Mohon tunggu...
SAMSUL HADI
SAMSUL HADI Mohon Tunggu... UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

MAHASISWA SOSIOLOGI FISIB UTM

Selanjutnya

Tutup

Politik

Biru kuning yang mulai kehilangan Arah gerak, refleksi kritis atas PMII hari ini

14 Juli 2025   09:01 Diperbarui: 14 Juli 2025   09:01 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dulu, warna biru dalam PMII bukan hanya sekadar bendera dan atribut saja. Ia adalah simbol harapan, semangat, dan perlawanan kaum muda mahasiswa Nahdliyyin dalam memperjuangkan keadilan, kebebasan berpikir, serta keberpihakan terhadap rakyat kecil. Warna biru, dalam ingatan banyak orang, khususnya kader kader PMII, adalah warna idealisme yang berani berbeda, berani berdiri di garis terdepan, bahkan dikala itu berarti harus melawan derasnya arus kekuasaan. Namun hari ini, saat kita menatap wajah wajah PMII dari kampus ke kampus, dari struktural ke kultural, sering kali yang kita lihat hanyalah bayang-bayang dari semangat masa lalu. Ada keramaian, tetapi hanyalah berisi makna yang hampa didalamnya. Ada ruang ruang diskusi, tetapi seringkali hanya menjadi ajang pencitraan. Ada gerakan, tetapi kehilangan arah dan pijakan ideologis yang kuat. Kita bicara soal kaderisasi, tetapi kadang lebih sibuk menghitung jumlah peserta saja, bukan kualitas pemikirannya. Kita banyak mengagungkan nilai nilai keislaman dan keindonesiaan, tetapi kita lupa bahwa keduanya menuntut keberpihakan nyata, bukan hanya jargon jargon di media sosial saja. Warna biru, yang dulunya identik dengan intelektualitas organik dan keberanian moral, kini mulai pudar, bukanlah karena kekurangan sumber daya, akan tetapi karena kegagalan membaca zaman dan kemauan untuk terus mengoreksi diri. Banyak yang terlarut dalam romantisme masa lalu tanpa menyadari bahwa tantangan hari ini jauh lebih kompleks. Era Globalisasi atau dunia digital telah menciptakan ruang ruang baru untuk berpikir dan bertindak, adanya kesenjangan kader anatara rumpun eksakta, sosial, hukum dan lain sebagainya, yang mengindikasikan bahwa PMII mengalami kegagalan dalam membaca zaman dan kemauan untuk terus mengoreksi diri. Tapi PMII kadang masih staknan berkutat pada konflik internal yang remeh dan perebutan posisi yang sempit. Padahal, zaman menuntut lebih dari sekadar eksistensi, ia menuntut relevansi. PMII seharusnya menjadi ruang dialektika, bukan hanya organisasi seremonial. Ia seharusnya mencetak pemikir yang juga penggerak, bukan hanya aktivis yang pandai berbicara tapi miskin gagasan. Jika warna biru kuning kehilangan arah, maka itu bukan karena arus zaman yang terlalu deras, melainkan karena kita sendiri yang berhenti mendayung. Tulisan ini bukanlah tulisan sinis. Melainkan sebuah bentuk cinta yang kritis. Karena mencintai PMII berarti juga berani menyuarakan kegelisahan yang ada di tubuh PMII itu sendiri. Berani mengingatkan bahwa organisasi ini dilahirkan untuk sesuatu yang besar, dan hanya bisa menjadi besar jika ia kembali pada visi dasarnya, yaitu kemerdekaan berpikir, keberpihakan pada yang lemah, serta selalu berkomitmen untuk berada di garda terdepan dalam memperjuangkan cita cita kemerdekaan indonesia dan membangun bangsa. Maka hendaklah kita mengibarkan bendera warna biru kuning itu sebagai simbol perjuangan, jangan hanya dijadikan sebagai identitas kosong yang selalu kita banggakan tanpa isi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun