KETIKA PETISI DAN JASA MENANTANG RASIONALITAS KEADILAN HUKUM
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Membaca ulasan pandangan R. Hady Syahputra Tambunan atas sebuah artikel yang telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kuliah Gratis Dialektika Filsafat Hukum: Debat R. Hady vs Blasius Mengkaka (Seorang Guru Pendukung Petisi Pembatalan PTDH Kompol Cosmas Kaju Gae)" seperti menyaksikan sebuah ruang dialektika yang hidup, di mana gagasan-gagasan hukum tidak berhenti pada teks peraturan, melainkan terus diuji dalam forum publik.
Dalam pandangannya, R. Hady Syahputra Tambunan merumuskan empat poin problematis dari perdebatan tersebut, namun saya tertarik menyoroti dua poin, yakni soal petisi dan jasa. Petisi merepresentasikan suara kolektif publik yang bisa menjadi tekanan moral bagi lembaga hukum, sementara jasa berkaitan dengan rekam jejak pengabdian seseorang yang kerap dijadikan pertimbangan dalam melihat persoalan hukum.
Rasionalitas hukum merupakan pilar keadilan, menegaskan bahwa hukum sejatinya harus berlandaskan logika yang konsisten, argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan, serta bebas dari intervensi subjektif yang menyesatkan. Hukum yang rasional tidak hanya berfungsi sebagai alat pengatur, tetapi juga sebagai penuntun bagi masyarakat untuk memahami batas antara hak dan kewajiban. Di sinilah letak hukum sebagai akal sehat yang diformulasikan secara tertulis agar tidak terjebak pada kehendak sesaat maupun tekanan mayoritas. Tanpa rasionalitas, hukum kehilangan pijakannya, berubah menjadi instrumen kekuasaan yang rawan diselewengkan dan menjauh dari tujuan utamanya, yaitu menghadirkan keadilan yang tegak dan beradab.
Suara publik dalam bentuk petisi kerap dipahami sebagai manifestasi demokrasi, di mana masyarakat menyuarakan aspirasi kolektifnya untuk memengaruhi arah kebijakan maupun keputusan hukum. Dalam praktiknya, kekuatan sebuah petisi sering kali diukur dari jumlah tanda tangan yang berhasil dikumpulkan, seolah angka tersebut menjadi legitimasi moral bahwa suara mayoritas layak didengar. Tidak dapat dipungkiri, besarnya dukungan dapat membentuk opini publik bahkan memberi tekanan nyata pada lembaga hukum. Namun di titik inilah muncul dilema mendasar: apakah suara mayoritas otomatis berarti benar, ataukah ia hanya cerminan emosi sesaat yang belum tentu sejalan dengan prinsip keadilan hakiki.
Dalam konteks ini memunculkan pertemuan tiga dimensi: Rasionalitas, Petisi, dan Jasa yang menempatkan hukum pada posisi dilematis sekaligus reflektif. Hukum ditantang untuk menimbang tiga sisi yang berbeda arah namun saling memengaruhi. Rasionalitas menuntut konsistensi logika dan kepastian aturan, sementara petisi menghadirkan suara rakyat yang bisa menjadi tekanan moral sekaligus politis, dan jasa menawarkan nilai pengabdian yang kerap dijadikan dasar pertimbangan kemanusiaan.
Hal ini dapat menimbulkan potensi konflik ketika angka petisi dijadikan ukuran kebenaran, sebab tekanan suara mayoritas bisa menekan rasionalitas hingga hukum kehilangan pijakan objektifnya. Di sisi lain, jasa yang dijadikan alasan pembenar juga berpotensi mengaburkan keadilan karena membuka ruang bagi pengecualian yang mudah disalahgunakan. Oleh karena itu, keadilan sejati hanya mungkin tercapai bila hukum tetap menjaga objektivitasnya, tidak terombang-ambing oleh suara mayoritas maupun terlena oleh jasa, tetapi berdiri tegak pada kebenaran yang berpihak pada nurani.
Ada beberapa poin penting yang patut dijadikan refleksi mendalam agar keadilan hukum tetap berdiri tegak di tengah tarik-menarik kepentingan, suara mayoritas, maupun penghormatan terhadap jasa. Pertama, hukum wajib berdiri kokoh di atas rasionalitas agar logika dan kepastian aturan menjadi pijakan yang jelas bagi masyarakat. Kedua, petisi memang bagian dari demokrasi, namun tidak boleh dijadikan ukuran tunggal dalam menentukan keputusan hukum. Ketiga, jasa seseorang pantas dihargai secara moral, tetapi tidak bisa dijadikan tameng untuk menghapus kewajiban mempertanggungjawabkan kesalahan. Keempat, prinsip objektivitas harus dijaga agar keputusan hukum tetap adil tanpa memandang siapa pelaku maupun seberapa kuat tekanan suara publik. Kelima, hukum harus dirawat dengan nurani sehingga ia bukan sekadar teks kaku, melainkan sarana yang menegakkan martabat manusia serta menghadirkan keadilan sosial. Dengan refleksi ini, hukum diharapkan tidak kehilangan jati dirinya sebagai akal yang dituliskan dan tetap berjiwa manusiawi dalam menunaikan tugasnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI