Orang-orang harus terlebih dulu memikirkan dirinya tinimbang memikirkan benda-benda berharga. Teman saya banyak yang kehilangan Ijazah, mungkin hanyut terbawa air sungai, terutama mereka yang tinggal tidak jauh di bibir sungai. Itulah sebabnya, pada rapat sambil makan-makan di Plaza Hias Rias, mereka memilih Ahok sebagai wakil gubernur -- yang kemudian menjadi gubernur.
Sedangkan kawasan Monas sejatinya bukanlah tempat berdemonstrasi. Maka Gubernur Soerjadi Sudirdja menutupnya dengan alasan yang lain. Tetapi Gilbert Lumoindong kemudian memakainya sebagai tempat ibadah Paskah, selain demo berjilid-jilid yang konon katanya berhasil mengumpulkan 7 juta massa. Dengan kata lain, Jakarta memang telah merupakan etalase politik nasional, bahkan jauh sebelum gubernur yang sekarang merencanakan balapan Formula E di tempat yang sama.
Tidak usah heran jika saat ini terjadi polemik tentang kawasan bersepeda. Selain soal jalurnya tanpa perencanaan, lebih dari separuh warga Jakarta memang tidak mampu membeli sebatang sepeda. Bukan karena inflasi melanda negeri, tetapi karena setelah Gubernur Tjokropranolo konsep pembangunan kota ini memang tanpa konsep. Dari Gubernur Bang Yos kita ketahui bersama bahwa anggaran untuk Jakarta sebesar 1 Milyar rupiah. Pada zaman yang serba teknologis ini, Ahok berusaha supaya kebocoran anggaran tidak terjadi lagi, tapi eeh... dia keburu bermasalah dan kalah.
Begitulah, semua grup musik pernah melangsungkan konser di kota ini, kecuali ABBAÂ dan The BeeGees.
===========
Jadi siapakah yang seharusnya bertanggungjawab terhadap kota ini? Gubernur atau presiden? Sejak JP Coen menyerbu kota ini kurang lebih empat abad yang lalu, silih berganti orang-orang sudah mencicipi bagaimana rasanya menjadi seorang gubernur kota dan yang paling berkuasa di Nederlandsche Indie (termasuk Indonesia).Â
Bahkan ketika Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Agung menyerbu Jayakarta sekaligus memberi lebih dari 5000 orang makan, kota ini sebenarnya telah dibentuk oleh berbagai dinamika sosial yang menyejarah.Â
Termasuk ketika De Graeff menjelaskan bahwa Orang Betawi dulunya adalah budak-budak , tetapi kemudian dibantah oleh Ridwan Saidi. Firman Lubis, dalam catatannya mengatakan bahwa sejak 1950an dan 1970an kota ini berkembang pesat sekali, bahkan melampaui apa yang penduduknya bayangkan semula. Dan sebentar lagi Jakarta akan pindah. Kita lihat saja.
Selamat Ulang Tahun ke 494, Jakarta! Â Â Â Â Â Â