Mohon tunggu...
Muhamad Samiaji
Muhamad Samiaji Mohon Tunggu... Berkeliling mencari pengetahuan baru

Menulis sekedarnya, semoga menambah khasah keilmuan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sistem barter yang telah hilang oleh era moderenisasi

17 Agustus 2025   12:40 Diperbarui: 17 Agustus 2025   12:40 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Barter adalah konsep kuno jauh sebelum kebudayaan modern tercipta sekarang ini yang penuh dengan tekhnologi. Entah darimana kita mau mencari referensinya kitab suci atau naskah ilmiah sekalipun. Bisa jadi keduanya benar. Tergantung anda akan percaya yang mana. 

Intinya barter menukar, menukar sesuatu yang menurutnya dianggap berharga. Bisa jadi batu, kerang, rempah, kulit binatang ataupun yang lainnya. Dahulu, konsep ini begitu absurd. Nilainya tidak padan hanya memenuhi kebutuhan primer saja atau bahkan sekunder. Karena zaman dahulu tidak ada yang disebut pemenuhan kebutuhan tersier! Beranjak ke arah maju ke depan, zaman kian lama berubah, kebutuhan tersier mulai ada, itulah hadirnya barang-barang berupa produk olahan seperti tempat minum dari bambu, kulit unta, tembikar dan berbagai lainnya. Sistemnya mulai komplek, namun belum bisa dikatakan seimbang. Beberapa barang justru dijual over price. Tidak apel to Apple. Kemudian muncullah perak yang juga tidak seimbang begitupun emas, sampai mereka semua sepakat perihal satuan ukuran yang bisa jadi berupa koin. 

Sementara uang kertas justru datang ketika tehnologi kertas ditemukan di negara asia dan dibawa ke eropa oleh para pedagang yang memunculkan kebingungan namun diadaptasi dan dipraktikan dalam surat menyurat kenegaraan. Pada prakteknya, surat ini berisi perintah penjajahan atau bahkan sebagai alat diplomasi antar kerajaan. 

Pada zaman modern, bentuk surat lebih kompleks. Yakni berupa sertifikat yang bisa dijaminkan atas nama pribadi yang memiliki pengetahuan, pengalaman atau bahkan kebendaan atas sesuatu yang menyangkut personality. Kemudian sertifikat tersebut dapat digadaikan, ditukar, dengan nominal tertentu, harga diri atau bahkan gaya hidup. Sesuatu yang memiliki nilai kepercayaan ke branding personal.

Berbicara perihal branding personal, didalamnya terdapat informasi-informasi pribadi, penting sebagai tolak ukur kepercayaan tingkat profesionalis di ranah kerja. Baik senggang maupun penuh waktu. Yang tak lepas dari data-data yang mendukung sebagai perkenalan awal tingkat pemula. Lalu, bisakah sertifikat ini membuktikan bahwa saya ahli? Bisa tidak bisa juga ya. Tergantung anda memahaminya. Toh saya bukan expertis di semua bidangnya. Bahkan tak bisa mengukur tendensi Dengan iklan di media massa. Iya kah? Mari ulas lebih jauh perihal iklan yang dimaksud dalam media massa.

Iklan disebuah media masa itu kompleks tidak bisa diliat satu-persatu justru itu akan menelanjangi bobroknya media masa tersebut. Tidak etis seperti itu sepertinya, ya bukan. Perlu penelitian mendalam untuk menyelami bahkan membuat pondasi kokoh untuk dijadikan bahan riset tersendiri. Tentunya pribadi-pribadi yang duduk disana adalah para petinggi di bidang keilmuannya. 

Berbicara iklan media masa tentunya memilki nilai ukur ekonomis yang suitanable bagi keberlangsungan kehidupan perusahaan. Jangka waktu pemasangan iklan perlu diperhatikan. Akan sangat disayangkan apabila iklan tersebut tidak efektif. Malah membuang-buang uang. Bahkan lebih parahnya lagi merusak hubungan kedekatan diantara berbagai pihak. Tentunya hal tersebut tidak dapat digapai dengan barter bukan? Sebenarnya bisa tapi berapa persen kemungkinannya? Berapa mungkin itu bisa tercipta? Apakah lewat sebuah angka, nominal atau justru surat legal. Pelik dan panjang jika dibahas. Perlu waktu lama untuk melewati proses itu. Tapi percayalah kalian wahai para pembaca Budiman. Hal tersebut bisa terjadi karena keyakinan.

Keyakinan atas kerjasama yang telah tercipta sedemikian rupa. Apabila tercipta, maka jawaban atas pertanyaan di paragraf sebelumnya adalah" ya" kemudian timbullah reaksi keberlangsungan pemasangan iklan jangka panjang. Namun apabila jawabannya adalah "tidak" maka perlu dikaji ulang jangka waktu pemasangan iklan tersebut yang lebih jauh dapat dilihat dari efektifnya durasi berdasarkan clik, viewer, ataupun ukuran lainnya yang pajang nanti jika di bahas mendetail.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun