Mohon tunggu...
SAMSUL HADI
SAMSUL HADI Mohon Tunggu... UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

MAHASISWA SOSIOLOGI FISIB UTM

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika laut tak lagi jadi batas : Dinamika keluarga di pulau salarangan dalam arus perubahan sosial

23 Juni 2025   19:13 Diperbarui: 23 Juni 2025   19:13 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat Pulau Salarangan pun ditantang untuk terus menyesuaikan diri dengan realitas baru ini tanpa kehilangan akar budaya lokalnya. Kemampuan menjaga harmoni antara tradisi dan modernitas menjadi kunci agar keluarga tetap berfungsi sebagai ruang sosial yang kuat di tengah derasnya perubahan zaman.

Argumen dan Dukungan Sumber

1. Relativitas Makna dan Struktur Keluarga

Di masa lampau, pola kehidupan keluarga di Pulau Salarangan cenderung melibatkan banyak anggota dari berbagai generasi dalam satu atap. Kehidupan komunal begitu kental, dan setiap keputusan penting dalam keluarga biasanya disepakati bersama dalam semangat kebersamaan. Namun, kondisi tersebut mulai berubah. Saat ini, muncul kecenderungan terbentuknya keluarga inti yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang memilih tinggal terpisah dari kerabat lainnya. Pergeseran ini umumnya dipicu oleh faktor migrasi tenaga kerja, baik dalam bentuk perantauan sebagai nelayan ke pulau lain maupun sebagai buruh informal di kawasan perkotaan.

Dalam pandangan Talcott Parsons melalui kerangka teori diferensiasi struktural, kompleksitas masyarakat modern mendorong lembaga-lembaga sosial, termasuk keluarga, mengalami perubahan fungsi. Hal ini tercermin dalam kehidupan masyarakat Dusun Salarangan, di mana keluarga tidak lagi menjadi satu-satunya sumber pembentukan karakter dan nilai moral bagi generasi muda. Kini, proses sosialisasi juga dilakukan melalui institusi pendidikan formal, perangkat teknologi seperti telepon pintar, serta pengaruh figur publik di dunia maya. Anak-anak tidak hanya belajar dari orang tua, tetapi juga dari berbagai sumber informasi digital yang membentuk sudut pandang dan perilaku mereka sehari-hari. (Parsons, 1951).

2. Perubahan Peran Gender dan Otoritas dalam Rumah Tangga

Pada masa lampau, struktur rumah tangga di Pulau Salarangan menempatkan laki-laki sebagai tokoh sentral dalam hal ekonomi. Peran sebagai pencari nafkah utama melekat kuat pada suami atau ayah, sementara perempuan lebih banyak mengemban tanggung jawab domestik seperti merawat anak dan mengurus rumah. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, peran tradisional ini mulai mengalami pergeseran. Kini, tidak sedikit perempuan, terutama para ibu yang turut berkontribusi dalam menopang ekonomi keluarga. Mereka terlibat dalam berbagai usaha mikro berbasis potensi laut, seperti jual rumput laut, teripang, dan lain sebagainya serta mengandalkan dukungan finansial dari anggota keluarga yang bekerja di luar pulau.

Perubahan ini memberikan ruang baru bagi perempuan dalam lingkup pengambilan keputusan, khususnya yang berkaitan dengan keuangan rumah tangga. Fenomena ini sejalan dengan gagasan Anthony Giddens, yang menyatakan bahwa keluarga modern bergerak ke arah hubungan yang lebih dialogis dan setara, meninggalkan pola otoritas tunggal yang kaku. Di Salarangan, proses ini pun mulai terlihat, meski tidak sepenuhnya berjalan mulus. Masih terdapat ketegangan antara generasi lama yang cenderung mempertahankan nilai-nilai patriarkal dan generasi muda yang lebih terbuka terhadap prinsip kesetaraan gender dalam relasi keluarga. (Giddens, 2001).

3. Ketimpangan Sosial Baru dalam Keluarga

Tidak semua keluarga memiliki kesempatan yang sama dalam menyikapi dan memanfaatkan perubahan sosial yang terjadi. Mereka yang anak-anaknya menempuh pendidikan di wilayah perkotaan cenderung mengalami pergeseran pandangan hidup yang berbeda dibandingkan dengan keluarga yang menetap di Pulau Salarangan. Perbedaan ini memunculkan kesenjangan dalam cara pandang dan komunikasi antar generasi di dalam keluarga. Anak-anak yang kembali ke rumah sering kali membawa ide-ide baru dan pengaruh budaya luar, sementara orang tua tetap berpegang pada nilai-nilai tradisional yang sudah lama dianut. Akibatnya, tidak sedikit orang tua merasa perannya sebagai pembimbing utama mulai tergeser, karena anak lebih terpengaruh oleh figur publik digital atau wacana dari lingkungan perkotaan (Nasikun, 2007).

Situasi semacam ini berpotensi menimbulkan konflik identitas dalam keluarga. Rumah yang dulunya menjadi tempat perlindungan emosional dan penerus nilai kini berubah menjadi arena perdebatan antara pandangan lama dan gagasan baru. Jika perbedaan ini tidak dikelola dengan keterbukaan dan kebijaksanaan, maka bisa muncul ketegangan internal yang berdampak pada melemahnya rasa kebersamaan dan keutuhan dalam hubungan keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun