Mohon tunggu...
Salsabila
Salsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa Ekonomi Pembangunan

Blog ini adalah wadah yang saya sajikan untuk menuangkan gagasan, pandangan, serta analisis berbagai peristiwa. Semoga setiap tulisan di blog ini dapat memberikan wawasan baru dan menjadi sumber inspirasi bagi para pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pajak Karbon: Cita & Cemas Komitmen Net-Zero Emissions 2060

26 September 2025   19:52 Diperbarui: 26 September 2025   19:56 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/users/jwvein-5584447/

Fenomena revolusi industri telah membuka jalan bagi manusia untuk menjadikan batubara, minyak bumi, dan gas alam sebagai tulang punggung energi global sekaligus penggerak utama pertumbuhan industri. Namun, tidakkah kini kita harus bertanya: berapa lama lagi bumi mampu menanggung beban dari ketergantungan energi kotor ini dan harus membayar mahal melalui krisis iklim yang kian nyata?

Pertanyaan itu semakin relevan ketika data terbaru menunjukkan bahwa tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah modern, dengan suhu rata-rata global untuk pertama kalinya melampaui ambang 1,5C. Di kawasan Pasifik Barat, termasuk perairan Indonesia, gelombang panas laut meluas hingga puluhan juta kilometer persegi, memicu pemutihan massal terumbu karang. Dampaknya bukan hanya bagi ekosistem laut, tetapi juga bagi nelayan dan komunitas pesisir yang bergantung padanya. Di daratan, bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan kekeringan yang semakin intens telah memengaruhi jutaan warga Indonesia dalam dua tahun terakhir.

Di balik semua kenyataan pahit itu, ada satu benang merah yang sulit diabaikan, yaitu tentang penggunaan energi fosil yang begitu dominan. Di Indonesia sendiri, batubara masih menyumbang lebih dari 60% pembangkit listrik nasional, selain itu minyak bumi juga menopang transportasi dan industri, sementara gas alam yang kerap dianggap lebih bersih nyatanya tetap menghasilkan emisi. Ketiga sumber energi ini kerap disebut sebagai energi kotor, dan justru menjadi paradoks besar dalam perjalanan Indonesia menuju target Net-Zero Emissions 2060.

Hal tersebut kemudian bergulir pada bagaimana Indonesia bisa menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan kebijakan iklim. Salah satu langkah awal yang sudah diambil adalah peluncuran IDXCarbon pada September 2023, sebuah mekanisme pasar yang memungkinkan perusahaan memperjualbelikan izin emisi. Namun, instrumen yang dianggap lebih tegas, yakni pajak karbon, masih menyisakan tanda tanya. Padahal, pemerintah telah menyiapkannya melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada Oktober 2021. Rencana penerapan yang semula dijadwalkan pada 2022 berulang kali tertunda, hingga kini pemerintah menargetkan implementasi penuh pada 2027. Penundaan ini mencerminkan upaya pemerintah untuk mematangkan regulasi pajak karbon, meski di sisi lain menimbulkan pertanyaan apakah waktu yang tersisa cukup untuk mengejar impian net-zero 2060.


Pajak karbon sering kali dipuji sebagai instrumen andalan untuk menekan emisi. 

Logikanya sederhana: semakin tinggi biaya emisi, semakin besar dorongan bagi industri untuk beralih pada energi bersih. Dengan cara ini, kebijakan tersebut diharapkan mampu memicu perubahan perilaku, mendorong inovasi, sekaligus menambah pemasukan negara. Namun, praktik di lapangan tidak selalu seindah teori. Di Prancis, rencana kenaikan pajak bahan bakar justru memicu gelombang protes Yellow Vests karena dianggap menekan kelompok berpendapatan menengah ke bawah. Pengalaman ini menunjukkan bahwa pajak karbon memiliki sifat regresif dan menyebabkan rumah tangga yang berpendapatan rendah menanggung beban lebih besar karena pengeluaran energi menyerap porsi signifikan dari pendapatan mereka. Tanpa mekanisme kompensasi yang adil, kebijakan ini lebih menyerupai hukuman daripada solusi.

Setiap kebijakan iklim selalu membawa konsekuensi distribusi beban. Dalam konteks pajak karbon, kelompok masyarakat berpendapatan rendah dan UMKM justru berisiko paling terdampak karena kenaikan harga energi langsung menyentuh biaya hidup dan ongkos produksi mereka. Berbeda dengan korporasi besar yang mempunyai ruang untuk melakukan diversifikasi energi atau bahkan melimpahkan biaya tambahan ke pihak yang lebih rendah.

Ketika berbicara soal siapa yang paling dirugikan oleh pajak karbon, pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa beban tidak jatuh secara merata. Di Afrika Selatan, misalnya, pajak karbon yang mulai berlaku pada 2019 membuat banyak usaha mikro dan menengah kesulitan menutupi biaya energi yang meningkat. Tanpa kapasitas teknologi untuk beralih ke energi bersih, mereka tak punya pilihan selain mengalihkan beban itu dan akhirnya menyebabkan kerugian.

Indonesia berada di persimpangan yang serupa, bahkan mungkin lebih rawan.

Ekonomi kita memang tumbuh stabil, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kita banyak bertumpu pada UMKM dan sektor informal yang menyerap hampir seluruh tenaga kerja. Bayangkan jika kebijakan pajak karbon diterapkan tanpa kompensasi yang adil sementara rumah tangga berpendapatan rendah sudah terbebani dengan pengeluaran energi seperti listrik, transportasi, hingga gas elpiji yang turut menggerus pendapatan mereka. Justru yang akan terjadi adalah harga bahan pokok bisa melonjak, daya beli rakyat melemah, melebarnya kesenjangan sosial.

Risiko lain juga menghantui Indonesia. Sejak peluncuran Bursa Karbon pada 2023, pengamat sudah mengingatkan bahwa lemahnya verifikasi emisi bisa membuka peluang manipulasi data dan pencitraan (greenwashing). Kondisi ini menegaskan bahwa pajak karbon belum tentu menghadirkan keadilan iklim. Tanpa mekanisme kompensasi yang berpihak pada kelompok rentan dan tanpa pengawasan ketat terhadap industri besar, kebijakan ini berisiko berubah menjadi beban timpang dan masyarakat berpendapatan rendah  menanggung lebih banyak sementara yang memiliki kuasa justru menemukan celah untuk menghindar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun