Menelisik Pro dan Kontra Kehadiran TNI-Polri dalam Jabatan Sipil
Penempatan perwira TNI-Polri dalam jabatan sipil menimbulkan perdebatan panjang yang melibatkan berbagai kalangan, mulai dari akademisi, politisi, hingga masyarakat sipil. Para pendukung kebijakan ini berpendapat bahwa kehadiran TNI-Polri dalam birokrasi sipil dapat membawa dampak positif, terutama dalam hal kepemimpinan yang tegas, disiplin kerja yang tinggi, serta loyalitas yang kuat terhadap negara.
Dalam beberapa kasus, figur militer dan kepolisian dianggap mampu mempercepat reformasi birokrasi melalui pendekatan yang lebih struktural dan terorganisir. Mereka terbiasa bekerja dalam sistem yang hierarkis dan berorientasi pada tugas, sehingga dapat meningkatkan efektivitas kinerja birokrasi yang kerap dianggap lamban dan kurang responsif terhadap tuntutan pelayanan publik. Selain itu, dalam konteks keamanan dan ketertiban, keberadaan pejabat berlatar belakang TNI-Polri di sektor pemerintahan sipil juga dinilai dapat memperkuat sinergi antara lembaga-lembaga negara dalam menangani berbagai tantangan nasional, termasuk ancaman keamanan dan stabilitas politik.
Namun, di sisi lain, kritik terhadap kebijakan ini juga tidak kalah kuat. Banyak pihak yang menilai bahwa masuknya TNI-Polri ke dalam jabatan sipil berpotensi merusak prinsip meritokrasi dalam birokrasi pemerintahan. Para ASN yang telah menempuh jalur karier birokrasi berdasarkan kompetensi dan pengalaman bisa kehilangan kesempatan untuk naik jabatan karena posisi strategis diisi oleh perwira militer atau kepolisian. Birokrasi yang seharusnya berorientasi pada pelayanan publik yang humanis dan berbasis pada tata kelola yang demokratis dapat berubah menjadi lebih kaku dan otoriter jika terlalu banyak dipengaruhi oleh budaya kepemimpinan militer yang berorientasi pada komando dan kepatuhan mutlak.
Selain persoalan meritokrasi dan profesionalisme, aspek netralitas birokrasi juga menjadi sorotan. Salah satu prinsip utama dalam tata kelola pemerintahan yang baik adalah birokrasi yang netral dari kepentingan politik dan tidak mudah terpengaruh oleh kepentingan kelompok tertentu. Kehadiran figur militer atau kepolisian dalam jabatan sipil sering kali menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya politisasi birokrasi, terutama jika mereka memiliki kedekatan dengan kekuatan politik tertentu.
Meritokrasi Harus Dijaga
Birokrasi yang kuat lahir dari sistem yang adil, transparan, dan berbasis kompetensi. Meritokrasi harus dijaga sebagai fondasi agar setiap individu memiliki kesempatan yang setara dalam membangun negeri. Jika aturan dilonggarkan demi kepentingan tertentu, maka birokrasi akan kehilangan esensinya sebagai pilar pelayanan publik yang profesional.
Untuk menjaga keseimbangan antara meritokrasi dan kebutuhan strategis negara, pemerintah perlu menetapkan regulasi yang ketat dalam penempatan TNI-Polri di jabatan sipil. Seleksi harus tetap berbasis kompetensi dengan mekanisme yang transparan dan akuntabel agar tidak merugikan ASN yang berkarier melalui jalur birokrasi. Selain itu, batasan jabatan yang dapat diisi oleh personel TNI-Polri harus jelas dan hanya pada posisi yang memang membutuhkan keahlian khusus mereka, seperti bidang pertahanan, keamanan, atau penanggulangan bencana. Dengan demikian, kebijakan ini dapat berjalan tanpa mengorbankan profesionalisme birokrasi dan prinsip meritokrasi.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI