Mohon tunggu...
salman imaduddin
salman imaduddin Mohon Tunggu... Rasi Art Production

IG: @rasiartproduction YT: rap8185

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Khayalan

22 September 2025   13:37 Diperbarui: 22 September 2025   13:37 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

https://www.hukumonline.com/berita/a/demokrasi--lt61b739dbb5bf8/

https://pascasarjana.umsu.ac.id/demokrasi-pengertian-sejarah-dan-contohnya/

https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7479802/pengertian-demokrasi-menurut-para-ahli-dan-perkembangannya-di-indonesia

https://rumahfilsafat.com/2012/08/15/demokrasi-menurut-aristoteles-bagian-1/


Link-link tersebut adalah referensi tentang demokrasi yang bisa kalian baca sendiri.
Tentunya jika ingin paham lebih dalam lagi ya harus banyak BACA BUKU!
Aku akan menyampaikan pemahaman versi "analisa singkatku", ya ini jelas sangat singkat
dan jangan-jangan memang tak butuh keahlian khusus untuk memiliki pandangan seperti
yang aku tuliskan ini.
Berangkat dari pengertian demokrasi yang pernah disampaikan oleh Moh. Hatta.
"Kedaulatan di tangan rakyat". Bisa kita pahami bahwa kedaulatan berasal dari Bahasa Arab
yakni "daulah" yang artinya kekuasaan tertinggi, yang kini merujuk pada kekuasaan atas
sebuah negara (pemerintahan). Dalam frasa "kekuasaan tertinggi" dengan keterangan
kepemilikan "di tangan rakyat" maka perlu kita fokuskan pikiran kita bahwa rakyat lah
pemegang kekuasaan tersebut. Tapi jangan lengah, kalau lengah maka akan muncul bahwa
"dpr adalah rakyat", "presiden adalah rakyat", "semua orang juga rakyat". Lalu apa yang
dimaksud rakyat dalam konteks ini? Rakyat punya arti "penduduk", "warga", "warga negara",
"orang biasa", yang berarti "bukan pejabat".
Jadi bisa mengerti maksud "kedaulatan di tangan rakyat"?
Dengan imbuhan "ke" dan "an" maka kata "daulat" akhirnya bermakna sifat "kedaulatan".
Dengan demikian "kedaulatan" perluasan makna dari daulah menjadikan keterhubungannya
dengan segala sesuatu yang menyifati, kena-mengena/berhubungan, atau makna awal
daulah itu sendiri. Dan rakyatlah yang menentukan. Ya karena memang milik rakyat! Bukan
milik Pemimpin Negara. Lalu di mana dan bagaimana Pemimpin Negara bertindak?
Jawabannya ialah DI MANAPUN DAN BAGAIMANA PUN ASAL ATAS PERSETUJUAN
RAKYAT!
Mekanisme demi persetujuan rakyat itulah yang dibentuk dalam hukum tata negara. Maka
Pembentukan Hukum dan Tata Negara harus dari rakyat dan berorientasi pada rakyat.
BUKAN KEMAJUAN EKONOMI a'la EROPA, TIMUR TENGAH atau manapun. "Tapi atas
kecenderungan kebahagiaan, sifat dan minat otentik mayoritas rakyat". Agaknya
kecenderungan tersebut cukup beranekaragam, tapi menurutku dalam efektifitas bernegara,
maka kecenderungan itu haruslah diambil pada rakyat mayoritas.
Kenapa hanya yang mayoritas? Bagaimana nasib yang minoritas? Sabar dulu jangan
kebiasaan sentimentil duluan. Aku katakana mayoritas maksudnya adalah sebagai konsep
kuantitas yang berarti mencari kemungkinan efektifitas paling besar, sebab menurutku perlu
adanya pembatasan pada kapasitas. Setiap orang tentu memang punya kecenderungan
yang berbeda beda maka dari itu perlu ada kajian yang mendalam mengenai urgensi apa
yang paling dibutuhkan masyarakat "Kita".
Kita perlu menelisik seluruh aspek, tapi ada aspek-aspek yang paling mendasar yang
menghambat proses berdemokrasi yang baik dan benar. Aspek itu perlu dicari, kemudian
dibatasi dan digali potensi penyelesaiannya dengan banyak ide. "banyak Ide" sayangnya
justru demokrasi kita membatasi Ide. Padahal seremeh tulisan ini pun adalah ide juga, jika

mau diakui. Prihal aspek-aspek yang mendasar itu haruslah berani dikemukakan, kalau
sudah terlanjur memang mungkin harus bergerak dari ranah yang nonformal, jalanan,
warkop, komunitas, kelompok apapun yang mengidamkan perbaikan kualitas mayoritas
manusia Indonesia. Intinya jika memang ingin berubah banyak Ide yang perlu dicoba
terutama Ide yang berfokus pada hal yang sudah dipilih menjadi yang terugent dengan
berpusat pada mayoritas. Yang saya maksud mayoritas bukan tentang agama atau, suku,
golongan atau apapun orgnaisasinya. Tapi tentang orang yang terbanyak, abstrak memang,
maka abstraksi itu bagian yang harus dipelajari dan perlu dikaji, diriset.

Ya itu jika mungkin dilakukan. Namun sayangnya kemungkinan-kemungkinan itu aku
menganggapnya ada di ranah Khayalan semata. Tidak hanya itu, banyak lagi diberbagai sisi
di manapun yang berisi Ide untuk perbaikan dalam proses, bernegara, bermasyarakat,
berdemokrasi, hal itu hanyalah KHAYALAN. Setiap yang berdemonstrasi menuntut berbagai
RUU, berbagai aturan, berbagai kebijakan yang harus dilakaukan oleh penguasa
sebenarnya hanya Khayalan. Terjebak dalam Khayalan bahwa pemerintah "mungkin akan
mengabulkan", berkhayal bahwa pemerintah akan mempertimbangkan masukan-masukan.
Berkhayal akan adanya keadilan. Berkhayal bahwa pemerintah berpihak pada Rakyat.
Bahkan kata "Kebijakan" jugalah Khayalan yang tidak pernah berdasarkan makna
Kebijaksanaan itu sendiri. Pada kata itu yang dipakai pemerintah itu hanyalah aturan yang
dimunculkan dengan berorientasi pada oligarki, nepotisme, circle Kapitalis Pemerintah
semata. Kadang-kadang, bagiku perjuangan anarkisme lebih masuk akal dalam keadaan ini.
Tentulah anarkisme sesungguh-sungguhnya. Untuk tahu anarkisme itu apa silakan baca,
jangan pakai arti dari pemerintah atau dari aparat. Jangankan anarkisme, demonstrasi saja
sudah jahat bagi mereka. Bagi mereka yang mendukung apapun keinginan mereka barulah
rakyat yang baik. Sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Karena di dalam lingkaran mereka
pasti ada yang sudah pernah berdebat menolak dan berusaha berpikir wajar "berpihak pada
rakyat" namun hanya segelintir orang saja dan sudah pasti kalah. Aku pun kadang kasihan
sekaligus kagum, lihatlah YLBH, mereka berkhayal pemerintah akan berpihak pada hukum.
Lihatlah aktivis lingkungan mereka berkhayal kapitalis itu akan berpihak pada alam (agak
tertawa aku menulis bagian ini). Lihatlah mahasiswa yang berdemonstrasi mereka berkhayal
akan digubris. Lihatlah Guru mereka berharap bayaran setimpal, serta keberpihakan pada
pendidikan, lihatlah berbagai suku yang direnggut tanahnya, direnggut nyawa saudara-
saudaranya dengan sangat ringan dan murah ditangan aparat, mereka yang tetap bersuara
berkhayal suaranya dipertimbangkan agar tetap lestari tanah adat, suku, dan keluarganya.
Lihatlah aksi kamisan (tidak mampu lagi aku melihatnya) Lihatlah bisnis penguasa yang
kalah dengan swasta, mereka akan mengakali aturan ...dan pihak swasta yang tetap melobi-
lobi sedang berkhayal adanya keadilan. Lihatlah, korban aparat dalam melawan GAM,
lihatlah korban aparat dalam OPM mereka semua berkhayal adanya "kemerdekaan ialah
hak segala bangsa". ..ahh itu semua hanya khayalan. Bahkan aku berkhayal mampu
menuliskan semua kekacauan itu, tapi ternyata tidak mampu, terlalu banyak, kepalaku
pening mengingatnya tumpuk-menumpuk dalam berita, dalam kepala dalam jiwa yang tak
mampu berbuat apa-apa. Mereka yang berharap pada pemerintah seperti seorang Atheis
yang berdoa pada Tuhannya umat beragama. "Mosi tidak percaya" adalah tiga kata konyol
yang dipakai demonstran, bagaimana bisa mosi ketidakpercayaan itu di hadapkan pada
yang tidak dipercayainya dengan maksud mengancam, itukan masih percaya namanya... ah
sudahlah.
Sebab itu dalam posisi seperti ini Anarkisme lebih jelas dan konsisten dalam
perkataan, nurani, dan perbuatan. Meskipun saat ini Anarkisme dapat dipastikan tidak akan
berhasil pula, sebab tidak ada proses kemayoritasan di dalamnya, hanya kelompok yang

bergerak. Sisanya yang lain seperti aku ini hanya curhat lewat tulisan. Melanjutkan hidup
sambil menonton saja. Mungkin suatu saat revolusi itu akan nyata, ketika pendertitaan
sudah menyeluruh di masyrakat, (Masyrakat yang tidak termasuk sirkel pendukung
Kapitalis) tapi sulit, sebab masyarakat tidak sadar diri juga, masyarakat juga korupsi, juga
buang sampah sembarangan, juga serakah, tidak adil sejak dalam pikiran, tidak mau antre,
tidak bermpati, konsumerisme, serakah, boros, tidak mau belajar Bahasa, tidak kuat berpikir
mendalam, hanya mau tertawa-tawa saja. Selama watak kapitalis tak disadari masih
tertanam di jiwa rakyat sendiri juga, tentu revolusi hanya gagasan sementara saja dan demokrasi hanya khayalan semata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun