Mohon tunggu...
sampe purba
sampe purba Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Insan NKRI

Insan NKRI

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tentang Hotel Tua Legendaris Itu...

27 Juni 2022   17:16 Diperbarui: 27 Juni 2022   17:23 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentang Hotel Tua Legendaris itu ... 

(Bagian 1)

Oleh : Sampe Purba

Sudah lama saya memendam keinginan untuk dapat menginap di hotel ini. Tidak kurang dari dua kali rekan di  Sekretariat Kantor mengkonfirmasi apa benar dan serius saya mau menginap di sana. Dan saya iyakan. Mungkin, karena rekan itu memiliki taste milenial, dan menganggap bahwa hotel-hotel konvensional bernama dan kekinian lebih diminati orang. Tetapi saya kan PURBA, yang bermakna ancient, klasik, ortodoks dan Timur (dalam bahasa India).

Hotel Oranye -- dibangun di tahun 1910 -- oleh Sarkies bersaudara, keluarga pebisnis Armenia -  Iran. Keluarga ini juga memiliki jaringan hotel lain seperti hotel Strand di Birma (Myanmar) dan hotel Raffles di Singapore. 

Pada zamannya, menginap di hotel ini memberi aroma prestisius tersendiri. Miriplah misalnya seperti anda menginap di jaringan hotel Burj Khalifah di Dubai, The Trump di New York, Ritz-Carlton atau The Langham di Jakarta. Dijamin akan langsung muncul di status IG atau medsos lainnya.

Pemerintah pendudukan Dai Nippon pada tahun 1942 mengambil alih hotel ini dan merubah namanya menjadi Hotel Yamato. Dijadikan sebagai markas besar Militer di Jawa Timur. Para tawanan Pemerintah Kolonial Belanda sebagian juga ditahan dan diinapkan di markas besar ini.

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, untuk menggelorakan semangat patriotisme -- Bung Karno mengeluarkan dua maklumat penting, yaitu pengibaran bendera Merah Putih dan pengucapan pekik salam nasional MERDEKA di seluruh penjuru tanah air. 

Para Pemuda pejuang pergerakan dengan semangat mengibarkan bendera merah putih di bangunan-bangunan perkantoran, Sekolah, Rumah Sakit dan lain-lain. Bahkan termasuk di sebagian markas Kempetai, pasukan Polisi Militer Jepang yang bengis itu.

Sambil menunggu kedatangan Sekutu untuk  mengembalikan tentara pendudukan Jepang yang telah menyerah kalah, para interniran Indo-Belanda dan Jepang membentuk komite kontak sosial yang didukung Jepang dan Palang Merah Internasional. Beberapa bangunan dan gudang mesiu mereka ambil alih.  Hotel Yamato termasuk di dalamnya.

Pada tanggal 18 September 1945, opsir-opsir Sekutu dan Belanda dari AFNEI (Allied Forces Netherland East Indies) bersama-sama dengan rombongan Palang Merah Internasional dari Jakarta datang di Surabaya. 

Oleh Pemerintah administrasi Jepang, rombongan AFNEI ditempatkan di Hotel Yamato. Kedatangan AFNEI sekaligus adalah untuk mempersiapkan kedatangan rombongan besar Sekutu yang akan memulangkan tentara Jepang, beserta NICA yang akan memulihkan kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia.

Untuk menunjukkan eksistensi dan keberadaannya, malam itu pihak Belanda mengibarkan bendera triwarna di tingkat teratas hotel Yamato. Keesokan harinya, para pemuda revolusioner marah. 

Di bawah pimpinan Roeslan dan S. Kasman, rombongan ini merangsek ke arah markas/ hotel Yamato di Jalan Tunjungan.  Soedirman -- Wakil Residen Surabaya (Fuku Syuco Gunseikan, yang diakui Dai Nippon -- diiringi dua ajudannya Sigit dan Hariyono, meminta agar bendera Merah-Putih-Biru diturunkan. Namun, pihak Belanda yang dipimpin oleh W.V.C Ploegman, yang mendapat perintah Pimpinannya  untuk memastikan keamanan markas, menolaknya.  

Perundingan di markas memanas. Ploegman mencabut pistol, yang secara refleks ditangkis oleh pemuda Sigit. Ploegman tertusuk bayonet. Mati. Pistol meletus. 

Sigitpun terkapar, mati ditembak pengawal Ploegman. Ploegman dan Sigit adalah dua pahlawan, yang mengabdikan diri hingga tetes darah penghabisan. Memperjuangkan harkat, martabat dan kehormatan bangsa masing-masing. Kita angkat topi kepada mereka.

Soedirman dan Hariyono berlari ke luar. Para pemuda mulai merangsek. Hariyono bersama seorang temannya bernama Kusno Wibowo, berlari kembali ke dalam. 

Menaiki loteng hingga ke dek di lantai atas -- bangunan gaya art deco abad pertengahan ini. Bendera tiga warna dikerek turun. Karena mereka tidak membawa bendera, jahitan birunya dirobek, dan potongan sisa Merah Putih, walau tidak simetris dinaikkan kembali.

Surabaya memanas. Setelah itu pertempuran pertempuran sporadis  pecah di mana-mana. Pemuda Surabaya, atau tepatnya Pemuda Indonesia di Surabaya (waktu itu sebagai kota pelabuhan dan kota dagang terbesar di wilayah Timur, Surabaya dihuni berbagai kelompok pemuda Nusantara) berhadapan dengan Serdadu Jepang, yang sesungguhnya hanya berperang setengah hati. 

Tetapi mengingat tugas mereka untuk menjaga para tawanan Belanda hingga Sekutu datang, pertempuran tidak terhindarkan. Semangat Bushido dan untuk menegakkan kehormatan terakhir di hadapan Sekutu penakluk mereka.

Untuk mencapai gencatan senjata, Pimpinan pasukan Sekutu,  Jenderal Hawtorn meminta tolong menerbangkan Soekarno ke Surabaya. Pertempuran sempat mereda. 

Insiden kedua terjadi,  Jenderal Mallaby  terbunuh di bulan Oktober. Mallaby, satu-satunya Jenderal Sekutu yang meninggal di pertempuran pasca perang dunia kedua. 

Selanjutnya, pada 10 November 1945 pertempuran besar-besaran terjadi. Pertempuran mengganas kembali, terutama karena ultimatum tentara Sekutu yang mendarat di Surabaya, yang meminta penyerahan senjata oleh pemuda rakyat. Insiden kedua terjadi.  Anda sudah tahu sedikit banyak ceritanya.

Hotel Oranye, yang bersalin nama menjadi hotel Yamato, saat ini bernama hotel Majapahit.  Ini adalah satu dari sedikit hotel berusia tua yang masih beroperasi di Indonesia. 

Apik dan modern, namun model dan strukturnya tidak dirubah. Hotel ini tercatat sebagai cagar budaya nasional jenis bangunan. Pada tahun 2006, berhasil mendapat penghargaan Best ASEAN Culture Preservation Effort dari The ASEAN Tourism Association.

Ada beberapa kamar yang legendaris di hotel ini. Kamar nomor 33 berada di pojok kanan dalam, yang merupakan markas tentara penghubung Belanda, di mana Ploegman dan Sigit tewas. 

Sedangkan kamar nomor 44 berada di pojok kiri dalam, yang merupakan suite room yang ditempati pemilik hotel, keluarga Sarkies. Kebetulan saya mendapat kamar -- heritage room -- di antara kedua kamar pojok tersebut.

Kamarnya lumayan besar, bergaya renaisance dengan lampu-lampu gantung. Perabot cermin toilette bermotif kuno klasik, perabotan di ruang depan juga demikian. Dear Netizen, besok  akan saya ceritakan pengalaman tidur malam ini di kamar hotel ini. Wish me luck

Surabaya, 27 Oktober 2022 [Persis pada tanggal ini, 77 tahun yang lalu, Presiden Bung Karno datang ke kota ini.  

MERDEKAAAA !!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun