Mohon tunggu...
Semprianus Mantolas
Semprianus Mantolas Mohon Tunggu... Jurnalis - Pecandu Kopi

Baru belajar melihat dunia, dan berusaha menyampaikannya melalui simbol (huruf)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Beda Zaman, Beda Pola Gerakan Mahasiswa Indonesia

9 Oktober 2019   23:56 Diperbarui: 10 Oktober 2019   00:10 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demo Mahasiswa/ foto: tribunnews.com

Pers dibebaskan, kekebasan mengemukakan pendapat dimuka umum didapatkan kembali serta tak perlu takut mengkritik pemerintah karena si penculik telah tumbang bersama tuannya.

Sorotan dari aksi 1998 jelas. Pemerintah yang sangat otoriter dan anti demokrasi melawan suara masyrakat yang diwakili mahasiswa melafazkan demokrasi.

Bak api dan air, anti demokrasi melawan pro demokrasi. Sehingga tak heran bila mahaiswa 1998 yang akan turun ke jalan sudah siap akan resikonya, entah hilang karena diculik ataupun mati dibunuh.

Sikut-sikutan terlihat jelas antara mahasiswa dan pemerintah dengan bantuan dari ABRI. Tak heran, bila gerakan tersebut banyak menelan korban. 

\Direktur Amnesty Internasional, Usman Hamid menyebutkan, kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap mahasiswa di tahun 1998 merupakan pelanggran HAM. Tragedy Trisakti mungkin adalah salah satu buktinya.

Seruan revolusi yang akhirnya menjadi reformasi pun menunjukan tujuan mahasiswa saat itu. Seluruh civitas akademika perguruan tinggi, secara serempak menyatakan sikap melawan orde baru.

Berlatar akan pola perjuangan, jelas dapat disimpulkan bahwa aksi mahasiswa 1998 memiliki pola konfrontatif. Dimana musuh dari mahasiswa adalah pemerintah. Mahasiswa yang menuntut demokrasi dengan pemerintah yang selalu membawa lagu lamanya yakni otoriter untuk kestabilan (anti demokrasi).

Bila 1998 menunjukan wajah konfrontatif, gerakan mahasiswa 2019 yang kerap dikenal dengan generasi milenial ini, membawa pola perjuangan yang sedikit berbeda.

Disalah satu talk show, Ketua DEMA UIN Jakarta, Syarif Hidayatullah menyampaikan bahwa hadirnya mahasiswa saat ini adalah mengisi pos-pos politik yang hilang. Menurutnya, saat ini tidak ada lagi oposisi yang dianggap mampu mengkritisi pemerintah tatkala melakukan kekeliruan.

"Kontestasi politik (Pilpres) yang terjadi di periode lalu  luar biasa pembelahan politiknya. Pembicaran politik seolah surga dan neraka. Tetapi ketika berbicara terkait RUU KPK sama sekali tdak ada pembelahan politik karena rekonsiliasi. Kalau memang rekonsiliasi, biarkanlah mahasisa yang jadi oposisiya," kata Syarif

Selain itu, bila melihat 7 tuntutan mahasiswa dalam demo yang terjadi pada September lalu, hampir semuanya bernada koreksi. Baik pengoreksian terhadap RUU KPK yang menunggu tanda tangan presiden, RUU KUHP yang akhirnya ditunda, hingga permasalahan lainnya seperti kasus di Papua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun