Mohon tunggu...
Salman
Salman Mohon Tunggu... Anak Kampung

Menulis untuk mengasah pikiran dan berdiskusi untuk memahami.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bahaya Laten Minimnya Sense Of Crisis Bahaya AI

8 Oktober 2025   08:09 Diperbarui: 8 Oktober 2025   08:51 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sense of Crisis Bahaya AI, sumber freepik.com

Dalam sebuah kesempatan di mana saya menjadi narasumber bertema adaptasi ASN di era VUCA, saya membuat survey kecil-kecilan. Ketika pertanyaan diajukan mengenai ancaman Kecerdasan Artifisial atau Artificial Intelligence (AI) terhadap keberlangsungan pekerjaan mereka, delapan dari sepuluh Aparatur Sipil Negara (ASN) menyatakan keyakinan penuh bahwa AI tidak akan pernah bisa menggantikan posisi mereka. Angka 80 persen ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan sebuah mentalitas, sebuah euforia semu yang bersemayam di jantung birokrasi kita. ASN masaih merasa aman, terlindungi di dalam benteng kokoh status kepegawaian dan kompleksitas tugas yang diyakini hanya bisa disentuh oleh nurani manusia.

Namun, di luar dinding-dinding nyaman kantor pemerintahan, badai disrupsi tengah mengamuk. Ironisnya, saat keyakinan itu diutarakan, raksasa-raksasa teknologi global seperti Google, Microsoft, dan Meta telah memangkas puluhan ribu karyawannya. Perusahaan-perusahaan di sektor layanan pelanggan, media, bahkan industri kreatif, serempak mengumumkan program efisiensi yang didorong oleh kemajuan pesat AI generatif. Tugas-tugas yang sebelumnya membutuhkan tim besar---mulai dari menulis kode, membuat konten, menganalisis pasar, hingga melayani keluhan pelanggan---kini dapat diselesaikan oleh segelintir orang yang dibantu oleh algoritma cerdas. Tsunami pemutusan hubungan kerja (PHK) ini bukanlah fiksi ilmiah; ini adalah realitas ekonomi yang terjadi hari ini. Terlebih lagi, fenomena ini terjadi dalam konteks nasional di mana produktivitas tenaga kerja masih menjadi isu krusial. Kehadiran AI bukan lagi sekadar inovasi, melainkan sebuah solusi radikal yang menawarkan lompatan efisiensi, membuatnya menjadi ancaman eksistensial bagi peran-peran yang dianggap tidak produktif.

Kesenjangan antara persepsi di dalam birokrasi dan realitas di luar inilah yang menjadi titik krusial. Kepercayaan diri yang dimiliki para ASN tersebut bukanlah sebuah kekuatan, melainkan representasi dari minimnya sense of crisis---sebuah kelengahan kolektif yang sangat berbahaya. Sikap abai ini akan membuat pemerintah dan seluruh aparaturnya gagap dan tidak siap menghadapi gelombang perubahan yang tak terhindarkan. Jika tidak segera diantisipasi, kelengahan ini akan menjadi bom waktu yang siap meledak menjadi krisis sosial yang jauh lebih kompleks dan sulit untuk diatasi di masa depan.

Menyoal "Benteng Birokrasi" Terasa Begitu Kokoh

Untuk memahami akar masalahnya, kita perlu membedah mengapa benteng birokrasi ini terasa begitu kokoh bagi penghuninya (ASN). Ada beberapa pilar psikologis dan struktural yang menopang ilusi kekebalan ini.

Pertama, sifat pekerjaan yang dianggap unik dan manusiawi. Banyak ASN berargumen bahwa tugas mereka lebih dari sekadar pekerjaan teknis. Menjadi abdi negara berarti melayani masyarakat, yang menuntut empati saat mendengarkan keluhan warga, kebijaksanaan saat merumuskan kebijakan yang berpihak pada yang lemah, dan kemampuan negosiasi saat menengahi konflik kepentingan.  ASN percaya bahwa mesin, secerdas apa pun, tidak akan pernah memiliki nurani, etika, dan "sentuhan kemanusiaan" yang menjadi esensi dari pelayanan publik. Anggapan ini ada benarnya, namun berbahaya jika digeneralisasi untuk semua jenis pekerjaan di pemerintahan, yang mayoritasnya masih bersifat administratif dan repetitif.

Kedua, adanya jaminan status kepegawaian yang kuat. Di Indonesia, menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sering kali dianggap sebagai puncak pencapaian karier yang menawarkan keamanan seumur hidup. Status ini dilindungi oleh undang-undang yang membuat proses pemberhentian menjadi sangat sulit. Berbeda dengan sektor swasta yang dinamis dan kompetitif di mana efisiensi adalah raja, birokrasi tidak merasakan tekanan pasar yang sama. Rasa aman inilah yang secara tidak sadar menciptakan zona nyaman, menumpulkan insting untuk beradaptasi, dan meredam urgensi untuk terus meningkatkan keterampilan agar tetap relevan.

Ketiga, keterisolasian informasi dan minimnya paparan terhadap disrupsi. Lingkungan kerja birokrasi sering kali merupakan sebuah ekosistem yang tertutup. Metrik kinerja, alur promosi, dan tekanan pekerjaan sangat berbeda dengan dunia korporat yang setiap hari harus berinovasi atau mati. Paparan para ASN terhadap kecepatan disrupsi teknologi sering kali hanya sebatas berita di media atau seminar, bukan sebuah realitas yang mengancam mata pencaharian mereka secara langsung. ASN menjadi tidak merasakan "panasnya" persaingan global yang memaksa perusahaan swasta untuk mengadopsi AI demi bertahan hidup.

Keempat, pengalaman masa lalu dan inersia birokrasi. Sejarah mencatat bahwa adopsi teknologi di lingkungan pemerintahan cenderung berjalan lambat, bertahap, dan sering kali setengah hati. Program e-government yang digulirkan bertahun-tahun lalu pun implementasinya masih belum merata dan optimal. Pengalaman ini menciptakan sebuah preseden, sebuah keyakinan bawah sadar bahwa revolusi AI pun akan datang secara perlahan, memberi mereka banyak waktu untuk beradaptasi. Padahal, kecepatan perubahan AI saat ini bersifat eksponensial, bukan linear seperti gelombang teknologi sebelumnya. Inersia yang dulu menjadi perisai, kini justru menjadi beban yang menghambat kelincahan.

Realitas di Depan Mata: Bagaimana AI Akan Menggerus Tugas-Tugas Pemerintahan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun