Seorang Majus yang biasanya paling lantang kini terlihat lesu, menunduk sambil berkata lirih, "Kalau terus dipertahankan, kita bisa jatuh bersama Markus. Nama kita ikut tercemar, jabatan kita pun bisa terancam." Sementara itu, di luar tembok rapat mereka, rakyat tak kunjung diam. Sudah tiga hari berturut-turut massa memenuhi depan rumah aparat keamanan, meneriakkan tuntutan dengan suara lantang. "Bebaskan Mus! Bebaskan Mus!" seru mereka tanpa lelah. Panas terik siang dan dingin malam tidak memadamkan semangat, mereka tetap bertahan, membentangkan spanduk, menyalakan obor, dan terus berorasi sampai tuntutan mereka dipenuhi.
Dalam suang jeruji, di ruang sempit yang dingin, Mus duduk dengan wajah letih, menunggu kabar persidangan yang entah kapan digelar. "Mus, sabarlah," ucap seorang sahabat yang diizinkan menjenguk, matanya berkaca-kaca. Mus menatapnya dengan senyum tipis, "Aku tidak takut hukuman, aku hanya takut jika suara kita padam."
Di luar sana, keluarga, sahabat, dan kenalannya tidak tinggal diam. Mereka menggelar doa bersama di  desa, menyalakan lilin, dan saling berpegangan tangan dalam keyakinan bahwa Mus tidak bersalah. "Mus bukan kriminal," kata ibunya dengan suara bergetar. "Ia hanya ingin warga punya jalan ke pantai untuk mencari hidup." Kalimat itu menggema di hati semua yang hadir, menjadi pengikat tekad bahwa perjuangan Mus adalah perjuangan mereka juga.
Dengan mata yang agak sayu namun tetap berkilau, Mus menatap sahabatnya yang duduk di seberang jeruji besi. Bibirnya mengukir senyum tenang, seakan luka dan penat tak mampu mengikis semangatnya. "Sampaikan pada mereka," ucap Mus pelan namun penuh keyakinan, "Aku hanyalah bagian kecil dari jerit kita semua. Pantai itu masih berpagar, hotel masih berdiri, tapi sekarang kita tidak lagi sendirian. Suara kita tak bisa dipasung." Sahabatnya terdiam, air mata menetes tanpa disadari.
Mus pun melanjutkan kalimatnya, "Ingatlah, jeritan kebenaran selalu menemukan jalan. Biar tubuhku terkunci di sini, tapi roh perjuangan tetap bebas bersama kalian." Kata-kata itu mengendap di dada sahabatnya, menjadi bara yang memastikan api perjuangan tak akan padam meski satu orang ditawan. Sahabat Mus kembali dan mereka melakukan pertemuan bersama menghadapi persoalan tersebut. Â Dalam pertemuan itu, seorang ibu tua berdiri menimpali dengan mata berkaca-kaca, "Semoga perjuangan Mus tidak sia-sia, semoga pengorbanannya membuahkan hasil bagi kita semua."
Mendengar suara ibu tua tersebut, suasana hening sejenak. Lalu seorang sahabat Mus berdiri dan berkata, "Kita harus terus berjalan. Mus sudah menanam benih, dan kita yang akan merawatnya sampai berbuah. Suatu hari nanti, pagar ini akan runtuh, pantai akan terbuka, dan anak cucu kita akan tahu bahwa ada seorang Mus yang berani menantang ketidakadilan demi hidup orang banyak." Semua yang hadir mengangguk, seakan janji baru terucap, doa dan tekad melebur menjadi satu.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI