Mohon tunggu...
Yusuf Justin Samuel
Yusuf Justin Samuel Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Jember

Senang menulis topik kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Bola

Wajah Baru Timnas: Identitas Nasional di Tengah Kehadiran Pemain Diaspora

14 Juni 2025   16:42 Diperbarui: 14 Juni 2025   16:42 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Identitas nasional adalah konsep yang menggambarkan kesadaran kolektif masyarakat terhadap keanggotaan mereka dalam suatu bangsa. Ia mencakup simbol, nilai, sejarah, dan budaya yang membentuk karakter sebuah negara. Dalam dunia modern, olahraga---terutama sepak bola---sering kali menjadi wadah utama untuk mengekspresikan identitas nasional tersebut.

Stadion telah menjadi tempat untuk mengekspresikan semangat patriotik, dan seragam tim nasional menjelma sebagai panji kebanggaan bangsa. Namun dalam beberapa waktu terakhir, muncul narasi baru tentang identitas nasional di Indonesia, khususnya menyangkut banyaknya pemain diaspora yang memperkuat tim nasional sepak bola Indonesia.

Setiap kali lagu Indonesia Raya berkumandang di stadion internasional dan para pemain Timnas Indonesia berdiri tegak mengenakan seragam Merah Putih, satu pertanyaan kerap muncul: siapa sebenarnya mereka yang membawa nama bangsa ini? Apakah mereka lahir di Jakarta atau justru tumbuh besar di Amsterdam? Pertanyaan ini semakin relevan belakangan ini, seiring dengan makin dominannya pemain diaspora dalam skuad utama Timnas Indonesia.

Fenomena pemain diaspora sebenarnya bukan hal baru. Sejak era Cristian Gonzles pada 2010, wacana naturalisasi mulai mendapat tempat dalam strategi tim nasional. Namun, perbedaan mencolok pada era saat ini adalah bagaimana pemain keturunan Indonesia yang lahir dan besar di luar negeri benar-benar disaring dengan sistem dan scouting yang jauh lebih serius dan profesional. Mereka tak hanya punya darah Indonesia, tapi juga kualitas yang dibutuhkan untuk kompetisi modern.

Nama-nama seperti Calvin Verdonk, Justin Hubner, Joe Pulpessy, hingga Ole Romeny kini bukan sekadar pelengkap, tapi pilar penting di lini pertahanan hingga serangan Garuda. Mereka adalah buah dari proses panjang naturalisasi, namun juga dari impian besar untuk membuat Indonesia kembali disegani di panggung Asia.

Di satu sisi, kehadiran para pemain diaspora ini tak pelak meningkatkan kualitas permainan. Berbekal didikan sepak bola Eropa yang disiplin, intensitas latihan tinggi, serta mental bertanding yang solid, mereka membawa perubahan nyata di lapangan. Hasilnya? Timnas kini mampu menantang raksasa-raksasa Asia dengan gaya main yang lebih rapi dan agresif. Pujian pun mengalir.

Namun di sisi lain, muncul riak kegelisahan dari sebagian suporter. Apakah pemain yang tumbuh jauh dari tanah air benar-benar mewakili Indonesia? Apakah darah Indonesia cukup untuk menyebut mereka sebagai anak bangsa, meskipun bahasa Indonesia mereka masih terbata-bata? Dalam dunia yang semakin mengglobal, identitas nasional seperti berjalan di wilayah abu-abu.

Dalam negara sebesar Indonesia dengan latar belakang budaya yang amat majemuk, identitas selalu menjadi topik sensitif. Bahkan di kalangan sesama WNI pun, perbedaan daerah asal bisa menimbulkan stigma. Maka wajar jika muncul resistensi terhadap wajah-wajah Eropa dalam seragam Timnas. Tapi inilah peluang kita sebagai bangsa: untuk memperluas makna keindonesiaan, menjadikannya inklusif, bukan eksklusif.

Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang mengandalkan diaspora. Prancis, Jerman, Belanda---semua negara besar itu sudah lebih dulu mengadopsi pemain dari keturunan imigran atau diaspora. Mereka membuktikan bahwa loyalitas dan kontribusi bisa jadi ukuran yang lebih relevan daripada tempat lahir.

Dalam konteks ini, para pemain diaspora adalah bagian dari kita. Mereka punya darah Indonesia. Banyak diantaranya yang bahkan melepaskan kewarganegaraan Eropa demi membela Garuda. Mereka belajar lagu kebangsaan, mengenakan batik, dan berjuang keras untuk menyesuaikan diri.

Tak semua pemain diaspora bisa langsung menyatu. Adaptasi terhadap cuaca tropis, gaya hidup, bahasa, hingga komunikasi di lapangan sering menjadi tantangan tersendiri. Beberapa pemain bahkan mengaku sempat kesulitan memahami instruksi pelatih atau merespons rekan satu tim. Maka hal-hal tersebut bukanlah hal kecil. Ini bentuk cinta tanah air dari kejauhan yang kemudian diwujudkan dalam aksi nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun