Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Petrus dan Kudatuli, Jejak Kelam Rezim Soeharto

29 Juli 2020   20:23 Diperbarui: 29 Juli 2020   22:06 1385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendek kata, dengan peristiwa petrus, menurut catatan Komnas HAM, ribuan preman telah berhasil dibunuh tanpa melalui proses peradilan yang layak.

Tak ada gading yang tak retak. Pun dengan petrus yang semula dilakukan secara rahasia ini lambat laun tersebar di lingkungan masyarakat dan sempat mendapat perhatian dunia luar. Mereka menganggap, aksi ini adalah bentuk sadisme pihak pemerintah.

Dikutip dari Historia, Mantan Kepala BAKIN, Yoga Sugama menilai, pembunuhan yang terjadi terhadap para preman terdapat kepentingan yang lebih besar daripafa mempersoalkan penjahat yang mati misterius.

Sementara, LB Moerdani, panglima yang disebut-sebut sebagai salah satu desainer operasi Petrus, mengatakan, peristiwa itu dipicu oleh perang antargenk. Benny berdalih pembunuhan-pembunuhan itu tak melibatkan tangan ABRI.

Masih dikutip Historia, Presiden Soeharto dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, punya dalih lain. Dia menuturkan kalau Petrus ditujukan sebagai usaha mencegah kejahatan seefektif mungkin dengan harapan menimbulkan efek jera.

Kudatuli

Pada masa pemerintahan orba, hanya ada tiga partai politik (Parpol) yang diakui pemerintah. Ketiga Parpol tersebut adalah, Golkar, PPP, dan PDI.

Dari ketiga parpol itu, Golkar adalah refresentasi langsung dari pemerintah. Karena dominasinya, partai berlambang pohon beringin ini pula yang menjadikan Soeharto mampu bertahan selama lebih dari tiga dekade lamanya.

Sementara, untuk dua partai lainnya, yakni PPP dan PDI, tak ubahnya "boneka politik". Mereka ada sekedar pajangan untuk memperlihatkan pada dunia luar, bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdemokrasi. Padahal, realitanya, keberadaan dua partai itu tetap saja boleh dibilang sebagai "antek" rezim Soeharto.

Namun, saat Megawati didaulat menjadi Ketua Umum PDI pada tahun 1993, Presiden Soeharto mulai merasa terusik dan menjadi ancaman.
Betapa tidak, setelah menjabat ketua umum partai, nama Megawati semakin populer, dicintai dan dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap rezim orba.

Mendapati situasi yang kurang menguntungkan dan berpotensi menjadi ancaman besar, pemerintah pun mulai membuat skenario untuk menggembosi kekuatan Megawati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun