Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gelap

2 September 2018   15:54 Diperbarui: 2 September 2018   16:04 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber foto: http://natbg.com)

Malam ini tak jauh berbeda dengan malam-malam yang lain. Hanya saja kali ini terasa lebih gelap dan sunyi. Apalagi di dalam kamar itu. Gelapnya terasa berpuluh-puluh kali lebih pekat, dan kesunyian menjadi berlipat ganda kesenyapannya. Demikianlah yang dirasakan lelaki itu. Sendirian ia duduk di atas tempat tidurnya yang beralaskan seprai putih polos. Tangannya bertopang pada kedua lutut.

 Rambut yang sebagian telah memutih dan wajah yang di sana-sini mulai mengeluarkan keriput, yang memperkenalkan usianya yang senja, memancarkan ekspresi ketidakmengertian yang juga sulit dimengerti. Matanya melukiskan kekosongan pikirannya. 

Lurus menatap ke depan, ke dalam sunyinya gelap ruang kamar itu. Tak ada sesuatupun muncul dalam benaknya, cuma perasaan saja yang seolah masih tersisa untuk dirinya. Dan semua perasaan yang masih tersisa itu pun tidak terlalu banyak berbicara. Sehingga ia merasakan suatu perasaan kosong yang hampa dalam dirinya. Tidak terasa menyenangkan, tetapi juga tidak menyiksa. Menghibur tidak, mengganggu pun tidak.

Itulah dunianya, keseluruhan perasaan yang membisu dan cuma dapat disentuh indera tertentu di dalam dirinya. Sudah sekian lamanya ia berada di sana, sampai tak tahu lagi untuk berapa lama lagi semuanya akan ada dan bilamana ia bisa berada dalam dunia itu.

Pun malam ini, tak selintaspun bayangan melalui ruang pikiran lelaki separuh baya itu. Namun bagaimanapun, ada sesuatu yang baru dalam perasaannya saat ini. Ada yang berbeda. Ia merasakan bahwa perasaannya memiliki kepekaan yang lebih. Sensasinya lebih intens, menimbulkan sebentuk pengertian absurd akan sesuatu yang tidak jelas. Kini ia seolah dapat melihat kegelapan. Ya, kegelapan yang dapat dilihat! Dan juga kesunyian dapat didengarnya; senyap yang dapat ditangkap indera pendengarannya!

Tangan yang sedari tadi seolah terpaku pada lutut digerakannya sedikit ke atas dan ke depan dengan sangat lambat, seolah-olah sudah lama sekali tangan itu tidak difungsikan sebagai alat gerak. Kepalanya dimiringkan sedikit ke kiri dengan kecepatan yang sama dengan sang tangan sekalipun arah tatapan matanya tidak berubah. Jemarinya sedikit demi sedikit bergerak pelan; satu per satu dengan irama tertentu. Apa yang dirasakannya kini adalah bahwa kegelapan dan kesunyian dapat disentuhnya. Terasa di ujung-ujung jari sesuatu yang dingin tanpa tekstur yang dapat didefinisikan. Lelaki itu terus menggerak-gerakkan jari-jarinya, menikmati setiap sentuhan yang tampaknya menimbulkan semacam eksitasi tersendiri.

Beberapa lamanya lelaki itu berbuat begitu. Kian lama sensasi yang ditimbulkan pesona kekelaman dan kesenyapan itu kian mengkristal; lalu serpihan-serpihannya mulai menyatu sehingga akhirnya mewujud, membentuk suatu sosok kekuatan yang terasa begitu nyata di dalam dirinya. Sosok itu semakin memenuhi diri lelaki itu. Makin besar, makin dominan, memasuki setiap celah organ tubuhnya.... Dan akhirnya seluruh keberadaannya dirasakannya dikuasai sosok tadi!

Lelaki itu untuk pertama kalinya sejak sekian banyak masa terlewati melihat sesuatu yang baru, berbeda dengan kegelapan yang selama ini merupakan satu-satunya sahabat bagi matanya. Yang muncul sekarang ini serupa awan pekat menggumpal, keluar dari tubuhnya. Dari ubun-ubun, celah mata, lubang hidung, lubang telinga, mulut, pusar, lubang kemih. Bahkan sampai keluar juga dari anus dan dari seluruh pori-pori. Dan secara cepat kegelapan tergantikan awan yang rupa-rupanya adalah pengejawantahan sosok yang menguasai sang lelaki. Antero lapang pandang lelaki itu hanya terisi awan pekat kelabu itu.

Mendadak dari dalam awan tadi terdengar suatu suara berbicara kepadanya. "Mari!" kata suara itu. Lelaki itu tiba-tiba merasa dirinya terangkat, kemudian dibawa terbang dengan sangat cepat; entah oleh siapa atau apa dan ke mana ia dibawa pergi. Yang dirasakannya, sekonyong-konyong ia berhenti. Di depannya terdapat lorong yang kelihatannya tidak berujung, tidak berpangkal, dan tidak beratap. Hanya ada dinding di kiri-kanan lorong yang jaraknya satu sama lain sempit sekali, dan juga lantai yang mengalasi lorong itu. Setelah itu terjadi sesuatu pada diri lelaki itu.

Entah bagaimana, perubahan yang cukup besar dialami sang lelaki. Ia kini mendapati dirinya berada dalam keadaan yang berbeda. Akal budinya dikembalikan. Lampu-lampu di dalam ruang pikirannya kembali dinyalakan. Serta segenap kesadaran dan orientasinya dipulihkan. Cuma satu yang kurang: memori dan ingatannya belum dihidupkan. Ia masih belum ingat siapa dirinya, apa yang telah terjadi padanya selama ini, dan bagaimana kelanjutan semua yang dialaminya saat ini.

Lelaki itu memandang berkeliling. Didapatinya bahwa kini ia berada dalam suatu tempat yang aneh. Sejauh yang dapat dilihatnya hanyalah keremangan merah gelap yang berdenyut-denyut. Sesaat kemudian ia sadar, yang berdenyut-denyut itu adalah dinding-dinding dan lantai lorong, yang berbentuk aneh, dengan tonjolan dan lekukan di sana-sini yang tak terhitung banyaknya. Di antara remang-remang dan warna merah pekat tempat itu, tercium olehnya bau yang menusuk hidung. Busuk dan kotor sekali aromanya! Betul-betul menjijikkan! Lelaki itu menutup hidung dengan tangan sambil mengernyit karena merasa jijik.

Lalu perlahan ia melangkah untuk melihat-lihat tempat aneh itu lebih jauh. Baru saja ia menapakkan langkah pertama, tiba-tiba ia merasakan ada sesuatu yang menggelitik dan agak menusuk di dalam kepalanya. Memang tidak menyebabkan rasa sakit yang berarti, namun cukup membuatnya kaget. Ia melangkah lagi. Gelitikan dan tusukan tadi kembali terasa. Tiga-empat kali lagi ia melangkah, setiap kali diikuti rasa tergelitik dan tertusuk yang sama.

Bingung dan heran karena kejadian itu, ia berhenti berjalan untuk berpikir sejenak. Tanpa sadar, sambil berpikir-pikir demikian tubuhnya bersandar pada salah satu dinding, lalu melorot terduduk. Belum juga pantatnya menyentuh lantai lorong, tiba-tiba ia merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya, sehingga tubuhnya terhuyung lalu terbanting ke lantai dengan posisi terduduk. Namun akibatnya kepalanya seolah-olah tertikam sesuatu secara cepat dan kencang! Sakit sekali!

Ia berteriak-teriak sambil memegangi kepala. Tubuhnya terhenyak ke belakang. Kembali tikaman itu menghunjam kepalanya dengan kejam! Lelaki itu menjerit keras. Kemudian tak sadarkan diri....

Suara itu membangunkan sang lelaki dari pingsannya. Mula-mula sayup-sayup tak jelas. Makin lama makin terdengar jelas; mendesak-desak dan keras. Lelaki itu pelan-pelan membuka mata. Merah pekat yang berdenyut-denyut mengisi ruang pandang. Linglung sejenak, kemudian baru ia teringat di mana saat ini ia berada. Kepalanya diangkat dengan hati-hati sekali. Sakitnya sudah hilang, tapi serasa ada sesuatu yang kecil mengganjal dan memberati sebelah depan kepalanya. Meski demikian, dikuatkannya diri, lalu berusaha duduk tegak. Walau sangat lambat, usahanya berhasil juga. Sekarang ia sudah berada dalam posisi duduk, meski badannya masih agak terbungkuk menahan beban yang sedikit mengganjal kepala hingga tetap tertunduk.

"Kau sudah siuman, manusia? Bagus!" terdengar olehnya suara tadi. Agak terkejut, lelaki itu mengangkat kepalanya dengan hati-hati. Nampak olehnya awan pekat kelabu menyelubungi dirinya. Dari dalam awan itu keluar lagi suara bicara padanya, "Berdirilah, manusia! Jangan kau tetap terduduk kalau kau tidak mau kepalamu terus-menerus terasa berat. Ayo, berdirilah!"

Lelaki itu menurut. Perlahan ia mengangkat tubuhnya. Dan benar. Kepala bagian depannya yang tadinya berat menjadi jauh terasa lebih ringan. Sejenak ia diam menenangkan diri, lalu lirih ia berkata, "Di mana aku? Apa yang terjadi? Bagaimana...?"

Tiba-tiba ia tertegun, tidak meneruskan kata-katanya. Ada sesuatu yang aneh.... Kemudian disadarinya apa yang aneh itu, sehingga ia kaget setengah mati: suara tadi mirip sekali dengan suaranya! Atau mungkin lebih tepat: suaranya yang mirip suara itu?! Awan tadi tahu apa yang dipikirkan lelaki itu.

"Kau merasa heran suaramu dan suaraku serupa? Pantas saja kalau kau sangat heran. Kau tidak mengenaliku. Sama sekali tidak pernah kau kenal padaku. Tidak seperti aku yang mengenalmu. Sangat mengenalmu. Lebih daripada kau mengenali dirimu sendiri," kata awan itu. "Baiklah. Akan kukatakan sesuatu padamu. Engkau, manusia, kini berada dalam suatu tempat di mana segala pikiran, perasaan, dan hasrat --ya, jiwa dengan segala aspek dan dimensinya!-- berasal dan menetap.... Sebuah otak! Otakmu sendiri, manusia!... Kau berada dalam otakmu sendiri!"

Lelaki itu menjadi pucat pasi. Terhenyak. Kaget mendengar hal itu. "Tidak...!! Itu tak mungkin!"

"Tidak mungkin katamu? Bagus! Bagus sekali! Berarti akal sehatmu sudah kembali seutuhnya dengan selamat padamu. Memang kerdil sekali dia itu, akal sehat yang selalu kauanggap tinggi dan kepandaianmu yang senantiasa kaubanggakan. Sungguh, kecil sekali! Sampai-sampai hal yang baru saja kukatakan padamupun tidak dapat dijangkaunya."

Muka lelaki itu menjadi merah padam --nyaris menyamai merahnya lorong--, tersinggung sekali karena harga dirinya direndahkan oleh perkataan sang awan yang melecehkan akal sehat yang dimilikinya. "Apa maksudmu?" teriaknya dengan marah. "Siapa engkau, berani-beraninya mengatai akal sehatku kecil?! Persetan ___"

"Diam!!" bentak awan memotong serbuan amarah si lelaki. Efeknya luar biasa. Kemarahan meluap-luap lelaki itu seakan-akan melayang seperti ditiup angin kencang. Yang timbul sekarang adalah rasa takut yang sangat akan kewibawaan suara keras sang awan. "Memang telaten sekali kau memelihara harga diri dan kecongkakanmu itu," lanjut sang awan dengan suara yang melunak namun dengan kewibawaan yang tidak berkurang, "hingga ia bertumbuh subur; tinggi dan lebat sekali sampai menutupi akal budimu dan menghambat pertumbuhan iman serta kebijaksanaanmu. Sungguh sayang! Seandainya kaupelihara iman dan kebijaksanaanmu barang sedikit saja; andai saja iman dan akal budimu dapat mencuat walau hanya kecil saja; serta bilamana engkau agak lebih bijaksana daripada keadaanmu sekarang; niscaya kecongkakan itu tidak akan mampu berbuat macam-macam hingga membuatmu terpuruk dan mengalami hal seperti ini.

"Sekarang dengarkan aku! Aku akan menjelaskan dulu beberapa hal kepadamu. Setelah itu kau akan kuperlihatkan segala sesuatu yang kau perlu lihat. Jangan mengeluarkan sepatah kata pun! Diam, dengar, lihat; tapi jangan bicara! Sampai kusuruh kau bicara, bolehlah kau berkata-kata. Bila kau menuruti apa yang kuperintahkan, maka kau akan mengerti, dan kemungkinan besar engkau dapat terbebas dari keadaanmu yang sekarang. Bila tidak, kau akan menanggung akibatnya."

Seumpama harimau yang hanya mampu menggeram-geram marah namun tak kuasa melawan perintah seorang pawang yang penuh karisma, lelaki itu pun hanya bisa menurut. Marah karena harga dirinya ditaklukkan tetapi tak berdaya melawan perintah sang awan. Hanya diam tak berkutik yang dapat dilakukan, walau dengan perasaan terpaksa.

Suara sang awan mengalir lagi, "Seperti tadi telah kukatakan, engkau kini berada dalam otakmu sendiri. Tempat di mana engkau sekarang berdiri ada dalam area sebelah depan dari otak besar sebelah kiri. Di situ merupakan pusat memori dan ingatan. Sekarang kau tahu mengapa kepala bagian depan sebelah kirimu terasa tergelitik saat kau berpijak, sakit waktu tubuhmu bersandar pada dinding, seperti tertikam ketika tubuhmu terbanting, dan juga terasa berat saat kau duduk dan berjongkok. Karena yang kaupijak, kausandari, kaududuki, kaubebani, semua adalah bagian dalam otakmu."

Sembari berbicara, awan itu tampak menggelung-gelung seperti kabut tebal yang mengandung hujan. Awan itu melanjutkan, "Hampir semua atribut kejiwaanmu telah dipulihkan, kecuali ingatanmu. Itulah sebabnya mengapa kau dibawa ke mari, ke area ini. Ingatanmu berangsur-angsur juga akan dikembalikan. Namun sebelumnya kepadamu akan diperlihatkan sejarah hidupmu. Simak dan perhatikanlah semuanya, maka kau akan mengerti!"

Seolah hendak memberi waktu pada si lelaki untuk mencerna semua perkataan itu, sang awan menghentikan bicaranya. Hening beberapa lama. Lelaki itu tertunduk. Sang awan bergelung, mengendut lamat-lamat, ditemani lorong merah gelap yang berdenyut. Kemudian terjadilah hal-hal fantastis....

Dinding dan lantai lorong, seluruh tempat di mana lelaki itu berada, tiba-tiba berpendar! Dari mana-mana keluar sinar putih yang teramat menyilaukan. Dihantam derasnya sinar menyilaukan itu, sang lelaki tidak tahan; menutup mata dengan kedua tangannya sambil menjerit, lalu terbanting ke lantai lorong. Tak sadarkan diri lagi....

Kali ini yang membuatnya tersadar adalah celoteh berisik anak-anak kecil. Lelaki itu perlahan membuka matanya. Ia mendapati dirinya tengah terbaring di dalam sebuah ruangan. Lantai tempat lelaki itu terbaring dilapisi permadani indah berwarna-warni. Di sebelah kirinya terdapat sebuat sofa besar mewah berlapis beludru merah tua. Di hadapannya ada televisi kuno yang berbentuk seperti lemari. Langit-langit tinggi, lengkap dengan lampu kristal bersusun. Dinding penuh dengan foto dan lukisan berbagai ukuran. Ruangan itu sendiri cukup besar, dapat memuat kira-kira lima puluhan orang.

Selagi kebingungan dan belum sempat mengatakan apa-apa, kembali didengarnya suara sang awan berbicara. "Inilah masa kanak-kanakmu, manusia!"

Lelaki itu masih terpana dengan pemandangan di sekitarnya, hingga tak menyadari bahwa suara itu ada tanpa kehadiran awan itu sendiri. Penuh keheranan dan pertanyaan dalam pikiran, lelaki itu memandang berkeliling. Di sofa, seorang anak laki-laki berusia kira-kira sepuluh tahun duduk di tengah diapit dua anak perempuan yang lebih kecil. Tampaknya mereka sedang menonton TV sambil berceloteh ramai. Di sebelah kanan ruangan dari tempat lelaki itu, di bawah sebuah foto keluarga berukuran besar, dua lelaki setengah baya dan seorang pemuda tengah bercakap-cakap dengan suara rendah. Di belakang lelaki itu, di muka sebuah pintu kayu jati yang besar dan berangkap dua, lima wanita setengah baya dan tiga pemudi sedang asyik mengobrol dengan suara yang ribut sekali. Sungguh suatu pemandangan yang mengasyikkan bagi lelaki itu meskipun semuanya masih terasa asing.

Namun perhatiannya beralih kembali pada anak laki-laki di sofa tadi. Seolah ada yang menarik dalam diri anak itu. Lelaki itu menoleh ke arah sofa,...dan betapa terkejutnya melihat anak laki-laki itu tiba-tiba berubah menjadi seekor ayam kalkun! Kalkun penjelmaan anak itu jelas terlihat angkuh sekali lakunya; tampak dari dagu dengan temboloknya yang terangkat, dadanya yang membusung, serta matanya yang memandang berkeliling dengan sorot tatapan melecehkan.

Belum sempat lelaki itu pulih dari keterkejutannya melihat kejadian aneh tadi, sekonyong-konyong seluruh ruangan itu mengabur bagai asap ditiup angin, kemudian berubah menjadi sebuah ruangan yang sama sekali berbeda....

Lelaki itu mendapati dirinya tengah duduk di salah satu kursi di antara sekian banyak kursi yang berderet-deret. Kursi-kursi itu penuh terisi orang-orang yang sedang takzim mendengarkan seorang lelaki berjubah putih yang tengah berkhotbah di atas mimbar di ujung ruangan. Tokoh kita ini takjub melihat si pengkhotbah. Suaranya terdengar lemah lembut namun penuh kewibawaan seorang pemimpin yang amat berkuasa. Sorot mata dan wajah si pengkhotbah yang selalu tampak menyungging senyuman tulus memancarkan kehangatan dan keikhlasan, sekaligus memperlihatkan dengan jelas garis-garis kebangsawanan seperti seorang pangeran. Pengkhotbah itu tampak masih muda, namun juga amat bijaksana. Ia tidak tampan, tetapi siapapun yang melihatnya tidak dapat untuk tidak tertarik padanya dan dengan mudah melupakan dan mengabaikannya. Tetapi tokoh kita sangat kaget dan heran, mengapa kedua tangan pengkhotbah itu berlubang?!

"Di sini kaulihat masa remajamu, manusia. Perhatikanlah!" terdengar bisikan lembut sang awan mengganggu tokoh kita yang sedang terbengong-bengong menatap lubang tangan sang pengkhotbah. Merasa sepertinya suara itu datang dari sisi kirinya, tokoh kita menoleh. Yang disangka awan, ternyata yang ia lihat adalah seorang anak muda yang nampaknya baru berusia belasan tahun. Penasaran karena tidak mendapati sang awan, tokoh kita menengok ke sekelilingnya mencari sumber suara tadi.

Tetapi tunggu! Ada sesuatu yang ganjil.

Tokoh kita berpaling cepat, menoleh ke arah anak muda tadi. Ya, ada sesuatu yang aneh pada anak ini, batinnya. Ah, tentu saja! Anak ini mirip sekali dengan anak laki-laki kecil di sofa dalam penampakan sebelumnya. Hanya, yang ini nampak sudah besar. Beberapa saat ia asyik mengamati si remaja.

Tiba-tiba ia memekik, tubuhnya terjengkang! Si belia sekonyong-konyong berubah menjadi makhluk yang sangat mengerikan: bertubuh besar hitam legam, matanya merah darah, kepalanya bertanduk dua besar-besar, dua taring besar mencuat dari mulutnya, tangan dan kakinya berkuku panjang dan besar seperti cakar harimau, dan juga mempunyai ekor panjang dengan mata anak panah pada ujungnya, serta bersayap besar seperti kelelawar!

Makhluk itu berdiri cepat, mengacungkan tinju ke arah sang pengkhotbah sambil berteriak dengan lengkingan yang sangat mengerikan.... Kemudian tiba-tiba melesat terbang seperti angin ke arah pengkhotbah, masih dengan lolongan yang keras dan tinggi... Dicengkeramnya leher sang pengkhotbah, ditolaknya dengan kasar ke arah palang besar di belakang mimbar, dan...kemudian dicabik-cabiknya tubuh sang pengkhotbah dengan cakar-cakarnya secara membabi-buta sambil berteriak-teriak liar dengan suara yang seperti dari neraka!... Bengis dan jahat!

Tokoh kita menutup muka, menjerit-jerit histeris.... Ketika akhirnya ia membuka mata, keadaan di sekitarnya sudah berubah....

Sejauh matanya memandang, hanya lautan pasir gersang, langit tak berawan, dan sinar matahari terik menyilaukan yang terlihat. Untuk beberapa lama ia celingukan, bingung akan apa yang terjadi. Berangsur-angsur kebingungan berubah menjadi kegelisahan. Ia mulai berjalan menelusuri gurun. Setelah merasa sudah berjalan cukup jauh namun tidak menemui sesuatu atau seorang pun, kegelisahannya berganti ketakutan dan kecemasan.

Langkahnya dipercepat dan diperpanjang. Setelah dirasa sudah sangat jauh tanpa menjumpai apa dan siapa juga, serta ditaksirnya sudah lama sekali sejak ia tiba di gurun ini tanpa sedikitpun siang berganti senja, ia mulai diliputi ketakutan dan kengerian....

Iapun berlari ke arah tak menentu. Dipanggil-panggilnya sang awan. Namun sekalipun sampai habis nafasnya karena berlari, tetap tak suatu apa dan siapapun ia jumpai. Siang pun tetap, bahkan semakin terik, menyengat tubuh. Dan sekalipun sampai habis suaranya karena berteriak-teriak memanggil sang awan, tetap tak ada yang menyahut. Apalagi menampakkan diri....

Di saat kepanikannya berada di puncak kepenuhan dalam akal lelaki itu, nafas dan suaranyapun kehabisan persediaan. Ia jatuh lemas, terkapar di atas pasir panas, dihujani silau matahari. Kemudian kesadarannya mengabut, entah akan pingsan atau tertidur. Yang pasti, sesaat berikutnya ia kembali tak sadarkan diri....

Seorang lelaki --yang jelas merupakan orang yang sama dengan anak laki-laki di sofa dan pemuda yang berubah menjadi monster, namun kini telah menjadi dewasa muda-- tiba-tiba berubah wujud menjadi seekor kuda liar dengan mata penuh nafsu dengan tubuh keunguan! Kuda ungu itu menggagahi setiap perempuan yang dijumpainya; tua dan muda diperkosanya tanpa pandang bulu, secara brutal seolah ia takkan pernah terpuaskan....

Lalu tiba-tiba kuda tadi berubah kembali menjadi seekor ular beludak hijau dengan gerakan yang gesit sekali! Ular itu memagut mata kaki setiap orang terdekatnya; para sahabat, kerabat, dan sanak saudaranya tak ada yang lolos dari cengkeraman taringnya....

Kemudian sekonyong-konyong ular tersebut berubah lagi menjadi seekor ayam jantan yang berbulu lebat dengan kombinasi warna hitam dan merah, serta berjengger merah yang besar sekali! Ayam jago mematuk dengan ganas dan tanpa belas kasihan siapapun yang sudah atau hampir mengungguli dirinya dalam segala hal; dalam hal kepandaian, kekayaan, dan kehebatan apapun ayam itu tidak mau kalah. Ia akan memandang iri setiap pesaingnya dengan kebencian yang berkobar-kobar, dan kemudian mematuki mereka sampai habis....

Namun ayam ini pun --seperti halnya pria dewasa, kuda, dan ular tadi-- secepat kilat menjelma lagi. Kali ini yang muncul adalah seekor babi yang sangat gemuk! Namun bagaimanapun luar biasa gemuk tubuhnya, dan betapapun lambat gerakannya akibat kegemukan itu, demi melihat para kaum papa, janda tua, dan anak yatim-piatu, babi itu tiba-tiba menjadi lincah mengejar, merampasi hak, dan memakan sisa harta mereka yang tinggal sedikit sekali itu dengan rakusnya....

Sesudah ketamakannya mengganyang habis semuanya, babi itu mendadak berubah menjadi seekor naga raksasa yang sangat mengerikan! Tubuhnya yang sebesar gunung penuh sisik merah kehitaman; masing-masing besarnya seukuran kepala orang dewasa, dan mengeluarkan tanduk runcing dan tajam yang panjangnya kira-kira setengah meter. Ekornya sedemikian panjang hingga mampu menyapu sampai rata deretan pegunungan dengan sekali kibas, juga mempunyai sisik dan tanduk serupa dengan tubuhnya. Tangan dan kakinya yang serupa cakar rajawali begitu besarnya sampai dapat meremukkan sebuah kota besar hanya dengan satu raupan atau injakan. Wajahnya bukan main buruk, menakutkan! Hidungnya mengeluarkan asap panas pekat yang hitam, mengandung racun mematikan. Kepalanya mencuatkan tiga belas tanduk yang ujungnya sampai ke langit.

Akan tetapi, betapapun luar biasa dahsyat dan mengerikannya rupa ragawi sang naga, semuanya itu akan kelihatan kecil dan ramah saja bila dibandingkan dengan sorot mata dan sepak terjangnya! "Keji", "jahat", "bengis", "kejam", dan kata-kata lain yang serumpun, masih terdengar lunak untuk menggambarkannya.

Naga itu mengamuk seraya mengeluarkan geram yang membuat tuli! Ia maju menerjang, menginjak-injak, menebas, meremat, menghancurkan semua yang ditemuinya maupun yang menghalanginya. Semua yang bernafas dibinasakannya. Semua benda dijadikannya debu. Terakhir, disemburkannya api dari mulutnya ke segala penjuru. Gunung, pulau, dan laut musnah dilalap api!... Langit dan bumi terbakar!... Segalanya diliputi api. Hingga naga itu sendiri pun terbakar habis....

Dan lelaki itu terjaga....

Alam kembali diliputi merah pekat yang berdenyut. Bau yang menyesakkan kembali tercium. Tokoh kita ini tersentak dari mimpi buruknya. Sejenak ia bingung, namun sebentar kemudian ia sudah kembali pada orientasinya. Meski demikian, ia tetap terpana akan semua yang baru saja dialaminya. Penglihatan-penglihatan dan mimpi yang diperlihatkan padanya seolah berbicara tentang sesuatu. Sambil terpekur ia merenungi semuanya. Mencoba menguraikan semua yang terlihat kusut dalam benaknya.

Beberapa lama kemudian, seakan mendapat pencerahan pada akalnya, tiba-tiba saja ia mulai mengerti! Makin lama makin jelas. Dan akhirnya ia mengerti sepenuhnya!

Namun sebelum ia dapat mengatakan apa-apa, sang awan tiba-tiba saja sudah ada di depannya.

"Sekarang sudah jelas olehmu, manusia, bahwa segala yang telah diperlihatkan padamu adalah sejarah perjalanan hidupmu sendiri," tutur awan itu menyuarakan apa yang ada dalam pikiran si lelaki. "Kau dibawa ke sini, ke dalam memorimu, adalah dengan maksud mengembalikan segala ingatanmu itu. Tetapi bukan itu saja. Sang Mahatahu hendak menyatakan bahwa Beliau mengetahui segalanya. Termasuk segala kebusukanmu yang tadi telah kaulihat sendiri."

Lelaki itu merasa tersinggung. "Aku tidak melakukan semuanya itu! Itu bukan aku! Tidak pernah aku menjadi seperti yang kauperlihatkan padaku tadi," sanggahnya dalam amarah.

"Ya, itu semua kaulakukan," sang awan lebih tegas. "Itu semua dirimu. Memang bukan tubuhmu yang berbuat. Tetapi pikiran dan hatimulah yang melakukannya! Sang Mahatahu di sorga melihat rancangan hati dan rahasia pikiran semua orang. Kaulihat sendiri, tak ada yang tersembunyi yang tak diperlihatkan-Nya padamu. Beliau hendak memberitahukan betapa jahatnya pikiranmu, dan bagaimana busuknya hatimu, hingga kau membiarkan dirimu diperbudak oleh dosa yang dihasilkannya!"

Kemarahan lelaki itu seketika berganti rasa malu. Kini ia ingat bahwa memang semuanya adalah apa yang pernah dikandung dalam benaknya. Ia merasa tidak dapat berkelit lagi. Ia ditelanjangi dan terpojok.... Namun keangkuhannya memberontak! Bagai tikus yang terpojok dalam perangkap, kecongkakannya balik menyerang untuk melepaskan diri.

"Memang, itu semuanya pernah ada dalam pikiranku. Lantas kenapa?" tukasnya dengan sombong. "Siapa engkau? Apa urusanmu dengan apa yang kupikirkan, hah?! Kau sama sekali tidak berhak mengata-ngatai aku 'busuk'. Tidak seorang pun berhak menilaiku. Aku bebas berpikir, berbicara, bertindak semauku. Akulah yang berhak penuh atas diriku sendiri! Tak satu pun boleh menghakimiku! Kau dengar? Tak satu pun!"

Hening....

Kemudian sang awan lirih berkata, "Sejak kecil kau memang congkak, manusia. Itulah sebabnya Sang Mahakasih ingin mengasihanimu. Beliau ingin kau terbebas dari belenggu tinggi-hatimu. Maka diberitahukan-Nya kepadamu satu-satunya jalan menuju pembebasan dosamu. Tetapi engkau malah menolak firman Sang Mahabenar, dan kaucampakkan Tuhan dan Juruselamatmu.... Engkau membalikkan diri dari jalan kebenaran. Sejak itu hidupmu penuh kegersangan; hampa tanpa makna.... Kau menjadi tawanan nafsu cabulmu. Tipu dayamu menjerat dirimu sendiri. Iri hatimu memenjarakan dan menyiksamu. Keserakahan menguasaimu hingga kau tak berdaya.... Dalam kesesakanmu akibat semua dosamu itu, kau bukannya berpaling kepada Sang Mahakuasa dan jalan kebenaran-Nya, malahan lebih banyak lagi engkau melakukan dosa dalam hatimu, menghujat Sang Mahakuasa, dan membiarkan dirimu hangus dalam angkaramu!... Maka Sang Mahaadil memutuskan untuk membiarkanmu mengalami konsekuensi dari segala jalan yang kaupilih. Lihatlah!"

Awan kelabu itu dengan cepat menyelubunginya. Lapang pandangnya tertutup sama sekali oleh gumpalan-gumpalan kelabu yang bergelung-gelung.... Tiba-tiba ia merasa dirinya terangkat, lalu dibawa terbang cepat! Sesaat kemudian ia merasakan awan yang membawanya berhenti. Gumpalan kelabu terkuak....

Dilihatnya bahwa kini ia berada di ruangan tempat semula ia berasal ketika segala sesuatu terasa gelap baginya! Namun kali ini ia tidak di atas tempat tidur. Melainkan pada suatu sudut ruangan,...tinggi melayang menyentuh plafon! Ruangan itu juga tidak gelap, tetapi terang-benderang. Jelas sekali, saat ini adalah pagi menjelang siang, terlihat dari pemandangan luar yang nampak melalui jendela yang terpentang lebar, menampakkan bagian taman dengan pepohonan dan rerumputannya yang segar menghijau, dan bayang-bayang pohon yang agak memanjang di atas tanah.

Tokoh kita terpana. Takjub bukan hanya karena ia melayang tak menyentuh lantai, tetapi juga karena semua yang di depannya seolah tak asing baginya; serasa ia pernah menjadi bagian dari ruangan itu....

Dan sesaat kemudian semuanya menjadi terang! Tentu saja! Ini adalah kamar rawat inap sebuah rumahsakit jiwa tempat ia pernah bekerja. Dan ia ingat bahwa dialah direktur rumahsakit ini!...

Sebagai seorang dokter yang brilyan dan sebagai psikiater yang jenius, kariernya melesat hanya dalam beberapa tahun. Kesuksesan profesionalismenya itu disusul melimpahnya kekayaan materiil. Sebelum mencapai usia ke-50 ia telah mencapai puncak karier, kekayaan, dan ketenaran.... Sangat berlawanan dengan kehidupan rohaniahnya yang rusak parah, kosong!

Kehidupan jasmaniahnya mengalami kemakmuran, kelimpahan, dan kemapanan yang luar biasa. Bertahun-tahun ia nikmati semua itu. Hingga suatu hari....

Ia tidak bangun lagi dari tidur malamnya, terjebak dalam kegelapan tanpa batas....

"Sekarang semua ingatanmu telah dikembalikan, manusia. Namun ada hal terakhir yang perlu kaulihat dan dengar. Setelah itu aku akan menjelaskan beberapa hal, juga untuk terakhir kalinya. Tengoklah ke sebelah sini, manusia! Perhatikanlah!"

Di sudut yang ditunjukkan sang awan, ia melihat sebuah adegan yang begitu mengejutkannya hingga membuatnya gemetar dan tak berdaya....

Lelaki itu melihat dirinya sendiri tengah duduk di atas tempat tidur. Postur tubuhnya kaku bagai robot. Matanya menatap kosong. Lima koleganya mengerumuni ranjangnya. Didengarnya percakapan mereka.

"Diagnosa akhir Schizophrenia tipe katatonik. Semua setuju?"

"Ya!"

"Diagnosa banding?"

"Saya tidak menemukan diagnosa banding yang seimbang. Semua gejala klinis dan hasil anamnesa dari pihak keluarga mengarahkan kita secara mencolok kepada kesimpulan bahwa direktur menderita SR kataton."

"Saya setuju. Diagnosa itu kuat sekali."

"Saya juga. Sekalipun faktor presipitasinya sangat kabur, tetapi seperti tadi sudah diungkapkan, tidak ada diagnosa dengan gejala klinis semantap ini. Sungguh tragis memang! Orang sehebat beliau sangat jarang di negeri ini."

"Lebih tragis lagi karena penyebabnya tidak bisa diketahui, sebagaimana yang Anda bilang barusan."

"Ironis juga, mengingat seorang psikiater dan psikoanalis sekaliber beliau justru harus mengalami sesuatu yang seyogyanya menjadi obyek profesinya."

"Betul."

Lelaki itu hendak berteriak... Ia merasa sangat murka, amat direndahkan, sangat dipermalukan! Ingin sekali ia mengatakan kepada mereka bahwa ia baik-baik saja. Namun ia merasa kaku, terbelenggu! Mengucapkan sesuatu saja kini ia tidak dapat lagi....

Sang awan kembali menyelubunginya, lalu perlahan membawanya turun tanpa ia sendiri dapat melihat ke mana ia akan dibawa.

"Sang Mahatinggi telah merendahkanmu karena keangkuhanmu yang bukan main itu. Mengenai pertanyaanmu tentang siapa aku: aku adalah utusan Sang Mahakuasa yang khusus dan selalu berbicara kepada hatimu dengan suaramu sendiri. Namun kau tak pernah mendengarkanku. Tak heran kau tidak mengenalku. Teguran-teguran dan peringatan-peringatanku tidak pernah kauindahkan....

"Untuk selanjutnya, terserah pada Sang Mahapemurah apa yang akan Beliau lakukan pada dirimu di masa mendatang....

"Untuk saat ini, kembalilah pada tubuhmu!"

Kemudian semuanya kembali gelap dan sunyi, melumpuhkan akal dan hati.........

_______________________

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun