Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu...

Hidup itu pengabdian dan pelayanan sepenuh kasih kepada Tuhan, Sang Juruselamat, yang diwujudkan dalam pelayanan kepada sesama dengan kasih seperti kepada diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Buka Puasa di “Jalan Penyadaran”

15 Agustus 2011   12:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:45 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah setengah lima sore. Akhirnya selesai juga! Penat juga duduk dua jam lebih, berkutat di depan komputer mengetik laporan praktikum yang harus diserahkan esok paginya. Aku menggeliat sesaat begitu keluar dari tempat rental komputer yang ada di sebelah kanan gerbang kampus kalau dilihat dari jalan. Tapi kelegaanku hanya bertahan beberapa detik. Masih ada yang harus kukerjakan: mem-fotokopi laporan itu tiga rangkap dan menjilid semuanya.

Karena saat itu bulan puasa, semua tempat fotokopi di sekitaran kampus Unpad tutup jauh lebih awal dari biasanya jam 6 atau 7 malam. Terpaksa aku harus berjalan beberapa ratus meter ke bawah, ke arah Bandung. Di depan kampus Unwim ada satu tempat fotokopi yang buka hingga jam 9. Kalau dalam bulan-bulan biasa, dan dalam kondisiku yang biasa, berjalan sejauh itu sama sekali bukan masalah. Toh, aku memang hobi berjalan kaki. Tapi lain ceritanya dalam keadaan seperti saat ini. Energiku sudah terkuras banyak sekali. Kuliah mulai jam 7 pagi, maraton nyaris tanpa jeda hingga selesai praktikum jam 2 lewat, berlanjut dengan mengerjakan laporan. Amplitudo suhu Jatinangor yang ekstrem juga sangat punya andil. Mengalami dinginnya pagi saat tiba di kampus, kepanasan dalam ruangan tertutup tanpa A.C. di daerah bersuhu sekitar 35° C di siang hari, kemudian lagi-lagi berada dalam udara dan angin dingin yang kembali datang menjelang matahari terbenam. Dan aku tidak memberi tubuhku kompensasi berupa apa pun, bahkan setetes air minum tidak.

Setiba di tempat fotokopi, hatiku langsung menciut dan kecut. Yang mau fotokopi banyak sekali! Semua pegawainya sangat sibuk mengerjakan fotokopi-an yang begitu menumpuk. Aku sudah hendak pergi lagi, ingin fotokopi di Bandung saja. Tapi aku teringat sesuatu.

Tadi malam, mamiku menelepon ke kos. Katanya, beliau belum bisa mentransfer uang bulananku karena masih menunggu pelanggan kuenya melunasi order, sementara uang yang ada sudah Mami pakai bayar tagihan-tagihan. Padahal, kocekku benar-benar sudah sangat kering pada tanggal-tanggal tua seperti sekarang. Jadi, aku harus bijak-bijak betul supaya uangku cukup untuk ongkos kuliah beberapa hari lagi. Maka, sesudah kuhitung-hitung, kuputuskan untuk mem-fotokopi juga di situ, sebab kalau di Bandung, aku harus keluar ongkos lagi buat naik angkot dari rumah ke tempat fotokopi. Lagi pula, itu lebih membuang waktu. Bisa-bisa, larut malam baru beres urusanku.

Akhirnya selesai juga! Namun tenagaku sudah amat menipis. Badanku gemetaran menahan lapar yang teramat sangat, bibir dan kerongkongan rasanya menempel saking kehausan, dan pandangan mulai berkunang-kunang. Kulirik arloji. Setengah enam kurang sepuluh. Rasanya saja seperti yang berabad-abad, padahal ternyata proses fotokopi dan menjilidku, ditambah menunggu antreannya, cuma makan waktu setengah jam lebih sedikit. Tapi itu juga berarti masih lama lagi aku harus menunggu untuk mendapatkan energi segar, sebab maghrib baru akan tiba sekitar jam 6 kurang lima.

Aku merasa terlalu kepayahan untuk berpikir. Tapi aku harus menghitung-hitung lagi. Di kos sudah tersedia makanan. Bibi pasti sudah selesai masak untuk buka puasa anak-anak kos. Dan aku tidak perlu memikirkan bayarannya, karena kami selalu bayar uang makan di muka pada awal bulan. Tapi perjalanan dari Jatinangor ke kosku di daerah Buah Batu perlu waktu satu jam. Malah bisa lebih kalau macet. Dan waktu itu jalan raya Jatinangor memang sedang macet-macetnya, berhubung saat itu pas jam bubaran kantor, apalagi juga bersamaan dengan dekatnya waktu buka puasa, jadi jalanan ramai dengan orang yang ngabuburit serta berburu takjil dan hidangan buka puasa. Wah, wah, bisa pingsan di tengah jalan aku kalau nekad menunggu tiba di kos untuk makan! Sedangkan kalau aku makan di sini, dalam arti, makan nasi dengan sayur dan lauk, nanti uangku tentu takkan cukup untuk ongkos ke kampus besok-besoknya. Apalagi, untuk pulang sore ini, aku harus keluar uang lebih banyak karena harus dua kali naik angkot, berhubung bus kota Tanjung Sari - Kebon Kelapa atau Jatinangor - Elang yang biasanya menjadi sarana transportasi cepat dan murah andalanku sudah aplus sejak jam 5 sore.

Akhirnya, kubeli dua gehu (“toge-tahu”, gorengan berupa tahu diisi tauge) dan segelas plastik air mineral. Hanya itu batas kesanggupan dompetku. Sudah tidak tahan rasanya, ingin langsung mencaplok gehu-gehu dan menenggak air mineral itu begitu mereka ada di tanganku. Untung aku masih dapat menahan diri. Tanggung, batinku menenangkan diri, tinggal setengah jam lagi, nanti saja di angkot.

Tapi, mana ini angkot? Tidak lewat-lewat juga! Ada yang lewat, tapi sudah berjubel. Sementara itu, angin dingin bertiup semakin kencang, membuat musik keroncong perutku kian lantang juga.

Tiba-tiba, kilat besar menyambar diiringi bunyi guntur yang amat keras. Hanya dalam beberapa detik, hujan angin yang sangat lebat menyusul. Orang-orang berlarian. Termasuk aku. Untunglah, tidak berapa jauh ada sebuah bengkel yang masih buka dengan atap seng yang menjorok cukup jauh ke pelatarannya. Aku dan banyak pejalan kaki serta juga pengendara motor bergegas ke situ untuk berteduh.

Momen ini sungguh kondusif untuk mengasihani diri sendiri. Dan memang itulah yang terjadi padaku. Hati galau tak menentu. Kesedihan begitu hebat melanda. Aku merasa demikian tak berdaya. Merasa sangat sendirian. Soal jauh dari orangtua dan keluarga sehingga tak bisa bersantap dalam hangatnya kebersamaan bareng mereka, ya sudahlah, aku sudah bisa terima, sudah terbiasa juga lama-lama. Toh, aku sudah mendapatkan pengganti, yakni sahabat-sahabat kosku, teristimewa kekasihku bilamana aku sedang bersamanya.

Tapi kali ini, aku tidak ada bersama satu pun dari mereka. Tidak bisa berbagi keceriaan buka bersama mereka. Kini, ditambah kondisi-kondisi yang kualami, lengkap sudah penderitaanku!...

“Mas, ada oli? Yang bagus ya!” sebuah logat Jawa kental yang lantang mengganggu lamunanku.

“Yang bagus TOP1, Pak. Mau?” balas seorang pegawai bengkel.

“Boleh, Mas,” kata si bapak yang berdiri basah-kuyup di sebelahku. Wajah dan suaranya riang-jenaka. “Namanya saja ‘TOP ONE’! Sudah ‘Top’, ‘number One’ lagi, hehe! Ya pasti bagus itu, hehehehe,” sambungnya lagi sambil melihat padaku. Aku hanya membalas dengan senyum lemah.

“Huaah, hujannya besar buanget, ya Dik, hehehe! Enak, puasa-puasa gini hujan. Jadi adem, hati tentrem, buka puasa rasanya ‘nyem, nyem’, hahahaha!” Aku kembali hanya membalas dengan senyum miring dan gumaman singkat.

“Pulang kuliah, Dik?” tanyanya sembari menyeka-nyeka jaketnya.

“Iya, Pak.”

“Kuliah di mana?”

“Unpad.”

“Oo, hebat itu, bisa masuk negeri, hehehe.”

Aku lagi tidak kepingin mengobrol, sebenarnya. Tapi gaya si bapak ini begitu santai, tidak terkesan menyelidik dan “mau tau aja”, ditambah bumbu kekehannya yang renyah, sehingga aku tidak terlalu merasa terganggu.

“Kalau Bapak kerja di Sumedang, Dik,” lanjutnya tanpa kutanya, “jadi asisten kepala terminal. Terus, isteri ngajar jadi guru SD di Wado. Jadi, kalau berangkat ya bareng-bareng. Pagi ngantar isteri dulu ke Wado, terus Bapak putar balik lagi ke terminal. Lha, kalau pulang, ya bareng juga, hehehe! Lumayan juga pake itu motor, biarpun udah enam tahun, tetap uw-oke! Asal, mesin ditelateni, servis yang teratur, terus minumnya harus bener, jangan beli oplosan, dus oline juga harus sing bener, hehehe!”

Aku terperangah. Dari Padalarang ke Wado kemudian balik arah lagi ke Sumedang, lalu sorenya pulang lagi ke Padalarang? Itu sih bolak-balik dari ujung bumi barat ke timur dan ke barat lagi! kataku dalam hati. Yang mengenal atau tinggal di Bandung pasti paham. Padalarang ada di sebelah barat kota Bandung, kurang-lebih 20 kilometer. Sementara, Wado terletak 30 kilometer ke arah timur kota Bandung. Ditambah lebar Bandung dari ujung barat ke ujung timur yang 20 kilometer, berarti bapak ini dan isterinya menempuh perjalanan kira-kira 140 kilometer per harinya! Wow!

“Terus,” dia melanjutkan cerita, “karena anak masih kecil banget, semata wayang lagi, Bapak bawa juga, tak titip di mertua. Bapak sama ibunya isteri ‘kan orang Sumedang.”

“Ini olinya, Pak,” si pegawai bengkel menyela.

Setelah membayar, bapak itu kembali berkata padaku, “Bentar ya, Dik, aku mau taruh ini dulu...” ―ia mengunjukkan kaleng oli TOP1-nya― “...ke tas.”

Mataku mengikutinya. Seorang wanita berkerudung, pasti isterinya, menyodorkan tas. Dan aku terkejut.

Di pangkuan si ibu, duduk ―tepatnya, tergolek!― seorang anak perempuan berumur kira-kira dua tahunan. Dan anak itu tampak seperti menderita “cerebral palsy”: badannya lemas seperti tidak bertulang, kepalanya jatuh terkulai, tapi lengan, tangan, tungkai, dan kakinya dalam keadaan menekuk-nekuk secara sangat kaku.

Keduanya basah-kuyup dan menggigil biarpun sudah memakai jaket. Melihat si ibu saja aku sudah iba setengah mati. Ini melihat anak sekecil itu, dengan keterbatasan fisik pula, kehujanan dan kedinginan begitu...! Masya Allah...!!

Aku membalas senyum ramah si ibu. Si kecil juga kelihatannya ikut senyum walau, akibat kondisinya, yang tampak cuma seringai saja jadinya. Aku tahu, betapa menderitanya orang yang terkena gangguan saraf semacam “cerebral palsy”. Bukan cuma pergerakan dan daya pindahnya yang amat sangat terbatas sekali, kemampuan motorik organ dalamnya pun ikut terkekang. Ia sukar menelan air seukuran satu sendok makan sekalipun. Bahkan untuk menelan ludah pun ia bisa mengalami kesulitan. Belum lagi, kalau tarafnya agak parah, ia akan suka mengalami kejang-kejang akibat serangan epilepsi pula. Apalagi, kalau kita membayangkan apa dampaknya terhadap kejiwaan mereka. Akan tetapi, sorot mata anak yang ada di depanku saat itu tidak beda dengan anak lain yang tidak menderita kerusakan sistem saraf: polos, riang, seperti tak kenal derita, seolah dunia ini serba indah dan menyenangkan baginya.

Hatiku remuk seketika. Nyaris air mata tak dapat kubendung....

“Dik!” si bapak berseru dari motornya. “Sudah berhenti hujannya! Bapak jalan dulu ya! Sampai ketemu kapan-kapan!”

Aku agak terkejut. Benar juga! Aku tidak sadar kalau hujan sudah reda. “Oh iya, Pak, hati-hati!”

Kubalas lambaian si bapak dan anggukan ramah isterinya.

Dan air mataku benar-benar menetes juga akhirnya manakala si kecil berusaha ikut melambai juga kepadaku dengan tangan tertekuknya yang kaku....

Satu keluarga: bapak, ibu, dan anak perempuan kecil.... Menempuh ratusan kilometer sehari.... Berkendara sepeda motor menyusuri jalan yang dikuasai bus dan truk.... Mempertaruhkan nyawa di jalanan, bisa dikata.... Tak terbayang melelahkan dan berbahayanya!... Sang ayah dan ibu demi mengais nafkah, yang bisa jadi tidak besar.... Dan si anak ikhlas mengikut ke mana pun dibawa.... Setiap hari.... Ikhlas pula dengan segala penderitaan badaniahnya.... Tanpa keberatan.... Tanpa melihatnya sebagai beban yang tidak menyenangkan.... Bukan cuma si anak yang begitu.... Kedua orangtua juga enjoy saja.... Tidak ada rasa malu mempunyai anak “seperti itu”.... Tidak ada minder.... Tidak ada kesan tertekan, kelelahan mental-emosional, dan amarah-kekecewaan tersembunyi.... Bahkan tidak nampak lemas akibat berpuasa.... Tetap bekerja.... Tetap semangat.... Padahal, saat buka puasa, belum tentu perjalanan menuju rumah sudah ditempuh setengahnya.... Tentunya, mereka harus buka puasa di jalan.... Jauh dari nyamannya berbuka kalau sudah ada di rumah.... Tapi mereka santai saja.... Enteng-enteng saja.... Seakan hidup ini terlalu indah buat disia-siakan dalam kesal dan menyesali nasib....

Sementara aku..., apa yang telah kuperbuat?... Aku hanya menempuh tidak sampai 50 kilometer bolak-balik.... Itu juga tidak tiap hari.... Tidak setiap kali pula dari pagi sampai senja, kebanyakan cuma sampai siang.... Tidak harus membawa-bawa isteri dan anak.... Tidak punya beban keluarga.... Tidak selalu kesulitan uang, kenyataannya, hanya sesekali saja aku harus berhemat luar biasa.... Yang lebih lagi, seluruh anggota tubuhku lengkap, berfungsi normal pula.... Tapi dihadapkan masalah seperti ini saja aku sudah cengeng?!....

Tak berapa lama kemudian, kudapat juga angkot pulangku. Dalam tersendatnya lalu-lintas, kudengar adzan berkumandang. Maghrib tiba. Kuambil air mineral dari tasku. Setiap teguk dari sedotan membawa bayangan si anak dengan “cerebral palsy” tadi. Lalu kulahap gehuku. Tiap gigitan mengingatkanku akan ekspresi semangat juang yang tulus dari pasangan suami-isteri itu.

Tanpa dapat kutahan, aku tersenyum sendiri. “Aku tidak buka puasa sendirian,” pikirku. “Selain bersama beberapa penumpang di sini, aku pun ditemani ‘sahabat baruku sekeluarga’, meski hanya kenangannya....”

Sedikit saja makanan buka puasaku. Tapi tenaga yang terhilang terpulihkan! Ajaibnya keikhlasan bersukacita menghadapi hidup yang kejam itulah yang membakar kembali spiritku. Dan kendati menuku sangat sederhana, kenikmatan tak terkatakan benar-benar kurasakan dalam tiap kunyahan. Pencerahan batin memang sanggup membalikkan persepsi, sehingga keterbatasan dan kesederhanaan pun dapat diubahnya menjadi semangat dan kenikmatan yang semarak dan tiada tara. Dan keadaan, situasi, dan kondisi di luar tidak boleh kuizinkan mengobsesiku.

Kejadian itu sudah berlalu dua belas tahun. Namun hingga kini, aku masih mengenangnya, terutama saat aku perlu ditempelak bilamana keputusasaan mulai mengintip dan semangatku ingin lekas menyerah. Tidak pernah sebelumnya buka puasaku sedemikian sepi dan sendiri, juga tidak pernah sebelumnya aku merasa seperti musafir yang berada amat jauh dari rumah tempat tambatan hati, seperti saat itu. Tapi tidak pernah juga aku mendapat banyak penyadaran seperti pada peristiwa buka puasa di jalanan waktu itu. Aku belajar banyak dari sahabat-sahabat baruku itu: si bapak TOP1, isterinya, dan anak perempuan kecil mereka yang telah menyentuh hatiku. Aku ingin senantiasa belajar bersyukur dalam segala keadaan. Kesulitan semestinya tidak melemahkanku, tapi sebaliknya, aku harus dapat memanfaatkannya menjadi cambuk untuk maju dan sebagai pelumas mata untuk dapat menatap hari depan dengan jernih. Kelemahan seyogyanya tidak melumpuhkanku, malah sebaliknya, aku patut menerimanya dengan tawakal, bahkan mestinya mampu menggunakan itu untuk terus menempa kekuatan dan menggali kelebihanku sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun