Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hukum Rajam yang Kebablasan!

19 September 2009   02:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:42 6520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya terkejut tatkala membaca Koran terbitan nasional hari rabu yang lalu. Hampir semua memberitakan tentang pengesahan qanun (perda) hukum jinayat oleh DPR Aceh. Kompas memberitakan di halaman 15, sedangkan koran berbahasa inggris, The Jakarta Post menjadikannya headline.

Yang membuat bulu kuduk berdiri adalah pemberlakuan hukum rajam (lembar batu) bagi pasangan yang sudah menikah dan kedapatan berzina. Kita sebelumnya sudah mengetahui pemberlakuan hukuman cambuk untuk tindak pidana tertentu pada tahun 2006 yang lalu. Dan sudah beberapa kali hukuman cambuk dilaksanakan di seluruh penjuru Aceh hingga saat ini. Namun, sekarang hukuman cambuk bagi yang kedapatan berzina itu ditingkatkan menjadi hukum rajam hingga mati.

Kita bisa memaklumi kekhususan Aceh yang diakui dalam UU tentang keistimewaan Aceh. Bila kita sekarang berkunjung ke Aceh, akan tampak perbedaan mencolok dibandingkan daerah – daerah lainnya. Semua wanita berjilbab, gedung – gedung pemerintahan ditulis bergandengan dengan tulisan Arab. Itu pemandangan sekilas yang akan kita temukan tatkala datang ke propinsi serambi mekkah tersebut. Ketika hari jum’at semua aktivitas harian harus berhenti termasuk aktivitas perdagangan. Bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi dan denda bahkan hukuman penjara.

Tentunya Rakyat Aceh harus menerima semua aturan – aturan tersebut bahkan bagi non muslim dengan dalih saling menghormati. Walaupun kebebasan agak dibatasi, itu semua dapat dibenarkan atas nama ajaran agama.

Semua hukum syariat itu sampai sekarang masih terus dijalankan dan dirasa tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi dalam bingkai NKRI. Hampir tidak ada atau paling setidaknya tidak terdengar gaung uji materi terhadap perda – perda tersebut. Rakyat Aceh yang Islamnya sudah mendarah daging itu menerimanya dengan lapang dada.

Tapi, hari selasa 25 september 2009 yang lalu terjadi titik balik. Para legislator DPRD kebablasan dalam menafsirkan keistimewaan Aceh menyangkut Syariat Islam. Mereka sudah terjebak dalam Arabisasi Syariat Islam. Syariat Islam yang sejatinya harus dalam bingkai NKRI dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang diatasnya, malah mulai mengarah ke model Timur Tengah yang nir Demokrasi dan HAM.
Hukuman zaman jahilliyah dan tidak manusiawi itu diterapkan dalam Negara Indonesia ( yang Aceh sendiri adalah bagiannya) yang sangat menghormati HAM sesuai prinsip – prinsip demokrasi. Hukuman padang pasir yang tidak layak diterapkan di zaman modern ini.

Suara – suara menentang tentunya sudah bermunculan. Aktivis HAM dan Pembela hak – hak perempuan menyatakan hukuman tersebut harus dicabut. Karena pasti ujung –ujungnya perempuanlah yang akan banyak menjadi korban. Perempuan yang kedapatan hamil, perempuan yang di visum dan perempuan juga yang disalahkan untuk kemudian mati dengan cara yang lebih buruk dari binatang.

Masih belum cukupkah perempuan itu dipaksa menutup aurat mereka untuk mengerem nafsu pria? Belum puaskah perlakuan tidak adil dalam rumah tangga yang dilakukan laki – laki? Dan ternyata masih kurang juga.

Sebegitu banyak suara yang menentang, masih ada juga ternyata yang mendukung. Yah, itu sudah lumrah. Setiap ada tesis pasti ada antitesis. Dan menurut Hegel, dari dua perbedaan itu nantinya akan ada sintesis untuk memperoleh suatu kebenaran. Tapi, dialektika hegel itu dalam kasus ini tidak akan mencapai apa yang disebut kebenaran . Melainkan hanya suatu pembenaran sekelompok orang yang merasa paling mewakili suara Tuhan. Tuhan yang mereka ciptakan sendiri!

Salah satu suara pembelaan itu datang dari seorang ulama dayah (semacam pondok pesantren). Di Seputar Indonesia ia mengungkapkan bahwa perlakuan rajam itu tidak mudah. Perzinahan itu setidaknya harus mendapatkan keterangan 4 saksi yang dianggap adil. Di Arab Saudi saja, ia melanjutkan dalam sepuluh tahun terakhir ini tidak pernah dilakukan hukum rajam, karena memang sulit dibuktikan.

Terkesan pernyataaan itu cukup menentramkan. Tapi kita tidak butuh pembenaran semacam itu. Sekalipun seseorang melakukan tindakan di luar norma agama dan adat, dia adalah seorang manusia dan tetap manusia sehingga hukumanpun harus dilakukan secara manusiawi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun