Fenomena masyarakat Indonesia yang suka berfoto dengan bule atau orang asing memang tidak dapat diabaikan. Setiap tahun, ribuan foto selfie dengan bule membanjiri media sosial. Namun, di balik fenomena ini, terdapat pertanyaan yang mendasar: Apakah masyarakat Indonesia masih memelihara mental terjajah dan menganggap bule lebih tinggi derajatnya daripada mereka?Â
Mental terjajah adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan sikap atau pandangan negatif terhadap orang asing, terutama bule. Fenomena ini dapat dihubungkan dengan warisan kolonialisme yang panjang di Indonesia. Selama berabad-abad, bangsa Indonesia mengalami pemerintahan asing, yang pada akhirnya meninggalkan efek psikologis yang dalam.
Masyarakat Indonesia telah dijejali dengan pemikiran bahwa orang asing, terutama bule, lebih superior, lebih berpendidikan, dan lebih kaya daripada mereka. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh perilaku para penjajah yang pada masa lalu memang berada pada posisi tinggi secara sosial dan ekonomi.
Meskipun fenomena ini masih ada, perlahan-lahan masyarakat Indonesia mulai menyadari betapa pentingnya mengatasi mental terjajah ini. Banyak kampanye sosial, pendidikan, dan media yang berupaya mengubah persepsi dan memberikan pemahaman bahwa bule adalah manusia seperti mereka. Ini termasuk kampanye "Treat People as You Want to Be Treated" yang mendorong sikap saling hormat dan toleransi.Â
Media sosial juga memainkan peran penting dalam fenomena ini. Kemajuan teknologi membuat dunia terasa lebih kecil, dan orang Indonesia dapat dengan mudah berhubungan dengan orang asing melalui platform seperti Instagram, Facebook, dan TikTok. Selfie dengan bule menjadi cara populer untuk memamerkan kehidupan yang serba modern dan global.
Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua orang yang berfoto dengan bule melakukannya karena mental terjajah. Banyak yang melakukannya sebagai bentuk interaksi sosial yang positif dan peluang untuk berbagi budaya.
Selain mental terjajah, masih ada mitos yang berkembang di masyarakat Indonesia bahwa bule adalah sosok yang lebih tinggi derajat. Ini mungkin berasal dari gambaran yang seringkali diperlihatkan dalam media bahwa bule adalah orang kaya, cerdas, dan tampan/cantik.
Namun, ini adalah stereotip dangkal. Orang asing, seperti semua manusia, memiliki keberagaman dalam hal karakter, kepintaran, dan kemampuan finansial. Penting untuk menggali lebih dalam dan tidak terjebak dalam pandangan yang sempit tentang bule.
Fenomena masyarakat Indonesia yang suka berfoto dengan bule mungkin tidak akan segera menghilang, tetapi perubahan positif dalam sikap dan persepsi sudah mulai terjadi. Perlu upaya bersama untuk memahami akar dari mental terjajah dan menghancurkan mitos tentang bule yang lebih tinggi derajat. Dengan begitu, kita dapat membangun masyarakat yang lebih inklusif dan saling menghormati, tanpa memandang warna kulit atau asal usul.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI