Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah menghela dunia masuki pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran masuki dunia

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Meritokrasi di Birokrasi Atas Kehadiran TNI-Polri Menduduki Jabatan Sipil, Solusi atau Anomali?

14 Maret 2025   04:42 Diperbarui: 14 Maret 2025   04:42 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input gambar: instockphoto.com

MERITOKRASI DI BIROKRASI ATAS KEHADIRAN TNI-POLRI MENDUDUKI JABATAN SIPIL, SOLUSI ATAU ANOMALI?

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Input gambar: liputan6.com
Input gambar: liputan6.com
Memahami Meritokrasi

Meritokrasi merupakan prinsip utama dalam birokrasi modern yang menekankan seleksi dan promosi berdasarkan kompetensi, kinerja, serta kapabilitas individu. Sistem ini bertujuan untuk menciptakan pemerintahan yang profesional, efisien, dan berorientasi pada kepentingan publik. Namun, dalam konteks Indonesia, sistem meritokrasi kerap menghadapi tantangan ketika menyangkut keterlibatan unsur militer dan kepolisian dalam jabatan sipil.  Seiring dengan kebijakan yang memungkinkan perwira aktif maupun purnawirawan TNI dan Polri menduduki posisi strategis di berbagai lembaga sipil, muncul perdebatan mengenai apakah hal ini merupakan solusi bagi peningkatan efektivitas birokrasi atau justru menjadi anomali yang bertentangan dengan semangat meritokrasi. Pemerintah beralasan bahwa penempatan TNI-Polri dalam jabatan sipil dapat memperkuat kepemimpinan, disiplin, serta ketegasan dalam pengelolaan pemerintahan. Namun, di sisi lain, banyak pihak yang menilai bahwa langkah ini dapat menghambat regenerasi pegawai sipil yang berkarier melalui jalur birokrasi konvensional, sehingga menciptakan ketimpangan dalam proses seleksi berbasis kompetensi.

Selain itu, masuknya unsur militer dan kepolisian dalam birokrasi sipil juga dikhawatirkan berpotensi memperlemah profesionalisme, mengaburkan batas antara ranah sipil dan militer, serta menimbulkan risiko politisasi institusi pemerintahan. Oleh karena itu, perdebatan mengenai keberadaan TNI-Polri dalam jabatan sipil harus dikaji secara mendalam, dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan negara, prinsip meritokrasi, serta dampaknya terhadap efektivitas birokrasi di Indonesia.

Sistem Meritokrasi dalam Birokrasi

Meritokrasi dalam birokrasi adalah sistem yang menekankan bahwa pengangkatan, promosi, dan penempatan pegawai harus didasarkan pada kemampuan, kompetensi, serta prestasi kerja, bukan pada faktor lain seperti kedekatan politik, hubungan keluarga, atau latar belakang institusi asal. Prinsip ini bertujuan untuk menciptakan birokrasi yang profesional, efisien, dan akuntabel dalam melayani kepentingan publik.

Dalam sistem meritokrasi yang ideal, setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk meraih posisi strategis asalkan mereka memenuhi standar yang telah ditetapkan, baik dari segi pendidikan, pengalaman, maupun keterampilan yang relevan dengan jabatan yang dilamar. Dengan demikian, meritokrasi dapat mencegah praktik nepotisme, kolusi, dan politik balas budi yang kerap menjadi hambatan dalam menciptakan birokrasi yang bersih dan efektif.

Di Indonesia, penerapan meritokrasi dalam birokrasi masih menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah adanya kebijakan yang membuka peluang bagi perwira aktif maupun purnawirawan TNI dan Polri untuk menduduki jabatan sipil. Kebijakan ini memunculkan perdebatan karena di satu sisi, pemerintah beralasan bahwa kehadiran personel militer dan kepolisian dalam birokrasi dapat membawa disiplin, loyalitas, serta kepemimpinan yang kuat. Namun, di sisi lain, banyak pihak menilai bahwa hal ini justru dapat menghambat perkembangan aparatur sipil negara (ASN) yang telah meniti karier dari bawah melalui jalur meritokrasi.

Selain itu, meritokrasi dalam birokrasi tidak hanya berkaitan dengan mekanisme seleksi dan promosi, tetapi juga dengan bagaimana suatu sistem memberikan penghargaan dan insentif kepada individu yang memiliki kinerja terbaik. Tanpa meritokrasi yang kuat, birokrasi dapat menjadi tempat di mana individu yang kurang kompeten menduduki posisi strategis hanya karena afiliasi politik atau hubungan dengan penguasa. Akibatnya, kualitas pelayanan publik bisa menurun, dan kebijakan yang dihasilkan tidak sepenuhnya berbasis pada kepentingan masyarakat.

Oleh karena itu, sistem meritokrasi harus terus diperkuat melalui mekanisme rekrutmen dan promosi yang transparan, berbasis pada kompetensi yang terukur, serta diawasi oleh lembaga independen untuk mencegah intervensi politik atau kepentingan kelompok tertentu. Dengan demikian, birokrasi dapat berfungsi sebagaimana mestinya, yang menjadi pilar utama dalam pemerintahan yang profesional dan efektif.

Menelisik Pro dan Kontra Kehadiran TNI-Polri dalam Jabatan Sipil

Penempatan perwira TNI-Polri dalam jabatan sipil menimbulkan perdebatan panjang yang melibatkan berbagai kalangan, mulai dari akademisi, politisi, hingga masyarakat sipil. Para pendukung kebijakan ini berpendapat bahwa kehadiran TNI-Polri dalam birokrasi sipil dapat membawa dampak positif, terutama dalam hal kepemimpinan yang tegas, disiplin kerja yang tinggi, serta loyalitas yang kuat terhadap negara.

Dalam beberapa kasus, figur militer dan kepolisian dianggap mampu mempercepat reformasi birokrasi melalui pendekatan yang lebih struktural dan terorganisir. Mereka terbiasa bekerja dalam sistem yang hierarkis dan berorientasi pada tugas, sehingga dapat meningkatkan efektivitas kinerja birokrasi yang kerap dianggap lamban dan kurang responsif terhadap tuntutan pelayanan publik. Selain itu, dalam konteks keamanan dan ketertiban, keberadaan pejabat berlatar belakang TNI-Polri di sektor pemerintahan sipil juga dinilai dapat memperkuat sinergi antara lembaga-lembaga negara dalam menangani berbagai tantangan nasional, termasuk ancaman keamanan dan stabilitas politik.

Namun, di sisi lain, kritik terhadap kebijakan ini juga tidak kalah kuat. Banyak pihak yang menilai bahwa masuknya TNI-Polri ke dalam jabatan sipil berpotensi merusak prinsip meritokrasi dalam birokrasi pemerintahan. Para ASN yang telah menempuh jalur karier birokrasi berdasarkan kompetensi dan pengalaman bisa kehilangan kesempatan untuk naik jabatan karena posisi strategis diisi oleh perwira militer atau kepolisian. Birokrasi yang seharusnya berorientasi pada pelayanan publik yang humanis dan berbasis pada tata kelola yang demokratis dapat berubah menjadi lebih kaku dan otoriter jika terlalu banyak dipengaruhi oleh budaya kepemimpinan militer yang berorientasi pada komando dan kepatuhan mutlak.

Selain persoalan meritokrasi dan profesionalisme, aspek netralitas birokrasi juga menjadi sorotan. Salah satu prinsip utama dalam tata kelola pemerintahan yang baik adalah birokrasi yang netral dari kepentingan politik dan tidak mudah terpengaruh oleh kepentingan kelompok tertentu. Kehadiran figur militer atau kepolisian dalam jabatan sipil sering kali menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya politisasi birokrasi, terutama jika mereka memiliki kedekatan dengan kekuatan politik tertentu.

Meritokrasi Harus Dijaga

Birokrasi yang kuat lahir dari sistem yang adil, transparan, dan berbasis kompetensi. Meritokrasi harus dijaga sebagai fondasi agar setiap individu memiliki kesempatan yang setara dalam membangun negeri. Jika aturan dilonggarkan demi kepentingan tertentu, maka birokrasi akan kehilangan esensinya sebagai pilar pelayanan publik yang profesional.

Untuk menjaga keseimbangan antara meritokrasi dan kebutuhan strategis negara, pemerintah perlu menetapkan regulasi yang ketat dalam penempatan TNI-Polri di jabatan sipil. Seleksi harus tetap berbasis kompetensi dengan mekanisme yang transparan dan akuntabel agar tidak merugikan ASN yang berkarier melalui jalur birokrasi. Selain itu, batasan jabatan yang dapat diisi oleh personel TNI-Polri harus jelas dan hanya pada posisi yang memang membutuhkan keahlian khusus mereka, seperti bidang pertahanan, keamanan, atau penanggulangan bencana. Dengan demikian, kebijakan ini dapat berjalan tanpa mengorbankan profesionalisme birokrasi dan prinsip meritokrasi.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun