Mohon tunggu...
Salsa Budi Adelia
Salsa Budi Adelia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Mahasiswa Universitas Airlangga yang gemar membaca novel fiksi dan menonton Film

Selanjutnya

Tutup

Money

Melihat Dua Sisi Dampak Kenaikan Tarif PPN 11% di Masa Pandemi

7 Juni 2022   20:51 Diperbarui: 20 Juni 2022   17:45 4711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pandemi di Indonesia telah berjalan sejak maret 2020, dimana sejak diumumkannya pasien pertama yang terinfeksi virus Covid-19, selama itu juga pandemi membuat banyak sektor terkena dampak dan merugi, baik di sektor kesehatan, Pariwisata dan tidak terkecuali di sektor ekonomi. Di sektor ekonomi pengaruh pandemi sangat lah besar dimana karena adanya pandemi membuat daya beli masyarakat berkurang dan dapat berakibat terjadi inflasi. Untuk mengatasi inflasi yang terjadi, pemerintah telah melakukan berbagai upaya. Salah satunya adalah kebijakan untuk menaikan tarif pajak. Kebijakan tersebut dirasa akan dapat membantu pemerintah dalam pemulihan perekonomian. Maka dari itu terbit wacana dan direalisasikan lah menjadi sebuah kebijakan kenaikan tarif PPN sebesar 11 persen.

PPN resmi naik menjadi 11 persen, dari semula 10 persen. Kenaikan tersebut merupakan wacana yang telah lama direncanakan pemerintah. Pemerintah memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11 persen mulai 1 April 2022. Ketentuan ini mengacu ke Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang telah disahkan oleh presiden Joko Widodo pada tanggal 29 Oktober 2021. Di dalam Pasal 7 UU HPP disebutkan besaran PPN per 1 April 2022 adalah sebesar 11 persen. Kebijakan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi perpajakan sebagai dasar perpajakan yang lebih adil dan optimal.

Kenaikan tarif pajak merupakan suatu hal yang lumrah terjadi. Kenaikan tersebut merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak. Menurut UU No. 28 Tahun 2007, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak merupakan instrumen penting di dalam perekonomian dimana pajak merupakan sumber penerimaan utama negara. Hampir 80 persen penerimaan negara berasal dari penerimaan pajak. Menteri Keuangan bu Sri Mulyani juga menekankan bahwa pajak merupakan gotong royong dari sisi ekonomi Indonesia dari yang relatif mampu. Kalimat yang disampaikan Ibu Sri Mulyani bermakna perwujudan dari sistem keadilan perpajakan dimana pajak yang dikumpulkan akan digunakan kembali kepada masyarakat. Menteri Keuangan Bu Sri Mulyani menjelaskan bahwa alasan utama dinaikkannya tarif PPN 11 persen yaitu menambah pemasukan penerimaan negara guna memperbaiki kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang secara berturut-turut mengalami defisit selama pandemi. Agar kondisi APBN bisa pulih dan surplus kembali dibutuhkan terobosan baru yang dapat memulihkannya. PPN dipilih pemerintah sebagai space yang tepat untuk pemulihan APBN.

Meskipun demikian hampir semua masyarakat beranggapan kenaikan tersebut dinilai tidak tepat dengan situasi saat ini. Menteri Keuangan menuturkan bahwa tarif PPN di Indonesia masih tergolong rendah. Dibandingkan dengan negara-negara lain yang bisa mencapai 15 persen- 15,5 persen Indonesia masih berada di bawah.

"Kalau rata-rata PPN (Pajak Pertambahan Nilai) di dunia itu ada di 15 persen, kalau kita lihat negara OECD dan yang lain-lain. Indonesia ada di 10 persen kita naikkan 11 persen dan nanti 12 persen pada tahun 2025," jelas Sri Mulyani.

Walaupun tarif PPN negara Indonesia masih terbilang kecil dibanding dengan negara-negara lain, tetapi kenaikan tersebut akan tetap berdampak kepada masyarakat. Apalagi kenaikan tersebut terjadi di saat menjelang bulan Ramadhan dan masih di dalam masa pandemi. Dimana harga kebutuhan masyarakat sedang naik-naiknya. Kenaikan bahan-bahan pokok yang seiring dengan kenaikan pajak sangatlah merugikan bagi masyarakat, apalagi untuk masyarakat menengah kebawah. Beberapa masyarakat yang hanya memiliki pendapatan yang pas-pasan harus menghemat pengeluaran agar bisa membagi secara merata agar cukup untuk keperluan sehari-hari. Bahkan kebutuhan sekunder seperti kebutuhan membeli atau memiliki kuota internet, dan gadget menjadi kebutuhan primer yang sangat dibutuhkan dan penting di masa pandemi dimana terjadi perubahan yang signifikan yang mengharuskan masyarakat beralih ke sistem internet dan mengharuskan masyarakat untuk tetap dirumah karena imbauan untuk meminimalisir interaksi antar sesama guna menghindari penyebaran virus corona, bahkan dikenakan tarif PPN 11 persen, hal tersebut juga membuat masyarakat merasa keberatan.

Berbagai macam tanggapan timbul di masyarakat karena adanya kenaikan tarif PPN, masyarakat berpendapat kenaikan tarif PPN 11 persen ini dianggap tidak sesuai dengan situasi sekarang, di saat semua masyarakat baru saja beranjak pulih dari keterpurukan ekonomi karena dampak dari pandemi covid-19 dan kenaikan harga kebutuhan pokok, contohnya saja seperti minyak goreng yang mengalami kenaikan harga bahkan sampai mengalami kelangkaan yang sangatlah merugikan masyarakat dimana sebagian masyarakat sangat membutuhkan minyak goreng untuk melakukan kegiatan memasak hingga untuk kegiatan berjualan. Dengan ditambah lagi oleh Kenaikan tarif PPN 11 persen tersebut sangat lah memberatkan masyarakat untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.

Walaupun demikian, Pemerintah tetap membebaskan atau tidak mengenakan PPN terhadap sejumlah barang dan jasa yang dibutuhkan sehari-hari antara lain seperti :

  •   Barang kebutuhan pokok, seperti : beras, Jagung, sagu, kedelai, garam, daging,telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, dsb.   
  •   Jasa kesehatan (Vaksin)
  •   Jasa pendidikan (Buku pelajaran)
  •   Jasa sosial
  •   Jasa asuransi
  •   Jasa keuangan
  •   Jasa angkutan umum
  •   Listrik (kecuali untuk rumah tangga dengan daya >6600 VA).
  •   Rusun sederhana, rusunami, RS, dan RSS.
  •   Jasa konstruksi untuk rumah ibadah dan jasa konstruksi untuk bencana nasional.
  •   Minyak bumi, dsb.

Kenaikan tarif PPN 11 persen tentu saja memiliki dua dampak yang saling berdampingan, antara lain yaitu dampak positif dan negatif. Dampak negatif yang ditimbulkan dari kenaikan tarif PPN 11 persen adalah kenaikan kebutuhan pokok sehari-hari dan protes masyarakat yang menentang kenaikan tarif PPN 11 persen, tetapi di lain sisi kenaikan tarif PPN 11 persen memiliki dampak baik di anggaran negara, dimana dengan kenaikan tersebut membantu memulihkan anggaran negara yang sempat kacau saat pandemi. Sejatinya semua kebijakan yang telah disahkan oleh pemerintah tentu telah melalui proses yang panjang dan penuh pertimbangan. Sebagai masyarakat kita tentu haruslah menghargai upaya pemerintah dalam hal memperbaiki perekonomian di Indonesia setelah terkena dampak pandemi agar tetap stabil dan dapat mensejahterakan masyarakat yang berlindung di dalamnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun