Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah menghela dunia masuki pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran masuki dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Dentuman Musik Keras Membungkam Ketenteraman Sosial

13 Oktober 2025   09:01 Diperbarui: 13 Oktober 2025   09:01 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KETIKA DENTUMAN MUSIK KERAS MEMBUNGKAM KETENTERAMAN SOSIAL

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Input gambar: youtube.com
Input gambar: youtube.com
Fenomena pesta dengan dentuman musik keras bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) telah menunjukkan dinamika budaya dan relasi sosial masyarakat lokal yang kompleks. Musik dalam pesta bukan hanya sekadar ekspresi kesenangan, tetapi juga menjadi bentuk afirmasi identitas dan ajang negosiasi sosial di antara warga. Bagi sebagian orang, musik keras melambangkan kemeriahan dan kebanggaan dalam berbagi sukacita, sebuah cara untuk menunjukkan eksistensi dan keterbukaan terhadap lingkungan sekitar.

Namun di sisi lain, kebiasaan ini sering kali menimbulkan gesekan sosial ketika makna kebersamaan berubah menjadi sumber ketegangan karena batas kenyamanan tidak lagi dijaga. Di sinilah tantangan kultural muncul: bagaimana masyarakat dapat tetap mempertahankan tradisi sukacita yang khas tanpa mengorbankan nilai tenggang rasa dan ketenteraman sosial yang juga menjadi bagian dari jati diri budaya NTT.

Pada umumnya kondisi ini terjadi di wilayah NTT. Hal ini sudah menjadi kebiasaan umum, bahwa setiap kali ada hajatan sukacita seperti pernikahan, pesta ulang tahun, atau acara adat selalu terdengar suara musik yang diputarkan. Sebenarnya, hal itu tidak menjadi masalah karena musik adalah bagian dari ekspresi kegembiraan manusia. Namun, yang sering luput dari kesadaran adalah kecenderungan memutar musik dengan dentuman keras hingga melampaui batas kewajaran.

Input gambar: dokpri, sound musik di sebuah hajatan pernikahan
Input gambar: dokpri, sound musik di sebuah hajatan pernikahan
Volume yang terlalu tinggi bukan lagi menambah semarak suasana, tetapi justru mengganggu ketenteraman warga yang tinggal di sekitar arena hajatan. Di sinilah letak persoalannya: bagaimana menjaga agar kebahagiaan pribadi tidak berubah menjadi kebisingan sosial yang menghapus rasa nyaman bersama. Musik sejatinya adalah bahasa universal yang mengikat rasa, tetapi ketika volumenya melampaui batas, ia kehilangan makna harmoni. Irama yang semestinya membawa kegembiraan justru berubah menjadi dentuman yang mengusik.

Malam yang seharusnya tenang bagi mereka yang ingin beristirahat, berubah menjadi ruang bising tanpa jeda. Banyak orang terpaksa menutup pintu, bahkan ada yang harus memakai penutup telinga, hanya demi mencari kembali sepotong ketenangan. Di titik ini, kita diingatkan bahwa kebebasan berekspresi tidak boleh menenggelamkan hak orang lain untuk hidup tenteram. Musik boleh bergema, tetapi biarlah tetap dalam nada yang menghormati keseimbangan sosial.

Input gambar: dokpri
Input gambar: dokpri
Fenomena memutar musik dengan volume tinggi sering kali ditemui, baik di ruang publik maupun di lingkungan permukiman. Dari hajatan hingga pesta kecil, bahkan sekadar nongkrong di pinggir jalan, dentuman keras seolah menjadi simbol kegembiraan yang harus ditunjukkan kepada dunia. Namun di balik itu, terselip sisi egoisme yang sering tak disadari: keinginan untuk menikmati hiburan pribadi tanpa memedulikan kenyamanan orang lain.

Banyak yang lupa bahwa kebebasan berekspresi memiliki batas ketika mulai menyentuh hak orang lain untuk tenang dan beristirahat. Dalam kehidupan sosial, empati menjadi penuntun agar kebahagiaan yang dirasakan satu pihak tidak berubah menjadi gangguan bagi pihak lain. Sebab, harmoni dalam bermasyarakat hanya akan terjaga jika setiap individu mampu menempatkan kebebasannya dalam bingkai kesadaran sosial.

Input gambar: dokpri
Input gambar: dokpri
Getaran keras dari dentuman musik bukan sekadar suara yang memenuhi ruang, tetapi gelombang yang meresap hingga mengusik keseharian banyak orang. Anak-anak kehilangan konsentrasi belajar, orang tua sulit beristirahat, dan suasana sosial perlahan retak karena rasa jengkel yang terpendam. Dalam jangka panjang, kebisingan semacam ini bisa menumbuhkan jarak emosional antarwarga, menumbuhkan keluhan, bahkan memicu konflik kecil di tengah masyarakat.

Dari sisi etika, kebisingan adalah bentuk nyata dari hilangnya empati sosial, saat seseorang lupa bahwa di balik dinding rumahnya, ada orang lain yang juga membutuhkan ketenangan. Empati menjadi kunci untuk menjaga harmoni di lingkungan bersama; hal ini mengajarkan kita untuk menimbang kenyamanan pribadi dengan rasa hormat terhadap hak orang lain. Dengan begitu, masyarakat dapat hidup berdampingan dalam suasana yang tidak hanya meriah, tetapi juga penuh tenggang rasa.

Input gambar: dokpri
Input gambar: dokpri
Dalam menghadapi kebiasaan memutar musik dengan volume berlebihan, sebenarnya sudah ada aturan yang mengatur, seperti Peraturan Daerah tentang ketertiban umum yang melarang tindakan mengganggu kenyamanan lingkungan. Namun, penegakan hukum semestinya tidak hanya bersifat represif, melainkan juga edukatif. Masyarakat perlu diajak memahami bahwa menjaga ketertiban bukan sekadar mematuhi aturan, tetapi juga bagian dari membangun budaya saling menghormati.

Di sinilah nilai-nilai kearifan lokal menemukan relevansinya yakni hormat pada sesama, malu mengganggu, dan tahu diri dalam hidup bersama. Prinsip-prinsip ini telah lama menjadi pedoman sosial yang menuntun masyarakat agar tidak kehilangan rasa malu ketika tindakannya menyinggung ketenangan orang lain. Bila hukum ditegakkan dengan hati dan nilai-nilai lokal dihidupkan kembali, maka kesadaran kolektif untuk menjaga ketenteraman sosial akan tumbuh bukan karena takut pada sanksi, melainkan karena dorongan moral untuk hidup harmonis.

Input gambar: dokpri
Input gambar: dokpri
Menghadapi kondisi ini, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bersama agar persoalan kebisingan akibat dentuman musik keras tidak terus berulang. Pertama, penting bagi setiap individu untuk menumbuhkan kesadaran diri bahwa kebahagiaan tidak harus ditunjukkan dengan suara paling keras, melainkan dengan sikap yang tetap menghargai lingkungan sekitar. Kedua, peran tokoh masyarakat, aparat desa, dan panitia hajatan menjadi krusial dalam mengatur batas waktu serta volume musik agar tidak mengganggu warga lain. Ketiga, pemerintah daerah perlu memperkuat sosialisasi aturan tentang ketertiban umum dengan pendekatan persuasif dan edukatif, bukan sekadar ancaman hukuman. Langkah-langkah kecil ini, bila dilakukan bersama, akan menumbuhkan budaya tenggang rasa yang menjadi pondasi ketenteraman sosial di tengah masyarakat yang majemuk.

Input gambar: dokpri
Input gambar: dokpri
Pada akhirnya, kebebasan berekspresi melalui musik haruslah berjalan seiring dengan etika sosial yang menjaga keseimbangan hidup bersama. Tidak ada yang salah dengan menikmati hiburan, tetapi ketika kebebasan itu melampaui batas dan melukai ketenangan orang lain, maka di situlah nurani perlu berbicara. Musik yang terlalu keras bukan hanya menutup telinga, tetapi juga menutup kepekaan hati terhadap sesama.

Karena itu, penting bagi setiap orang untuk belajar mendengarkan bukan hanya suara musik, tetapi juga suara hati nurani sosial yang berbisik lembut agar kita tidak kehilangan rasa empati. Mari belajar menurunkan volume ego agar harmoni sosial bisa terdengar kembali. Sebab, musik sejati bukan yang paling keras terdengar, tetapi yang paling lembut dirasakan oleh hati sesama.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun