Keempat, program MBG ini berkontribusi dalam mengurangi kesenjangan sosial antara anak-anak dari berbagai latar belakang ekonomi, sehingga mereka memiliki kesempatan yang lebih setara dalam memperoleh asupan gizi yang cukup.
Kelima, program MBG memiliki dampak sosial yang positif dalam membangun budaya makan sehat di kalangan anak-anak. Dengan terbiasa mengonsumsi makanan bergizi di sekolah, anak-anak akan lebih sadar akan pentingnya pola makan sehat dan dapat membawa kebiasaan tersebut ke lingkungan keluarga mereka. Jika program ini diintegrasikan dengan edukasi gizi, anak-anak tidak hanya menerima makanan bergizi, tetapi juga memahami bagaimana memilih dan mengonsumsi makanan yang sehat secara mandiri.
Meskipun Program MBG memiliki tujuan mulia dalam meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan anak-anak, implementasinya tidak terlepas dari berbagai kritik dan tantangan yang perlu dipertimbangkan. Salah satu kritik utama adalah potensi pemborosan anggaran dan penyalahgunaan dana dalam pelaksanaannya. Program ini membutuhkan alokasi dana yang besar, sehingga jika tidak dikelola dengan baik, dapat membuka celah bagi korupsi, mark-up harga bahan pangan, serta ketidakefisienan dalam distribusi makanan. Kasus penyalahgunaan anggaran dalam program bantuan sosial di masa lalu menjadi contoh nyata bagaimana program berbasis bantuan sering kali tidak berjalan sesuai harapan.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa anggaran yang digunakan untuk MBG bisa dialihkan ke sektor lain yang lebih membutuhkan, seperti peningkatan fasilitas pendidikan atau program pelatihan gizi bagi keluarga miskin agar mereka lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan anak-anak mereka. Selain masalah anggaran, kualitas dan keamanan makanan yang diberikan dalam program ini juga menjadi perhatian serius.
Kritik lain yang muncul adalah kekhawatiran bahwa MBG dapat menciptakan ketergantungan pada bantuan pemerintah dan mengurangi peran keluarga dalam memastikan kecukupan gizi anak-anak mereka. Alih-alih mendorong kemandirian dalam pola makan sehat, program ini berisiko membuat masyarakat terbiasa mengandalkan makanan gratis tanpa membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang pentingnya pola makan bergizi. Ketergantungan ini juga dapat berdampak pada ekonomi lokal, terutama bagi pelaku usaha makanan di sekitar sekolah yang sebelumnya mendapatkan penghasilan dari penjualan makanan kepada siswa.
Tidak meratanya distribusi MBG bisa menimbulkan ketimpangan di mana hanya sekolah-sekolah tertentu yang benar-benar merasakan manfaatnya, sementara yang lain masih kesulitan mendapatkan makanan berkualitas. Hal ini berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial dan menambah kesenjangan dalam akses pangan di antara kelompok masyarakat yang berbeda.
Dengan berbagai tantangan tersebut, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan MBG agar program ini benar-benar efektif dan tidak hanya menjadi proyek populis yang menyedot anggaran besar tanpa hasil yang sebanding. Transparansi dalam pengelolaan dana, sistem pengawasan ketat terhadap kualitas makanan, serta strategi yang mendorong kemandirian gizi bagi masyarakat adalah beberapa aspek yang perlu diperbaiki agar MBG dapat berjalan dengan baik. Jika tidak, program ini bisa menjadi beban bagi anggaran negara tanpa memberikan dampak jangka panjang yang signifikan bagi kesejahteraan generasi mendatang.