Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Tabahlah, Sir!

24 Oktober 2011   07:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:34 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Salah satu keuntungan bertahan lama di sebuah klub sepakbola, baik sebagai pemain maupun pelatih, adalah dapat menjadi saksi dari rekor-rekor yang dibuat, baik rekor untuk klub maupun rekor bagi sang pemain dan pelatih itu sendiri. Tentu saja, rekor itu bisa yang paling menggembirakan atau menyakitkan.

Sir Alex Ferguson tentu paham akan hal itu. Tatkala ia dipercaya untuk melatih Manchester United tahun 1986, mungkin tidak ada dalam pikirannya saat itu bakal bertahan dalam waktu lama di Old Trafford. Bahkan hingga sekarang tidak ada yang tahu sampai kapan Sir Alex menangani klub peraih trofi terbanyak Liga Inggris itu.

Selama 26 tahun ini dapat kita lihat rekor demi rekor yang telah tercipta. Penggemar MU yang sudah berusia cukup tua pasti tidak menyangka bahwa 18 gelar liga Inggris milik Liverpool akan dilampaui. Begitupun raihan Trofi Liga Champion, FA, dan masih banyak lagi. Semua prestasi di dalam lapangan ini berkorelasi pula dengan capaian di luar lapangan. MU menjadi klub sepakbola paling populer dan beberapa kali tercatat sebagai yang paling kaya di muka bumi. Beberapa bintang besar sepak bola juga lahir dari tangan pelatih asal Skotlandia itu.

Tapi yang pasti, bukan rekor manis belaka yang tersimpan dalam memorinya. Sir Alex akan terus mengingat kekalahan-kekalahan pada partai penting baik di laga domestik ataupun internasional. Kekalahan di dua partai final Liga Champion oleh tim yang sama—Barcelona—di tahun 2009 dan 2011 contohnya.

Soal kalah mungkin satu hal saja. Kekalahan dalam sebuah pertandingan hanya menysaratkan selisih gol minimal satu dengan lawan entah itu dalam waktu normal maupun adu tendangan penalti. Tapi yang tak kurang penting lagi adalah seberapa besar selisih gol dari sang lawan. Hal ini teramat penting bagi statistik sepak bola untuk mengetahui kekalahan terbesar sebuah klub.

Meski dengan segala atribut kebesarannya, mungkin ini juga yang paling ditakutkan oleh Sir Alex. Gelimang gelar MU pasti dibarengi dengan kekalahan terbesar yang pernah dialami. Dan yang satu ini tidak bisa tidak sulit dihindari.

Pada tahun 1996, MU dikalahkan 5 gol tanpa balas oleh Newcastle United. Inilah kekalahan terbesar selama kepelatihan Sir Alex. Newcastle? Saya pikir bukan siapa-siapa dibandingkan Arsenal yang sering mengganggu MU sepanjang dekade 1990-an dan 2000-an. Tapi ada kekalahan yang konon lebih menyakitkan lagi yakni pada tahun 1989. Bukan karena gelontoran gol yang lebih besar, namun karena kekalahan itu terjadi di hadapan tim sekota, Manchester City. MU kebobolan 5 gol yang hanya dapat dibalas 1 gol oleh Bryan Robson, dkk.

Tapi pada hari Minggu (23/10) kemarin kita menyaksikan di layar kaca bahwa kejadian 22 tahun lalu terulang kembali dengan cara yang lebih sadis. Pasukan Sir Alex tanpa ampun dibantai 6 gol yang hanya mampu dibalas sebuah gol saja. Dan yang lebih menyakitkan, kekalahan itu terjadi di atas rumput stadion yang dianggap sangat angker bagi lawan, Old Trafford. Inilah kekalahan terbesar sepanjang kepelatihan Sir Alex. Tambah pedih lagi karena kalah di tangan tim sekota yang selama 26 tahun hanya sebagai penonton lahirnya gelar-gelar MU.

Kita tidak dapat membayangkan apa yang ada dalam pikiran pelatih berusia 69 tahun itu. Seusai pertandingan, kita melihat Roberto Mancini datang menghampiri bangku cadangan MU untuk bersalaman dengan Sir Alex. Terpancar dua wajah yang saling bertolakbelakang. Yang satu penuh kebahagiaan, sedang satunya sedih tak terbayangkan.

Boleh-boleh saja kita berspekulasi bahwa pertandingan malam kemarin itu timpang karena MU kehilangan beknya, Jonny Evans, di awal babak kedua; sesudahnya gelontoran gol City pun menghujam gawang David De Gea sebanyak 5 buah. Boleh saja kita menduga para pemain penting MU tidak semua dimainkan sehingga memudahkan Balotelli dengan sombong menunjukkan kaus bertuliskan "Why Always Me?" sesudah mencetak gol pertama. Semua spekulasi wajar dalam sepakbola.

Tetapi, sejarah tidak mencatat itu semua. Berpuluh-puluh tahun yang akan datang para fans MU akan menerima sebuah fakta bahwa di tangan tetangganya yang berisik itulah pelatih terbesar mereka sepanjang masa menerima kekalahan terbesarnya. Kita tidak tahu apakah di masa depan City menjadi tim besar dan MU terpuruk. Kita tidak tahu apakah kemarin menjadi langkah awal kebesaran City yang menjadi masteplan-nya Sheikh Mansour. Yang pasti bagi tifosi City, mereka akan mengenangnya sebagai sebuah prestasi yang paling membanggakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun