Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah menghela dunia masuki pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran masuki dunia

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Ketika Petisi dan Jasa Menantang Rasionalitas Keadilan Hukum

9 September 2025   04:30 Diperbarui: 8 September 2025   19:34 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input gambar: vi.pngtree.com

KETIKA PETISI DAN JASA MENANTANG RASIONALITAS KEADILAN HUKUM

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Membaca ulasan pandangan R. Hady Syahputra Tambunan atas sebuah artikel yang telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kuliah Gratis Dialektika Filsafat Hukum: Debat R. Hady vs Blasius Mengkaka (Seorang Guru Pendukung Petisi Pembatalan PTDH Kompol Cosmas Kaju Gae)" seperti menyaksikan sebuah ruang dialektika yang hidup, di mana gagasan-gagasan hukum tidak berhenti pada teks peraturan, melainkan terus diuji dalam forum publik.

Dalam pandangannya, R. Hady Syahputra Tambunan merumuskan empat poin problematis dari perdebatan tersebut, namun saya tertarik menyoroti dua poin, yakni soal petisi dan jasa. Petisi merepresentasikan suara kolektif publik yang bisa menjadi tekanan moral bagi lembaga hukum, sementara jasa berkaitan dengan rekam jejak pengabdian seseorang yang kerap dijadikan pertimbangan dalam melihat persoalan hukum.

Input gambar: pelajaran.co.id
Input gambar: pelajaran.co.id
Pandangan tersebut memantik saya untuk mengulas dalam judul topik "Ketika Petisi dan Jasa Menantang Rasionalitas Keadilan Hukum" yang dibingkai dalam pertanyaan reflektif menggugah: sejauh mana suara publik dalam bentuk petisi dan jasa seseorang dapat dijadikan dasar pertimbangan tanpa mereduksi keadilan? Apakah hukum akan tetap berdiri tegak sebagai Lex Est Ratio Scripta, yakni hukum sebagai akal (rasio) yang dituliskan, ataukah ia akan bergeser menjadi sekadar ruang kompromi antara tekanan publik dan penghormatan terhadap jasa? Pertanyaan ini penting karena di dalamnya terselip ujian bagi marwah hukum: apakah tetap setia pada rasionalitasnya atau tergoda oleh simpati kolektif dan romantisme jasa yang bisa saja menyingkirkan objektivitas.

Rasionalitas hukum merupakan pilar keadilan, menegaskan bahwa hukum sejatinya harus berlandaskan logika yang konsisten, argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan, serta bebas dari intervensi subjektif yang menyesatkan. Hukum yang rasional tidak hanya berfungsi sebagai alat pengatur, tetapi juga sebagai penuntun bagi masyarakat untuk memahami batas antara hak dan kewajiban. Di sinilah letak hukum sebagai akal sehat yang diformulasikan secara tertulis agar tidak terjebak pada kehendak sesaat maupun tekanan mayoritas. Tanpa rasionalitas, hukum kehilangan pijakannya, berubah menjadi instrumen kekuasaan yang rawan diselewengkan dan menjauh dari tujuan utamanya, yaitu menghadirkan keadilan yang tegak dan beradab.

Suara publik dalam bentuk petisi kerap dipahami sebagai manifestasi demokrasi, di mana masyarakat menyuarakan aspirasi kolektifnya untuk memengaruhi arah kebijakan maupun keputusan hukum. Dalam praktiknya, kekuatan sebuah petisi sering kali diukur dari jumlah tanda tangan yang berhasil dikumpulkan, seolah angka tersebut menjadi legitimasi moral bahwa suara mayoritas layak didengar. Tidak dapat dipungkiri, besarnya dukungan dapat membentuk opini publik bahkan memberi tekanan nyata pada lembaga hukum. Namun di titik inilah muncul dilema mendasar: apakah suara mayoritas otomatis berarti benar, ataukah ia hanya cerminan emosi sesaat yang belum tentu sejalan dengan prinsip keadilan hakiki.

Input gambar: ntvnews.id
Input gambar: ntvnews.id
Sementara itu, nilai jasa seseorang yang terekam atas pengabdian sering menjadi pertimbangan moral yang kerap dijadikan alasan dalam proses hukum, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan individu dengan kontribusi besar bagi negara atau masyarakat. Tradisi hukum mengenal bentuk penghormatan ini, misalnya dalam pemberian grasi atau amnesti. Tetapi pertanyaan filosofis tetap menggema: apakah jasa masa lalu berhak menghapus kesalahan masa kini? Di satu sisi, penghargaan terhadap jasa menjaga rasa kemanusiaan hukum, namun di sisi lain, ada risiko ketika jasa dijadikan tameng untuk menghindari pertanggungjawaban. Jika itu terjadi, hukum kehilangan ketegasan rasionalnya dan bergeser menjadi kompromi moral yang tidak selalu selaras dengan keadilan.

Dalam konteks ini memunculkan pertemuan tiga dimensi: Rasionalitas, Petisi, dan Jasa yang menempatkan hukum pada posisi dilematis sekaligus reflektif. Hukum ditantang untuk menimbang tiga sisi yang berbeda arah namun saling memengaruhi. Rasionalitas menuntut konsistensi logika dan kepastian aturan, sementara petisi menghadirkan suara rakyat yang bisa menjadi tekanan moral sekaligus politis, dan jasa menawarkan nilai pengabdian yang kerap dijadikan dasar pertimbangan kemanusiaan.

Hal ini dapat menimbulkan potensi konflik ketika angka petisi dijadikan ukuran kebenaran, sebab tekanan suara mayoritas bisa menekan rasionalitas hingga hukum kehilangan pijakan objektifnya. Di sisi lain, jasa yang dijadikan alasan pembenar juga berpotensi mengaburkan keadilan karena membuka ruang bagi pengecualian yang mudah disalahgunakan. Oleh karena itu, keadilan sejati hanya mungkin tercapai bila hukum tetap menjaga objektivitasnya, tidak terombang-ambing oleh suara mayoritas maupun terlena oleh jasa, tetapi berdiri tegak pada kebenaran yang berpihak pada nurani.

Input gambar: trends.tribunnews.com
Input gambar: trends.tribunnews.com
Terhadap pertemuan tiga dimensi antara rasionalitas, petisi, dan jasa tersebut, muncul perspektif yang berkaitan dari seorang tokoh hukum Indonesia. Menurut Mahfud MD, melalui pemikirannya tentang rule of law (supremasi hukum) dalam konteks Indonesia, menegaskan bahwa hukum harus tegak objektif tanpa tunduk pada tekanan suara mayoritas (petisi) maupun pengaruh kepentingan sempit atas nama jasa. Baginya, hukum adalah pilar demokrasi yang menjamin keadilan setara bagi setiap warga negara. Pemikiran ini menunjukkan bahwa keadilan hukum hanya akan tegak bila rasionalitas tetap menjadi fondasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun