Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gelap

2 September 2018   15:54 Diperbarui: 2 September 2018   16:04 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber foto: http://natbg.com)

"Diam!!" bentak awan memotong serbuan amarah si lelaki. Efeknya luar biasa. Kemarahan meluap-luap lelaki itu seakan-akan melayang seperti ditiup angin kencang. Yang timbul sekarang adalah rasa takut yang sangat akan kewibawaan suara keras sang awan. "Memang telaten sekali kau memelihara harga diri dan kecongkakanmu itu," lanjut sang awan dengan suara yang melunak namun dengan kewibawaan yang tidak berkurang, "hingga ia bertumbuh subur; tinggi dan lebat sekali sampai menutupi akal budimu dan menghambat pertumbuhan iman serta kebijaksanaanmu. Sungguh sayang! Seandainya kaupelihara iman dan kebijaksanaanmu barang sedikit saja; andai saja iman dan akal budimu dapat mencuat walau hanya kecil saja; serta bilamana engkau agak lebih bijaksana daripada keadaanmu sekarang; niscaya kecongkakan itu tidak akan mampu berbuat macam-macam hingga membuatmu terpuruk dan mengalami hal seperti ini.

"Sekarang dengarkan aku! Aku akan menjelaskan dulu beberapa hal kepadamu. Setelah itu kau akan kuperlihatkan segala sesuatu yang kau perlu lihat. Jangan mengeluarkan sepatah kata pun! Diam, dengar, lihat; tapi jangan bicara! Sampai kusuruh kau bicara, bolehlah kau berkata-kata. Bila kau menuruti apa yang kuperintahkan, maka kau akan mengerti, dan kemungkinan besar engkau dapat terbebas dari keadaanmu yang sekarang. Bila tidak, kau akan menanggung akibatnya."

Seumpama harimau yang hanya mampu menggeram-geram marah namun tak kuasa melawan perintah seorang pawang yang penuh karisma, lelaki itu pun hanya bisa menurut. Marah karena harga dirinya ditaklukkan tetapi tak berdaya melawan perintah sang awan. Hanya diam tak berkutik yang dapat dilakukan, walau dengan perasaan terpaksa.

Suara sang awan mengalir lagi, "Seperti tadi telah kukatakan, engkau kini berada dalam otakmu sendiri. Tempat di mana engkau sekarang berdiri ada dalam area sebelah depan dari otak besar sebelah kiri. Di situ merupakan pusat memori dan ingatan. Sekarang kau tahu mengapa kepala bagian depan sebelah kirimu terasa tergelitik saat kau berpijak, sakit waktu tubuhmu bersandar pada dinding, seperti tertikam ketika tubuhmu terbanting, dan juga terasa berat saat kau duduk dan berjongkok. Karena yang kaupijak, kausandari, kaududuki, kaubebani, semua adalah bagian dalam otakmu."

Sembari berbicara, awan itu tampak menggelung-gelung seperti kabut tebal yang mengandung hujan. Awan itu melanjutkan, "Hampir semua atribut kejiwaanmu telah dipulihkan, kecuali ingatanmu. Itulah sebabnya mengapa kau dibawa ke mari, ke area ini. Ingatanmu berangsur-angsur juga akan dikembalikan. Namun sebelumnya kepadamu akan diperlihatkan sejarah hidupmu. Simak dan perhatikanlah semuanya, maka kau akan mengerti!"

Seolah hendak memberi waktu pada si lelaki untuk mencerna semua perkataan itu, sang awan menghentikan bicaranya. Hening beberapa lama. Lelaki itu tertunduk. Sang awan bergelung, mengendut lamat-lamat, ditemani lorong merah gelap yang berdenyut. Kemudian terjadilah hal-hal fantastis....

Dinding dan lantai lorong, seluruh tempat di mana lelaki itu berada, tiba-tiba berpendar! Dari mana-mana keluar sinar putih yang teramat menyilaukan. Dihantam derasnya sinar menyilaukan itu, sang lelaki tidak tahan; menutup mata dengan kedua tangannya sambil menjerit, lalu terbanting ke lantai lorong. Tak sadarkan diri lagi....

Kali ini yang membuatnya tersadar adalah celoteh berisik anak-anak kecil. Lelaki itu perlahan membuka matanya. Ia mendapati dirinya tengah terbaring di dalam sebuah ruangan. Lantai tempat lelaki itu terbaring dilapisi permadani indah berwarna-warni. Di sebelah kirinya terdapat sebuat sofa besar mewah berlapis beludru merah tua. Di hadapannya ada televisi kuno yang berbentuk seperti lemari. Langit-langit tinggi, lengkap dengan lampu kristal bersusun. Dinding penuh dengan foto dan lukisan berbagai ukuran. Ruangan itu sendiri cukup besar, dapat memuat kira-kira lima puluhan orang.

Selagi kebingungan dan belum sempat mengatakan apa-apa, kembali didengarnya suara sang awan berbicara. "Inilah masa kanak-kanakmu, manusia!"

Lelaki itu masih terpana dengan pemandangan di sekitarnya, hingga tak menyadari bahwa suara itu ada tanpa kehadiran awan itu sendiri. Penuh keheranan dan pertanyaan dalam pikiran, lelaki itu memandang berkeliling. Di sofa, seorang anak laki-laki berusia kira-kira sepuluh tahun duduk di tengah diapit dua anak perempuan yang lebih kecil. Tampaknya mereka sedang menonton TV sambil berceloteh ramai. Di sebelah kanan ruangan dari tempat lelaki itu, di bawah sebuah foto keluarga berukuran besar, dua lelaki setengah baya dan seorang pemuda tengah bercakap-cakap dengan suara rendah. Di belakang lelaki itu, di muka sebuah pintu kayu jati yang besar dan berangkap dua, lima wanita setengah baya dan tiga pemudi sedang asyik mengobrol dengan suara yang ribut sekali. Sungguh suatu pemandangan yang mengasyikkan bagi lelaki itu meskipun semuanya masih terasa asing.

Namun perhatiannya beralih kembali pada anak laki-laki di sofa tadi. Seolah ada yang menarik dalam diri anak itu. Lelaki itu menoleh ke arah sofa,...dan betapa terkejutnya melihat anak laki-laki itu tiba-tiba berubah menjadi seekor ayam kalkun! Kalkun penjelmaan anak itu jelas terlihat angkuh sekali lakunya; tampak dari dagu dengan temboloknya yang terangkat, dadanya yang membusung, serta matanya yang memandang berkeliling dengan sorot tatapan melecehkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun