Sebuah karakter anomali dengan iringan suara repetitif "tung tung sahur" mendadak viral di jagat maya Indonesia. Dikenal sebagai "Tung Tung Sahur", konten yang lahir dari platform TikTok ini dengan cepat menjadi fenomena budaya digital. Namun, di balik kelucuannya, sebuah polemik serius meletus. Noxa, akun TikTok yang dikenal sebagai kreator dan pemopuler konten tersebut, menyuarakan kekecewaannya saat Garena, raksasa pengembang game, mengadaptasi karakter tersebut menjadi skin di dalam game populer mereka, Free Fire [1], [2].
Insiden ini lebih dari sekadar drama antar kreator dan korporasi. Kasus "Tung Tung Sahur" adalah sebuah studi kasus relevan yang memaksa kita terdiam di persimpangan jalan antara kemajuan teknologi, kekosongan hukum, etika bisnis, dan hakikat dari kreativitas itu sendiri. Ia menyajikan sebuah pertanyaan terbuka bagi kita semua: di tengah disrupsi kecerdasan buatan (AI), di manakah kita harus menarik garis antara inspirasi, kepemilikan, dan etika?
Sengketa di Zona Abu-abu: Hukum vs. Etika
Konflik ini paling baik dipahami dengan melihatnya dari dua sisi yang berbeda, di mana keduanya memiliki pijakan argumen yang kuat dalam kerangka mereka masing-masing.
Di satu sisi, ada Noxa dan komunitas yang mendukungnya. Argumen mereka berakar pada etika dan pengakuan kreativitas. Meskipun karakter tersebut dihasilkan oleh AI, Noxa adalah orang yang memberikan ide, merangkai perintah (prompt), dan secara konsisten mempopulerkannya hingga memiliki nilai budaya dan viralitas. Dalam ekonomi kreator modern, peran sebagai pemicu dan pemopuler inilah yang dianggap sebagai kerja kreatif yang layak mendapatkan pengakuan atau setidaknya komunikasi sebelum karyanya diadopsi secara komersial.
Di sisi lain, Garena mungkin merasa beroperasi dalam koridor yang aman. Pijakan mereka adalah hukum positif yang ada saat ini.
- Kekosongan Hukum: Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia (UU No. 28 Tahun 2014), seperti di banyak negara lain, dirancang dengan subjek pencipta adalah manusia [5]. Status hukum karya yang dihasilkan sepenuhnya oleh entitas non-manusia seperti AI masih menjadi zona abu-abu yang belum terdefinisi secara yuridis, yang berarti kepemilikan atas karya tersebut menjadi sulit untuk diklaim [3].
- Faktor "Gratis":Â Argumen lain yang muncul adalah bahwa Garena tidak menjual skin tersebut, melainkan membagikannya secara gratis melalui sebuah event dalam game.
Namun, argumen "gratis" ini mengaburkan pemahaman tentang nilai komersial dalam ekosistem digital. Meskipun tidak ada transaksi langsung, tindakan Garena memiliki nilai bisnis yang nyata:
- Alat Pemasaran:Â Menggunakan meme yang sedang viral adalah strategi pemasaran berbiaya rendah dengan jangkauan masif untuk menjaga relevansi game.
- Pendorong Keterlibatan: Event gratis mendorong pemain untuk masuk dan menghabiskan waktu lebih banyak di dalam game, yang meningkatkan kemungkinan mereka berbelanja untuk item lain.
- Retensi Pemain:Â Hadiah yang relevan dengan budaya pop membuat basis pemain setia merasa puas dan terikat dengan game.
Seperti sampel gratis di supermarket yang bertujuan mendorong pembelian, skin gratis ini adalah alat untuk mencapai tujuan komersial yang lebih besar.
"Seni" atau "Jalan Pintas"? Pertarungan Filosofis di Balik Layar
Di luar sengketa bisnis, kasus ini menyentuh perdebatan yang lebih filosofis tentang nilai sebuah karya di era AI. Haruskah kita mengapresiasi karya yang dibuat dengan bantuan mesin?
Banyak seniman tradisional, seperti maestro animasi Jepang Hayao Miyazaki, memandang seni yang dihasilkan AI sebagai sebuah "penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri". Pandangan ini lahir dari keyakinan bahwa seni sejati berasal dari keringat, latihan bertahun-tahun, kegagalan, dan emosi---pengalaman yang hanya dimiliki manusia. Bagi mereka, AI adalah jalan pintas yang merendahkan proses sakral tersebut; sebuah alat yang mampu meniru tanpa benar-benar memahami atau merasakan, yang mana hal ini sejalan dengan pandangan bahwa AI pada dasarnya tidaklah hidup atau berkesadaran [4].
Namun, di sisi lain, para penggiat AI berargumen bahwa membuat karya AI yang berkualitas bukanlah tanpa keahlian. Diperlukan sebuah keterampilan baru yang disebut prompt engineering, yaitu kemampuan untuk menerjemahkan visi yang kompleks menjadi instruksi yang bisa dieksekusi oleh mesin. Ini bisa diibaratkan dengan seorang fotografer yang tidak menggambar dengan tangan, tetapi menggunakan pemahamannya akan komposisi, cahaya, dan momen untuk "melukis" dengan kameranya. Sejarah mencatat, fotografi pun pada awalnya dianggap "curang" sebelum akhirnya diakui sebagai bentuk seni yang sah.