Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah menghela dunia masuki pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran masuki dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membaca Nurani Wakil Rakyat: Memihak atau Memalak Rakyat?

9 Oktober 2025   06:00 Diperbarui: 8 Oktober 2025   19:46 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inputgambar: sabjemind.weebly.com

MEMBACA NURANI WAKIL RAKYAT: MEMIHAK ATAU MEMALAK RAKYAT?

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Dalam sebuah opini yang menggugah, Marsel Robot, seorang dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Undana, menulis dalam judul opini: Surat Kertas Hitam Buat Gubernur dan DPRD Provinsi NTT. Ia mengawali tulisannya dengan sapaan: "Bapak Gubernur, Bapak dan Ibu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur yang saya hormati. Saya menulis surat ini di atas kertas hitam. Maaf dan barangkali, Bapak dan Ibu sulit membaca surat ini, karena tidak kelihatan huruf-hurufnya. Lagi pula, ditulis dengan tinta hitam. Namun, jikalau Bapak Gubernur, Bapak dan Ibu Dewan membaca dengan mata hati, maka huruf-huruf di atas kertas hitam itu terlihat sangat terang. Bahkan, makin lama Anda membaca, kata-kata, frasa-frasa, dan kalimat-kalimat surat ini bergegas meninggalkan kertas dan berduyun menuju aula hati Bapak dan Ibu." (https://gardaindonesia.id/2025/09/surat-kertas-hitam-buat-gubernur-dan-dprd-provinsi-ntt).

Surat yang disebut Marsel sebagai "kertas hitam" adalah metafora tentang gelapnya kebijakan yang ditandatangani Gubernur melalui Pergub Nomor 22 Tahun 2025, yang memberikan kenaikan fantastis tunjangan perumahan dan transportasi bagi anggota DPRD NTT. Bayangkan, dalam pasal 3 ayat 3, disebutkan bahwa setiap anggota DPRD akan menerima tunjangan perumahan Rp23.600.000 per bulan, naik dari Rp12.500.000 pada tahun sebelumnya (Pergub No. 72 Tahun 2024). Itu berarti, dalam sebulan saja, negara harus menggelontorkan Rp1.534.000.000 hanya untuk 65 orang anggota dewan. Dalam suratnya, Marsel menegaskan bahwa setiap kata dalam diktum Pergub itu bagaikan ayat-ayat pilu yang menyayat rasa keadilan rakyat kecil.

Input gambar: youtube.com
Input gambar: youtube.com
Di titik inilah kita diajak membuka lensa nurani wakil rakyat. Sejatinya, keberadaan gubernur dan anggota DPRD adalah untuk memihak rakyat yang mereka wakili, bukan justru menambah beban rakyat dengan keputusan yang menguntungkan diri sendiri. Nurani wakil rakyat seharusnya menjadi mercusuar yang menerangi jalan kebijakan, memastikan bahwa setiap regulasi lahir dari kesadaran moral untuk mensejahterakan rakyat, bukan mempertebal kantong pribadi atau kelompok. Namun, ketika kebijakan yang lahir justru menghadirkan kegelapan keadilan, kita patut bertanya: apakah nurani masih hidup di balik palu sidang dan tanda tangan peraturan itu?

Pada hakikatnya wajah ideal wakil rakyat adalah cermin dari suara rakyat yang menitipkan harapan dalam setiap pemilu. Mereka seharusnya menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan aspirasi, menjaga keadilan, dan memastikan kebijakan yang lahir berpihak pada kepentingan masyarakat luas, bukan segelintir elite. Makna "memihak rakyat" tak bisa dipersempit hanya pada jargon politik atau pidato di ruang sidang, melainkan diwujudkan dalam kehadiran nyata sebagai penyambung suara, pelayan, sekaligus pengawal kesejahteraan rakyat. Wakil rakyat yang ideal adalah mereka yang rela turun ke pelosok desa untuk mendengar keluhan petani tentang harga pupuk yang melambung, mendengar suara nelayan yang kesulitan memperoleh solar subsidi, atau memperjuangkan guru-guru honorer agar memperoleh penghidupan yang layak.

Contoh konkret bisa kita temui dalam sosok-sosok wakil rakyat yang memilih hidup sederhana, menolak fasilitas berlebihan, dan lebih memilih membuka ruang dialog langsung dengan konstituen daripada mengunci diri di balik pagar tinggi kantor dewan. Mereka adalah wakil yang menolak melihat rakyat sebagai angka statistik, tetapi sebagai manusia dengan wajah, cerita, dan perjuangannya. Inilah wajah ideal wakil rakyat: hadir bukan untuk memalak, melainkan menjaga nurani agar tetap menyala sebagai pelita yang menerangi jalan kebijakan.

Input gambar: youtube.com
Input gambar: youtube.com
Namun, di balik wajah ideal yang diidamkan rakyat, ada pula wajah gelap wakil rakyat yang kerap mencoreng marwah demokrasi. Fenomena korupsi, suap, dan praktik politik transaksional telah menjelma menjadi noda yang melekat di ruang-ruang kekuasaan. Kursi legislatif yang seharusnya menjadi ruang mulia untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, sering kali berubah menjadi arena tawar-menawar kepentingan pribadi dan kelompok. Penyelewengan jabatan pun menjelma sebagai "alat pemalakan" terhadap rakyat, baik dalam bentuk kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir elite maupun pungutan terselubung yang semakin membebani mereka yang sudah susah.

Ketika kebijakan publik dijadikan komoditas yang bisa diperjualbelikan, maka demokrasi kehilangan jiwanya, dan rakyat yang mestinya dilindungi justru menjadi korban. Dampaknya begitu nyata: kepercayaan rakyat terhadap wakilnya perlahan luntur, jurang ketidakpercayaan semakin melebar, dan pada akhirnya, rakyat merasa semakin jauh dari pemimpin yang semestinya mereka sebut sebagai "wakil". Wajah gelap ini bukan sekadar potret personal, melainkan gejala sistemik yang jika dibiarkan akan merusak fondasi kepercayaan sosial serta menciptakan generasi baru politisi yang lebih sibuk memelihara kepentingan sendiri ketimbang menjaga martabat rakyat.

Input gambar: arahntt.com
Input gambar: arahntt.com
Pada akhirnya, titik penentu dari wajah seorang wakil rakyat bukan terletak pada gelar, jabatan, atau besarnya tunjangan, melainkan pada nurani yang dipelihara. Nurani adalah kompas batin yang seharusnya membimbing seorang wakil rakyat untuk memilih jalan memihak atau jalan memalak. Namun, dalam praktiknya, nurani sering kali kalah oleh godaan kekuasaan, tekanan kepentingan kelompok, dan gemerlap fasilitas duniawi yang meninabobokan akal sehat. Banyak wakil rakyat yang awalnya datang dengan idealisme, membawa janji untuk mengabdi kepada rakyat, justru kehilangan arah ketika dihadapkan pada tawaran proyek, amplop, atau kebijakan yang menguntungkan segelintir orang.

Di sinilah pentingnya keberanian moral, yakni kemampuan untuk berkata "tidak" pada godaan pemalakan, dan keberanian untuk tetap setia berpihak pada rakyat meski risikonya menghadapi arus besar kekuasaan. Hanya dengan nurani yang jernih dan keberanian moral yang teguh, seorang wakil rakyat bisa menjaga martabat dirinya sekaligus martabat demokrasi, sehingga kehadirannya di parlemen benar-benar menjadi cahaya, bukan bayangan yang menakutkan bagi rakyatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun