Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gelap

2 September 2018   15:54 Diperbarui: 2 September 2018   16:04 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber foto: http://natbg.com)

Lalu perlahan ia melangkah untuk melihat-lihat tempat aneh itu lebih jauh. Baru saja ia menapakkan langkah pertama, tiba-tiba ia merasakan ada sesuatu yang menggelitik dan agak menusuk di dalam kepalanya. Memang tidak menyebabkan rasa sakit yang berarti, namun cukup membuatnya kaget. Ia melangkah lagi. Gelitikan dan tusukan tadi kembali terasa. Tiga-empat kali lagi ia melangkah, setiap kali diikuti rasa tergelitik dan tertusuk yang sama.

Bingung dan heran karena kejadian itu, ia berhenti berjalan untuk berpikir sejenak. Tanpa sadar, sambil berpikir-pikir demikian tubuhnya bersandar pada salah satu dinding, lalu melorot terduduk. Belum juga pantatnya menyentuh lantai lorong, tiba-tiba ia merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya, sehingga tubuhnya terhuyung lalu terbanting ke lantai dengan posisi terduduk. Namun akibatnya kepalanya seolah-olah tertikam sesuatu secara cepat dan kencang! Sakit sekali!

Ia berteriak-teriak sambil memegangi kepala. Tubuhnya terhenyak ke belakang. Kembali tikaman itu menghunjam kepalanya dengan kejam! Lelaki itu menjerit keras. Kemudian tak sadarkan diri....

Suara itu membangunkan sang lelaki dari pingsannya. Mula-mula sayup-sayup tak jelas. Makin lama makin terdengar jelas; mendesak-desak dan keras. Lelaki itu pelan-pelan membuka mata. Merah pekat yang berdenyut-denyut mengisi ruang pandang. Linglung sejenak, kemudian baru ia teringat di mana saat ini ia berada. Kepalanya diangkat dengan hati-hati sekali. Sakitnya sudah hilang, tapi serasa ada sesuatu yang kecil mengganjal dan memberati sebelah depan kepalanya. Meski demikian, dikuatkannya diri, lalu berusaha duduk tegak. Walau sangat lambat, usahanya berhasil juga. Sekarang ia sudah berada dalam posisi duduk, meski badannya masih agak terbungkuk menahan beban yang sedikit mengganjal kepala hingga tetap tertunduk.

"Kau sudah siuman, manusia? Bagus!" terdengar olehnya suara tadi. Agak terkejut, lelaki itu mengangkat kepalanya dengan hati-hati. Nampak olehnya awan pekat kelabu menyelubungi dirinya. Dari dalam awan itu keluar lagi suara bicara padanya, "Berdirilah, manusia! Jangan kau tetap terduduk kalau kau tidak mau kepalamu terus-menerus terasa berat. Ayo, berdirilah!"

Lelaki itu menurut. Perlahan ia mengangkat tubuhnya. Dan benar. Kepala bagian depannya yang tadinya berat menjadi jauh terasa lebih ringan. Sejenak ia diam menenangkan diri, lalu lirih ia berkata, "Di mana aku? Apa yang terjadi? Bagaimana...?"

Tiba-tiba ia tertegun, tidak meneruskan kata-katanya. Ada sesuatu yang aneh.... Kemudian disadarinya apa yang aneh itu, sehingga ia kaget setengah mati: suara tadi mirip sekali dengan suaranya! Atau mungkin lebih tepat: suaranya yang mirip suara itu?! Awan tadi tahu apa yang dipikirkan lelaki itu.

"Kau merasa heran suaramu dan suaraku serupa? Pantas saja kalau kau sangat heran. Kau tidak mengenaliku. Sama sekali tidak pernah kau kenal padaku. Tidak seperti aku yang mengenalmu. Sangat mengenalmu. Lebih daripada kau mengenali dirimu sendiri," kata awan itu. "Baiklah. Akan kukatakan sesuatu padamu. Engkau, manusia, kini berada dalam suatu tempat di mana segala pikiran, perasaan, dan hasrat --ya, jiwa dengan segala aspek dan dimensinya!-- berasal dan menetap.... Sebuah otak! Otakmu sendiri, manusia!... Kau berada dalam otakmu sendiri!"

Lelaki itu menjadi pucat pasi. Terhenyak. Kaget mendengar hal itu. "Tidak...!! Itu tak mungkin!"

"Tidak mungkin katamu? Bagus! Bagus sekali! Berarti akal sehatmu sudah kembali seutuhnya dengan selamat padamu. Memang kerdil sekali dia itu, akal sehat yang selalu kauanggap tinggi dan kepandaianmu yang senantiasa kaubanggakan. Sungguh, kecil sekali! Sampai-sampai hal yang baru saja kukatakan padamupun tidak dapat dijangkaunya."

Muka lelaki itu menjadi merah padam --nyaris menyamai merahnya lorong--, tersinggung sekali karena harga dirinya direndahkan oleh perkataan sang awan yang melecehkan akal sehat yang dimilikinya. "Apa maksudmu?" teriaknya dengan marah. "Siapa engkau, berani-beraninya mengatai akal sehatku kecil?! Persetan ___"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun