KETIKA DENTUMAN MUSIK KERAS MEMBUNGKAM KETENTERAMAN SOSIAL
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Namun di sisi lain, kebiasaan ini sering kali menimbulkan gesekan sosial ketika makna kebersamaan berubah menjadi sumber ketegangan karena batas kenyamanan tidak lagi dijaga. Di sinilah tantangan kultural muncul: bagaimana masyarakat dapat tetap mempertahankan tradisi sukacita yang khas tanpa mengorbankan nilai tenggang rasa dan ketenteraman sosial yang juga menjadi bagian dari jati diri budaya NTT.
Pada umumnya kondisi ini terjadi di wilayah NTT. Hal ini sudah menjadi kebiasaan umum, bahwa setiap kali ada hajatan sukacita seperti pernikahan, pesta ulang tahun, atau acara adat selalu terdengar suara musik yang diputarkan. Sebenarnya, hal itu tidak menjadi masalah karena musik adalah bagian dari ekspresi kegembiraan manusia. Namun, yang sering luput dari kesadaran adalah kecenderungan memutar musik dengan dentuman keras hingga melampaui batas kewajaran.
Malam yang seharusnya tenang bagi mereka yang ingin beristirahat, berubah menjadi ruang bising tanpa jeda. Banyak orang terpaksa menutup pintu, bahkan ada yang harus memakai penutup telinga, hanya demi mencari kembali sepotong ketenangan. Di titik ini, kita diingatkan bahwa kebebasan berekspresi tidak boleh menenggelamkan hak orang lain untuk hidup tenteram. Musik boleh bergema, tetapi biarlah tetap dalam nada yang menghormati keseimbangan sosial.
Banyak yang lupa bahwa kebebasan berekspresi memiliki batas ketika mulai menyentuh hak orang lain untuk tenang dan beristirahat. Dalam kehidupan sosial, empati menjadi penuntun agar kebahagiaan yang dirasakan satu pihak tidak berubah menjadi gangguan bagi pihak lain. Sebab, harmoni dalam bermasyarakat hanya akan terjaga jika setiap individu mampu menempatkan kebebasannya dalam bingkai kesadaran sosial.
Dari sisi etika, kebisingan adalah bentuk nyata dari hilangnya empati sosial, saat seseorang lupa bahwa di balik dinding rumahnya, ada orang lain yang juga membutuhkan ketenangan. Empati menjadi kunci untuk menjaga harmoni di lingkungan bersama; hal ini mengajarkan kita untuk menimbang kenyamanan pribadi dengan rasa hormat terhadap hak orang lain. Dengan begitu, masyarakat dapat hidup berdampingan dalam suasana yang tidak hanya meriah, tetapi juga penuh tenggang rasa.
Di sinilah nilai-nilai kearifan lokal menemukan relevansinya yakni hormat pada sesama, malu mengganggu, dan tahu diri dalam hidup bersama. Prinsip-prinsip ini telah lama menjadi pedoman sosial yang menuntun masyarakat agar tidak kehilangan rasa malu ketika tindakannya menyinggung ketenangan orang lain. Bila hukum ditegakkan dengan hati dan nilai-nilai lokal dihidupkan kembali, maka kesadaran kolektif untuk menjaga ketenteraman sosial akan tumbuh bukan karena takut pada sanksi, melainkan karena dorongan moral untuk hidup harmonis.
Karena itu, penting bagi setiap orang untuk belajar mendengarkan bukan hanya suara musik, tetapi juga suara hati nurani sosial yang berbisik lembut agar kita tidak kehilangan rasa empati. Mari belajar menurunkan volume ego agar harmoni sosial bisa terdengar kembali. Sebab, musik sejati bukan yang paling keras terdengar, tetapi yang paling lembut dirasakan oleh hati sesama.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI