Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah menghela dunia masuki pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran masuki dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saat Tugas Negara Dijalankan, Kabar Duka Menyayat Perasaan

27 Agustus 2025   11:18 Diperbarui: 27 Agustus 2025   11:18 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input gambar: tribunmedan.com, paskibra Kevin Silaban

SAAT TUGAS NEGARA DIJALANKAN, KABAR DUKA MENYAYAT PERASAAN

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Input gambar: sripoku.com, paskibra Rahmat Putra Maulana
Input gambar: sripoku.com, paskibra Rahmat Putra Maulana
Setiap tanggal 17 Agustus, upacara peringatan kemerdekaan selalu menjadi momen yang penuh kebanggaan. Di lapangan upacara, pasukan pengibar bendera atau Paskibra tampil tegap, berbaris rapi, dan mengibarkan Merah Putih dengan penuh kehormatan. Mereka adalah putra-putri terbaik bangsa, dipilih melalui proses ketat yang menuntut disiplin tinggi, kekuatan fisik, dan mental baja. Namun di balik gemerlap sorot mata publik, tak banyak yang tahu bahwa di antara langkah tegap itu tersimpan kisah pilu yang jarang terungkap. Tahun 2025 ini, beberapa anggota Paskibra harus menjalankan tugas negara di tengah kabar duka yang begitu mendalam: orangtua mereka berpulang ke hadirat Ilahi tepat ketika sang anak sedang mengemban amanat negara.

Kisah duka ini nyata dialami oleh tiga anggota Paskibra dari daerah berbeda. Rahmat Putra Maulana, Paskibra Kota Tangerang Selatan, tetap bertugas meski ayahnya meninggal dunia menjelang upacara. Kevin Silaban dari Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, mengibarkan bendera dengan wajah tegar, padahal kabar kepergian ibunya baru saja diterima. Sementara itu, seorang paskibra putri dari Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, melaksanakan tugas dengan hati yang pilu karena sang ayah berpulang di hari yang sama. Di balik senyum dan langkah tegap mereka, tersimpan kesedihan mendalam yang hanya bisa diimbangi oleh dukungan pelatih, rekan satu pasukan, dan pihak sekolah yang terus menguatkan hingga prosesi berakhir.

Bayangkan berdiri tegak di bawah terik matahari, mengenakan seragam kebanggaan, sementara dada terasa sesak karena kehilangan tak terperi. Tidak ada kesempatan untuk menangis, tidak ada waktu untuk meratap hanya ada tugas yang harus dituntaskan demi merah putih. Di satu sisi, mereka harus memberi hormat kepada bendera, di sisi lain hati mereka hancur melepas orangtua yang menjadi sumber semangat hidup. Inilah potret keteguhan jiwa anak-anak Paskibra tahun 2025: tetap tersenyum di depan bangsa, meski air mata deras mengalir di dalam hati.

Dari kisah ini tampak jelas betapa dalamnya makna sebuah pengabdian. Anak-anak Paskibra yang kehilangan orangtua saat bertugas menunjukkan bahwa kehormatan negara dapat berdiri di atas pengorbanan pribadi. Mereka rela menahan kesedihan demi memastikan Sang Merah Putih berkibar sempurna, sebuah wujud cinta tanah air yang nyata, bukan sekadar slogan. Keteguhan mental mereka jauh melampaui usia muda, karena di saat sebaya mereka masih mencari jati diri, mereka justru telah membuktikan kedisiplinan dan daya juang yang luar biasa. Kisah ini menyampaikan pesan kuat: mencintai bangsa berarti berani menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi, bahkan di saat hati paling rapuh sekalipun.

Kisah mengharukan anak-anak Paskibra yang tetap menjalankan tugas di tengah kabar duka menuai gelombang simpati dan apresiasi luas dari berbagai kalangan. Pemerintah memberikan penghargaan atas keteguhan mereka, sementara masyarakat ramai menyampaikan dukungan melalui media sosial, doa, dan kunjungan langsung kepada keluarga yang berduka. Tokoh-tokoh pendidikan menilai peristiwa ini sebagai bukti nyata keberhasilan pembinaan karakter, namun sekaligus mengingatkan bahwa generasi muda membutuhkan perhatian lebih, terutama dalam hal pendampingan psikologis.

Seruan pun bergema agar negara tidak hanya bangga pada prestasi lahiriah, tetapi juga memberi perlindungan emosional dan kesejahteraan yang memadai bagi mereka yang mengemban tugas mulia di usia belia. Dukungan moral ini diharapkan menjadi langkah awal untuk memperkuat sistem pembinaan yang lebih manusiawi, agar semangat kebangsaan mereka terus terjaga tanpa harus mengorbankan kesehatan jiwa.

Kisah ini menjadi pengingat bahwa tugas negara akan selalu berjalan, meski air mata tak mungkin terbendung. Di balik langkah tegap dan senyum gagah anggota Paskibra, ada hati yang merintih dan jiwa yang sedang berjuang melawan duka. Kita diajak untuk tidak sekadar berbangga melihat bendera berkibar megah, tetapi juga menghargai setiap pengorbanan generasi muda yang mengabdikan diri bagi bangsa, bahkan ketika pribadi mereka diuji dengan kehilangan terbesar.

Semoga anak-anak Paskibra yang harus melepas orangtua di tengah tugas mulia ini diberi ketabahan dan kekuatan yang berlimpah. Harapan kita, kisah mereka menjadi sumber inspirasi dan teladan tentang semangat kebangsaan yang tulus, keberanian yang tak tergoyahkan, serta cinta tanah air yang menembus batas kepentingan pribadi.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun