MEMULIAKAN GURU: ANTARA WACANA, SEREMONI, DAN REALITA
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Pendidikan adalah fondasi utama dalam membangun sebuah bangsa yang beradab dan maju. Di balik keberhasilan sistem pendidikan, terdapat sosok guru yang selama ini menjadi pilar utama pembentuk karakter, pengetahuan, dan masa depan generasi. Hampir setiap pidato kenegaraan, diskusi publik, bahkan kebijakan strategis selalu menyebut guru sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa" dan "penentu masa depan bangsa." Namun, di balik segala pujian dan slogan yang menghiasi ruang-ruang publik, muncul pertanyaan krusial yang mengusik nurani: apakah semua itu benar-benar mencerminkan penghormatan yang nyata, ataukah hanya gema retorika yang merdu tapi kosong makna?
Janji-janji tentang peningkatan kesejahteraan, pelatihan berkelanjutan, dan jaminan perlindungan profesi kerap kali hanya berhenti di meja konferensi dan naskah sambutan. Sementara itu, di lapangan, banyak guru masih berjuang dengan realitas pahit: honor di bawah standar, status yang tak kunjung jelas, hingga minimnya dukungan dalam menjalankan tugas di tengah tantangan zaman yang terus berubah. Ironisnya, tuntutan profesionalisme guru terus meningkat, sementara pemenuhan hak mereka justru berjalan tertatih-tatih.
Inilah jurang menganga antara retorika yang megah dan komitmen yang lemah. Jika negara benar-benar menginginkan kemajuan pendidikan, maka memuliakan guru tidak cukup dalam bentuk narasi elok semata, melainkan harus ditunjukkan melalui kebijakan nyata yang berkelanjutan dan berpihak.
Seremoni memang membungkus penghormatan dengan keindahan simbolik, tetapi tanpa perbaikan kebijakan dan pemenuhan hak, penghormatan itu tak ubahnya dekorasi sementara yang hambar di dasar. Memuliakan guru seharusnya tidak berhenti di peringatan tahunan, tetapi menyentuh hal-hal esensial yang mereka butuhkan untuk mengabdi dengan layak dan bermartabat.
Ironisnya, di tengah tuntutan profesionalisme dan digitalisasi pembelajaran, mereka justru dibiarkan bertarung sendirian tanpa pelatihan memadai atau fasilitas yang memadai. Realita ini menunjukkan bahwa di balik wajah manis dunia pendidikan, para guru masih menjadi pejuang tunggal yang sering kali tak terlihat.
Sudah saatnya penghormatan terhadap guru tidak lagi berhenti pada seremoni dan slogan, melainkan bergerak menuju aksi nyata yang menyentuh kehidupan mereka secara langsung. Jika pendidikan ingin benar-benar maju, maka negara harus menunjukkan keseriusan dengan membenahi kebijakan yang berpihak pada guru secara sistemik dan berkelanjutan.