Di tengah euforia teknologi, kita harus ingat bahwa AI tidak punya hati nurani. Ia tidak tahu bagaimana rasanya kecewa, berempati, atau mempertimbangkan sesuatu berdasarkan pengalaman hidup. Artinya, manusia tetap penting---bukan sebagai pelaksana teknis, tapi sebagai penentu arah, pengambil keputusan, dan penjaga nilai-nilai kemanusiaan.
Jadi peran kita memang berubah. Kita bukan lagi tukang hitung, tukang salin, atau penyusun laporan, tapi kita adalah pihak yang mempertanyakan: Apakah yang kita lakukan ini benar? Apakah adil? Apakah berdampak baik? Pertanyaan seperti ini tidak akan bisa dijawab oleh algoritma, secerdas apapun AI-nya.
Teknologi Harusnya Menguatkan, Bukan Menggantikan
Kita tidak bisa menghindari perkembangan teknologi. AI akan terus berkembang, dan akan semakin pintar dari waktu ke waktu. Tapi jangan sampai karena terlalu nyaman, kita jadi kehilangan daya pikir dan rasa ingin tahu kita sendiri. Jangan sampai manusia berubah jadi penonton yang hanya pasrah pada apa yang dikerjakan mesin. Kalau boleh menyimpulkan: kemajuan teknologi seharusnya membuat manusia berpikir lebih dalam, bukan berhenti berpikir sama sekali. AI bisa menyelesaikan masalah, tapi hanya manusia yang bisa memberi makna atas setiap penyelesaian itu. Jadi, selama kita masih mau bertanya dan merenung, kita tidak akan pernah benar-benar tergantikan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI