentang longsoran yang terjadi akibat gempa dan menyebabkan pembentukan bendungan longsor dan danau-danau baru. Penelitian tersebut mencatat bagaimana pergerakan tanah dapat menghalangi aliran sungai dan menciptakan danau sementara, serta dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Memetakan Potensi  Koseismik di Masa Depan
Salah satu alasan mengapa fenomena koseismik menjadi fokus penelitian ilmiah adalah karena peristiwa ini membantu kita memahami lebih baik terkait sumber penyebab gempa dan bagaimana Bumi mengalami deformasi. Dengan mempelajari pola deformasi yang terjadi saat gempa, para ilmuwan dapat melakukan analisis potensi gempa yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
Teknologi modern seperti Global Positioning System (GPS) telah menjadi alat yang sangat berguna dalam memantau deformasi di area-area yang rentan terhadap gempa. Dengan memantau pergerakan tanah secara real-time, para ilmuwan bisa mengetahui apakah ada tekanan yang semakin meningkat di sepanjang sesar, yang dapat digunakan sebagai indikator kejadian gempa di masa yang akan datang. Hingga saat ini, meskipun belum ada teknologi yang dapat memprediksi gempa secara pasti, pengetahuan tentang koseimik dan bagaimana deformasi Bumi terjadi saat gempa memberi kita wawasan yang lebih baik tentang proses-proses tektonik di bawah permukaan yang mempengaruhi kehidupan kita di atas tanah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI