Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Titip Nyawa sebagai Jaminan Masa Depan Anak

12 Oktober 2016   10:53 Diperbarui: 12 Oktober 2016   11:33 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tidak ada jaminan kalau besok kita masih tetap hidup di bumi ini, bukan? Jangankan begitu. Jaminan pun tidak pernah ada untuk keberlangsungan penghidupan atau pernafkahan kita. Hari ini kita bekerja enak-enak. Punya karir. Perusahaan sepertinya aman-aman saja. Usaha tampak lancar. Tetapi besok? Belum tentu! Pemutusan hubungan kerja (P.H.K.), kecelakaan kerja, kebangkrutan, kena tipu, tersandung masalah hukum, dan berbagai permasalahan lainnya terkait bisnis dan ekonomi, semua itu bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan terhadap siapa saja. Termasuk esok hari, di perusahaan tempat kita bekerja, di usaha yang kita jalankan, dan terhadap diri kita.

Kalau sudah begitu, bagaimana nasib suami/isteri dan anak-anak kita? Pasangan hidup kita mungkin masih tetap hidup di dunia ini dan bisa tetap mandiri apabila kita tinggal mati. Apalagi, kalau pasangan hidup kita itu seorang suami. Namun, bagaimana kalau kita dan pasangan kita meninggal bersamaan? Bagaimana anak-anak kita bisa hidup? Memang, kultur Indonesia kita sangat memungkinkan untuk keluarga besar kita mengambil-alih pengasuhan terhadap anak-anak kita. Tetapi, sekiranya kita berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, berarti keluarga besar kita paling-paling hanya mampu menanggung kebutuhan pokok sehari-hari anak kita saja. Tidak untuk kebutuhan pendidikannya.

Atau, nasib kita masih lebih baik. Kita dan pasangan kita tetap hidup dan sehat. Namun, kemudian terjadi masalah dalam pekerjaan kita, sebagaimana kasus-kasus di atas yang sudah kita lihat. Lalu, kondisi ekonomi keluarga memburuk dengan cepat, namun tak juga kunjung menampakkan tanda-tanda bangkit kembali menjadi baik. Atau, paling banter, tidak sebaik sebelum terjadi masalah. Penghasilan keluarga pun berkurang. Bahkan, berkurang banyak. Sementara, kebutuhan hidup terus meningkat. Harga-harga terus mengikuti inflasi. Kondisi ekonomi makro nasional maupun internasional pun belum pulih dari krisis. Sedangkan, biaya pendidikan seperti berlari kencang sendirian. Sehingga, boro-boro terkejar, apalagi tersusul oleh kita, bayangannya saja sudah tak nampak dalam waktu singkat!

Jika semua pembicaraan tersebut terasa bagai kisah horor, mengintimidasi, dan meneror, baiklah, sekarang kita berpikir secara paling optimistis. Kita bayangkan saja, semua masalah yang kita lihat di atas itu tidak pernah terjadi pada kita. Kehidupan dan nafas masih melekat di tubuh kita dan pasangan kita. Sehat dan bugar pula. Pekerjaan, karir, dan bisnis lancar. Bahkan, meningkat pesat. Lebih-lebih, kalau kita dan pasangan kita sama-sama bekerja, punya karir, punya bisnis. Semua seakan terjamin, termasuk kelancaran pendidikan anak-anak kita, bukan?

Maaf, kita semua harus kembali berkeringat dingin, tetapi, kenyataannya, tidak demikian! Bukankah tadi kita sudah baca kata-kuncinya? “Biaya pendidikan seperti berlari kencang sendirian. Sehingga, boro-boro terkejar, apalagi tersusul oleh kita, bayangannya saja sudah tak nampak dalam waktu singkat!

Tetapi, kita sudah sangat merdeka secara finansial! Pasangan kita pun sama! Dengan karir dan bisnis yang makin berprospek, apalagi dengan tingkat akselerasi yang amat tinggi, tentu saja kemerdekaan finansial keluarga kita menjadi begitu kuat sehingga tidak ada yang bisa menjajah lagi! Baiklah. Mungkin sekali, memang tidak ada lagi yang menjajah. Cuma, masalahnya, “terjajah-tidak terjajah oleh sesuatu” itu sama sekali berbeda dengan “menguasai atau tidak menguasai sesuatu”.

Apakah harga-harga ada dalam kuasa kita? Apakah kita bisa mengatur tiap item biaya hidup sesuai maunya kita? Kita ingin harga rumah jadi bisa terjangkau oleh kita, tinggal kita atur saja, maka terjangkaulah harga rumah itu. Kita mau supaya anak-anak kita mendapat pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi berkualitas, tinggal kita setel saja biayanya sesuai kemampuan kita, maka jadilah demikian. Apakah seperti itu?

Kalau untuk memimpikan semua itu saja kita tidak berani lantaran takut kesehatan jiwa kita terancam, bagaimana mungkin kita bisa berleha-leha terhadap pendidikan anak-anak kita? Sebagai ayah dan ibu, kita punya kewajiban untuk melindungi masa depan anak. Dan masa depan anak hanya terletak pada pendidikan yang baik. Tingkat keterjaminan terpenuhinya pendidikan memadai bagi anak-anak kita, itu yang harus kita perjuangkan.

Setiap tahun, yang namanya “uang pangkal”, “uang sumbangan pembangunan”, “uang sekolah”, “uang semesteran”, dan “uang”-“uang” yang lainnya itu terus naik tarifnya. Terlebih, kalau kita punya anak lebih dari satu. Semakin banyak anak, pastinya semakin besar pula biaya pendidikan yang mesti kita sediakan. Apalagi, jika saat anak-anak kita kuliah, mereka memilih perguruan tinggi di luar kota, bahkan luar negeri. Dengan kondisi hidup dan perekonomian yang teramat sangat mumpuni saja dan seolah berjalan di jalan tol saja, kita masih tetap sama sekali tidak bisa menjamin sepenuhnya apakah kita mampu menjangkau seluruh total ongkos yang mesti kita keluarkan untuk pendidikan anak-anak kita. Lebih-lebih lagi, bilamana terjadi satu saja permasalahan dari yang sudah kita tinjau di awal tulisan ini!

Ya, memang, banyak dari kita, atau bahkan barangkali semua dari kita, sudah tahu, untuk mengantisipasi semua itu, kita memerlukan asuransi pendidikan untuk anak-anak kita. Ada bagusnya juga apabila kita berpikir untuk lebih bersiaga lagi lewat investasi dan tabungan jenis lainnya.

Itu semua sudah menjadi kebutuhan yang niscaya. Hanya, kita juga seyogyanya menyadari, semua langkah yang kita ambil untuk melindungi masa depan anak tersebut sesungguhnya tak kurang dari upaya untuk menjamin kehidupan. Sebab, masa depan ialah kehidupan. Itu artinya, yang kita jaminkan tak lain adalah kehidupan anak-anak kita sendiri. Tetapi, di samping itu, dalam mengambil asuransi pendidikan anak, serta dalam menabung dan berinvestasi bagi pendidikan anak, kita sadari ataupun tidak, sudah terkandung upaya untuk menjamin kehidupan kita sendiri pula sebagai orangtua. Karena, bukankah anak kita adalah masa depan kita sendiri, jadi merupakan kehidupan kita juga?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun