Mohon tunggu...
Salman Sembiring
Salman Sembiring Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Full time lawyer and legal adviser.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

(In)toleransi Akhir Tahun

26 Desember 2015   20:00 Diperbarui: 26 Desember 2015   20:00 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh Salman Daud Sembiring

Akhir tahun, merupakan waktu-waktu dimana semua orang bersantai. Menikmati libur bersama orang-orang tersayang dan sejenak melupakan kesibukan masing-masing. Saat yang sangat membahagiakan bagi pribadi, setelah sepanjang tahun sekolah, kuliah, dan atau bekerja. Namun dari sudut pandang penulis, ada satu hal yang tidak pernah berubah dari masa-masa liburan ini: Perdebatan tentang toleransi beragama!

Penulis melihat, setiap penghujung tahun banyak bertebaran di media sosial tentang hukum mengucapkan selamat atas dirayakannya satu hari raya. Dari kelompok ini, mereka bilang begini. Dari kelompok itu, mereka katakan begitu. Selalu berputar di hal yang itu-itu saja. Ujung-ujungnya: Saling menghujat!

Bulan desember seharusnya digunakan kita semua menikmati liburan, bukan berdebat tentang hal-hal – yang menurut penulis – sesungguhnya tidak perlu diperdebatkan. Kalau memang bagi sebagian orang suatu perbuatan dianggap baik, biarkan saja. Itu keyakinan mereka. Kalau kita punya satu keyakinan berbeda akan hal tersebut, ingatkan mereka dengan cara yang baik. Tidak perlu dengan justru mengingatkan dengan cara yang kasar dan justru memantik perpecahan.

Kemudian, diberikan argumentasi yang membandingkan suatu hal dengan hal lainnya. Perbandingan dipergunakan dalam konteks agama satu dengan lainnya? Jelas tidak bisa! Justru dengan adanya argumentasi dengan menggunakan metode komparasi, mereka yang menggunakannya tidak berbicara tentang toleransi!

W.J.S Purwadarminta menyatakan Toleransi adalah sikap atau sifat menenggang berupa menghargai serta membolehkan suatu pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya yang berbeda dengan pendirian sendiri.[1]

Nah, kalau pengertian dari toleransi saja sudah jelas, kenapa mereka yang ada di media sosial itu ribut-ribut membahas tentang – apa yang mereka bilang – sebuah bentuk toleransi?

Toh, kita semua ingin mencapai kedamaian dan persatuan lho. Apalagi, saat libur begini.

Coba kita lihat kedalam konteks yang lebih besar. Untuk apa orang-orang dari kalangan tertentu vokal mengingatkan tentang sesuatu hal? Menurut penulis, peringatan yang diberikan adalah untuk internal kalangannya saja. Bukan untuk masyarakat luas. Tapi kenapa malah salah sasaran? Orang-orang yang tidak punya kepentingan menjadi ikut membahas dan memperkeruh suasana. Kemudian, apa hasil yang didapat?

Ini adalah andil dari orang-orang yang ingin bikin rusuh saja. Abaikan! Cukuplah upaya kita untuk mengingatkan, lalu biarkan. Selesai tugas kita menjaga “toleransi” dengan upaya seperti itu. Tak perlu kita ikut-ikut berdebat kusir sampai ber-capslock ria di post milik orang lain.

Dengan anda ikut berdebat, anda berarti tidak mengerti apa itu toleransi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun