Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Beban Jokowi Lebih Berat Dibanding Biden Saat Menang Pilpres, Ini Alasannya!

9 November 2020   22:24 Diperbarui: 9 November 2020   22:52 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BEGITU memastikan keluar sebagai pemenang Pilpres AS 2020, jagoan Partai Demokrat, Joe Biden layaknya pemimpin-pemimpin lain di dunia langsung memberikan sambutan dan mengumumkan kemenangannya pada segenap pendukung. Seperti biasa pula peristiwa tersebut langsung disambut suka cita. 

Dalam pidato kemenangannya, Joe Biden mengucapkan rasa sukur dan terima kasihnya terhadap semua pihak yang telah mendukung. Pada kesempatan itu pula, mantan wakil presiden era Barrack Obama ini menyeru terhadap para pendukung Donald Trump agar saling memberi kesempatan. Dia pun berjanji akan menjadi seorang pemimpin yang tidak mencari perpecahan. 

Tentu, pidato kemenangan Biden ini tidak ada yang spesial. Apa yang diutarakannya masih dalam tataran normatif. Dan, ini biasa dilakukan oleh para pemimpin yang baru dinyatakan sukses meraih kemenangan dalam pertarungan Pilpres. 

Hal serupa juga pernah dinyatakan Presiden Jokowi saat telah dinyatakan keluar sebagai pemenang Pilpres 2019 lalu. Pertarungan alot dan sengit saat itu benar-benar hampir mampu memecah belah anak bangsa. 

Pada pidato kemenangannya, Jokowi yang berpasangan dengan KH. Ma'ruf Amin saat Pilpres 2019 juga sama mengucapkan rasa sukur dan rasa terimakasihnya dan juga mengajak seluruh elemen bangsa yang sempat terkotak-kotak kembali bersatu demi mewujudkan bangsa dan negara lebih maju. 

Nah, sama bukan apa yang diutarakan Joe Biden dan Jokowi? Ya, kalaupun ada pasti beda-beda tipis alias beti. Toh, maksud tujuannya menginginkan situasi pasca Pilpres kondusif dan rakyat kembali bersatu. 

Namun begitu, saat Joe Biden dan Jokowi memberikan sambutan atau mengutarakan pidato kemenangannya ada beban dalam pikirannya yang jelas beda. Bahkan, saya berani berpikir bahwa beban yang ada dalam pundak Jokowi jauh lebih besar. 

Maksud beban di sini, tentu bukan perkara bagaimana menjalin hubungan internasional dengan negara-negara asing, bagaimana cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi atau bagaimana cara memperkuat pertahananan dan keamanan nasional. Karena beban-beban seperti ini akan bisa dirembukan bersama dengan para pembantunya kelak setelah dilantik. 

Lalu, anda pasti bertanya, apa alasan sebenarnya beban Jokowi jauh lebih besar dibandingkan Joe Biden? Jawabannya sederhana. Yaitu beban politik. Khususnya dalam menentukan susunan kabinet. 

Beban Joe Biden jauh lebih ringan. Sebab, seperti diketahui di Negara Paman Sam itu hanya ada dua partai yang berkompetisi. Partai Republik dan Demokrat. 

Dalam setiap Pilpres, kedua partai ini benar-benar jalan sendiri, sehingga tak mengenal istilah koalisi. Tidak heran, saat saat partai manapun dinyatakan sebagai pemenang Pilpres, maka presiden terpilih tidak begitu repot dirongrong oleh kepentingan partai politik lain. 

Di Amerika Serikat, para pembantu presiden atau jajaran menteri di sebutnya Kabinet Presiden atau disederhanakan menjadi Kabinet. Nah, dalam hal ini Joe Biden tinggal fokus bersama Kamala Harris sebagai wakilnya tentang nama-nama siapa saja yang bakal direkrutnya. Tentu, para pembantu yang bakal direkrutnya tidak akan jauh dari partainya sendiri. Demokrat. 

Kita mundur belakang saat Donald Trump terpilih jadi Presiden AS 2016 lalu. Seperti dikutip dari DDTCNews, Trump langsung memilih anggota kabinetnya sendiri. Dilaporkan Kabinet Trump ini adalah kabinet 'termewah' dalam sejarah modern negara itu. Beberapa nama yang dipilihnya memiliki aset bernilai jutaan dolar. 

Di sini Trump bisa dengan leluasa memilih anggota kabinetnya tanpa banyak intervensi dari pihak lain. Kala itu Kabinet Trump, masih dikutip dari DDTCNews diisi oleh figur pengusaha dan pensiunan jenderal. 

Nah, di Indonesia sendiri pada prinsipnya sama bahwa pemilihan anggota kabinet adalah hak prerogratif presiden. Namun pada prosesnya hal tersebut sangat rumit. Ini yang menjadi beban beratnya. 

Dalam hal ini, Jokowi tentu tak bisa leluasa memilih orang-orang terbaik sesuai dengan keinginannya, karena begitu banyak partai yang mendukungnya. Dan, masing-masing partai merasa berhak untuk mengajukan calon sebagai bentuk imbalan yang harus diterimanya. 

Saya masih ingat betul, kala itu banyak pemberitaan yang muncul bahwa masing-masing partai menginginkan jumlah kursi tertentu, sementara kuotanya terbatas. 

Nah, perkara ini tentu bukan hal mudah bagi Jokowi. Dipastikan, pria kelahiran Surakarta, Jawa Tengah tersebut bakal pusing tujuh keliling untuk bisa menampung semua aspirasi partai pendukungnya agar tidak terjadi ekses dan gesekan. 

Tentu anda masih ingat, bukan? Bagaimana kala itu Partai Nasden sedikit ngambek karena diduga ada permintaannya yang tak dipenuhi Jokowi. Akibatnya, partai yang dinahkodai Surya Paloh ini sempat bermanuver dengan bertemu Presiden PKS yang kala itu masih dijabat Sohibul Iman. 

Pada pertemuan tersebut disepakati bahwa keduanya bakal memperkuat check and balance atau fungsi pengawasan terhadap pemerintah di DPR. 

Tentu hal-hal seperti ini akan sangat dihindari betul oleh Jokowi. Namun, dia juga tentu berpikir tidak hanya Nasdem yang harus diakomodir. Masih ada partai-partai lain yang membutuhkan perlakuan serupa sesuai dengan kualitas dukungannya. 

Hal seperti tersebut di atas tentu tidak bakal terjadi bila di Indonesia hanya ada dua partai politik seperti di AS.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun