Dalam menghadapi kebiasaan memutar musik dengan volume berlebihan, sebenarnya sudah ada aturan yang mengatur, seperti Peraturan Daerah tentang ketertiban umum yang melarang tindakan mengganggu kenyamanan lingkungan. Namun, penegakan hukum semestinya tidak hanya bersifat represif, melainkan juga edukatif. Masyarakat perlu diajak memahami bahwa menjaga ketertiban bukan sekadar mematuhi aturan, tetapi juga bagian dari membangun budaya saling menghormati.
Di sinilah nilai-nilai kearifan lokal menemukan relevansinya yakni hormat pada sesama, malu mengganggu, dan tahu diri dalam hidup bersama. Prinsip-prinsip ini telah lama menjadi pedoman sosial yang menuntun masyarakat agar tidak kehilangan rasa malu ketika tindakannya menyinggung ketenangan orang lain. Bila hukum ditegakkan dengan hati dan nilai-nilai lokal dihidupkan kembali, maka kesadaran kolektif untuk menjaga ketenteraman sosial akan tumbuh bukan karena takut pada sanksi, melainkan karena dorongan moral untuk hidup harmonis.
Menghadapi kondisi ini, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bersama agar persoalan kebisingan akibat dentuman musik keras tidak terus berulang. Pertama, penting bagi setiap individu untuk menumbuhkan kesadaran diri bahwa kebahagiaan tidak harus ditunjukkan dengan suara paling keras, melainkan dengan sikap yang tetap menghargai lingkungan sekitar. Kedua, peran tokoh masyarakat, aparat desa, dan panitia hajatan menjadi krusial dalam mengatur batas waktu serta volume musik agar tidak mengganggu warga lain. Ketiga, pemerintah daerah perlu memperkuat sosialisasi aturan tentang ketertiban umum dengan pendekatan persuasif dan edukatif, bukan sekadar ancaman hukuman. Langkah-langkah kecil ini, bila dilakukan bersama, akan menumbuhkan budaya tenggang rasa yang menjadi pondasi ketenteraman sosial di tengah masyarakat yang majemuk.
Pada akhirnya, kebebasan berekspresi melalui musik haruslah berjalan seiring dengan etika sosial yang menjaga keseimbangan hidup bersama. Tidak ada yang salah dengan menikmati hiburan, tetapi ketika kebebasan itu melampaui batas dan melukai ketenangan orang lain, maka di situlah nurani perlu berbicara. Musik yang terlalu keras bukan hanya menutup telinga, tetapi juga menutup kepekaan hati terhadap sesama.
Karena itu, penting bagi setiap orang untuk belajar mendengarkan bukan hanya suara musik, tetapi juga suara hati nurani sosial yang berbisik lembut agar kita tidak kehilangan rasa empati. Mari belajar menurunkan volume ego agar harmoni sosial bisa terdengar kembali. Sebab, musik sejati bukan yang paling keras terdengar, tetapi yang paling lembut dirasakan oleh hati sesama.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Lihat Humaniora Selengkapnya